PILOT MIG-19 Cina yang bulan Juli lalu menyeberang ke Taiwan,
barangkali sekarang merasa agak kikuk di negeri barunya itu.
Mungkin ia merasa bahwa hidup di bawah pemerintah RRC sangat
keras, tapi barangkali ia pun mendapatkan bahwa hidup sebagai
seorang kapitalis juga tidak semudah seperti yang disangkanya
semula.
Letnan Kolonel Fan Yuan-yen, 41 tahun, berpendapat bahwa Taiwan
dengan klub-klub malam yang mempesonakan dan rumah-rumah minum
yang meriah serta wanita-wanitanya yang pandai berdandan,
terlalu dekaden baginya. "Gadis-gadis penyanyi dan penari yang
sering muncul di televisi memakai make up yang kelewat tebal dan
pakaian yang kelewat minim," ujarnya baru-baru ini. "Mereka pun
terlalu banyak menggoyang-goyang kibulnya," sambungnya lagi.
Televisi menyebabkan pengaruh yang tak sehat terhadap para
remaja Taiwan, sedangkan koran-koran kelewat banyak memuat
berita tentang kejahatan. Itu pendapatnya lagi.
Sebagai orang dengan pangkat tinggi pertama yang lari ke Taiwan
dalam 10 tahun terakhir ini, pangkatnya dinaikkan jadi kolonel
dalam Angkatan Udara Taiwan. Ia pun menerima hadiah emas murni
seharga tak kurang dari 600.000 dolar Amerika. Ini sesuai dengan
janji pemerintah Taiwan kepada para pelarian dari daratan Cina
yang membawa kapal terbang, kapal laut atau informasi militer
lain. Dan hadiah itu diberikan tanpa dipotong pajak.
Terharu
Hadiah yang semustinya membuat Kolonel Fan senang, sekarang
malah jadi beban baginya. Ia tak punya kesempatan untuk
menggunakan uangnya, karena toko-toko tempat ia belanja tak mau
menerima pembayaran untuk barang-barang yang diambilnya. Mereka
terlalu kagum dan terharu untuk menerima uang pembayaran seorang
pahlawan nasional. Ia pun tak bisa memberikan uang itu kepada
orang lain karena pemerintah tak mengijinkannya.
Mula-mula Fan berpendapat bahwa selama Angkatan Udara Taiwan
memberinya makanan, pakaian dan perumahan, ia tak memerlukan
uang. Karenanya ia menawarkan untuk menyerahkannya kembali
kepada pemerintah. Tapi para penguasa Taiwan takut kalau ini
jadi propaganda kaum komunis. Jadi ini pun tak diperkenankan.
Pemerintah pun menolak tawarannya akhir-akhir ini untuk
menyumbangkan uang itu kepada para korban topan yang baru saja
melanda Taiwam Alasannya sama.
Sekarang, apa yang dikatakan dan diperbuatnya selalu
diperhitungkan untuk maksud-maksud propaganda. Karenanya dcwasa
ini Fan telah jadi seorang penghibur non-stop dalam rangka
propaganda anti komunis yang dijalankan terusmenerus.
Jadwal waktunya sangat penuh dengan acara membeli ceramah,
tampil dalam rapat-rapat umum, dan wawancara. Ia tak punya waktu
dan kesempatan untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang
perwira Angkatan Udara. Dalam setiap ceramah, ia selalu mengecam
sistem kemasarakatan di daratan Cina dan memuji segala aspek
kehidupan di Taiwan - kecuali rok mini. Ia pun tak merasa pusing
dengan kemacetan lalu lintas yang sering terjadi di Taipeh.
Ia sebenarnya bebas pergi ke mana pun ia suka. Namun apa yang
dilakukamlya bukan spontanitas lagi. Ke mana pun ia pergi dua
orang perwira hubungan masarakat selalu mendampinginya. Seorang
mencatat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, sedangkan yang
lain lagi sibuk merekam jawabannya. Seringkali wawancara
berakhir karena kekurangan pita rekaman.
Layar TV
Sejak sebulan terakhir ini Kolonel Fan tampil di layar televisi
seminggu tiga kali. Ia memulai pertunjukan itu dengan suatu
kulian mengenai daratan cina dan menkontraskannya dengan
kemakmuran Taiwan. Ia pun menjawab pertanyaan-pertanyaan
pirsawan yang dikirim lewat pos.
Satu pertanyaan berbunyi: "Di daratan, dapatkah anda pergi ke
mana saja anda mau?" Jawabnya: "Tidak, liburan untuk buruh pada
prakteknya tak pernah ada. Libur hari nasional sekali setahun
terlalu pendek bagi seseorang untuk pergi ke tempat yang jauh
dari rumahnya." Selama 21 tahun dinas dalam Angkatan Udara, ia
cuma pernah pergi dua kali menengok keluarganya di propinsi
Szechuan.
Kolonel Fan juga takut akan pembalasan yang boleh jadi
ditimpakan kepada isteri dan ketiga anaknya yang tertinggal di
propinsi Kiangsi. Ia sudah memollon keyada Mellteri Luar Negeri
AS Cyrus Vance agar bisa membujuk Peking untuk mengijinkan
keluarganya bergabung dengan dia. Sampai sekarang belum ada
jawaban.
Larinya Fan ke Taiwan merupakan dorongan moril yang kuat bagi
pemerintah Taiwan yang sedang was-was dengan adanya keinginan
pemerintah Carter untuk menormalisasikan hubungan dengan Peking.
"Banyak orang Amerika yang datang ke sini, setelah mendengar
penuturan Fan mengenai pelanggaran atas hak hak asasi manusia di
daratan Cina, tak bernafsu lagi untuk mengadakan normalisasi
dengan Peking," demikian kata seorang pejabat tinggi Taiwan.
Sebagai seorang perwira menengah sebetulnya Fan punya hak buat
diperlakukan lain. Nyatanya ia mengeluh tentang macam-macam
pembatasan yang dikenakan kepadanya ketika masih berada di RRC.
"Di sana tak ada kebebasan untuk bicara, kebebasan beragama dan
kebebasan buat pindah dari satu tempat ke empat laim Malahan
orang tak punya hak buat berdiam diri. Apalagi penguasa
mengatakan ganyang Gerombolan tmpat Orang, kita tak punya
pilihan lain selain melakukannya," demi kian ia berkisah.
Penyeberangan yang dilakukan oleh Fan belum menjadi suatu
kemenangan penuh buat Taiwan. Pemerintah Taiwan misalnya selalu
mencap kaum komunis Cina sebagai agresor, yang setiap saat bisa
menelan Taiwam Fan sebaliknya mengatakan bahwa kesiap-siagaan
militer RRC: sepanjang pantai yang berseberangan dengan Taiwan
betul-betul untuk mempertahankan diri.
Walaupun ia selalu berpendirian positif terhadap segala hal yang
ada di Taiwan, ia masih mengajukan pertanyaan yang sangat
mengganggu dirinya mengenai materialisme dan hidup meneguk
kenikmatan yang makin merajalela di negara pulau itu. "Kalau
kita bicara terus terang, apabila perang pecah, apakah kalian
rela mengorbankan kemakmuran kalian? Apakah kalian sanggup
mengerahkan kekuatan kalian? "Inilah salah satu pertanyaan yang
diajukannya secara serius dalam acara televisi baru-baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini