KEJADIANNYA berlangsung tiga tahun yang silam: Pastol Eric v
Constable 64, ditemui tewas di komplek gereja Anglikan di Jalan
AR Hakim Jakarta. Bersamanya tewas juga Sakimin, 55, pembantu
rumah tangga gereja. Sebabnya asti: beberapa luka berat, akibat
tusukan senjata tajam, yang merenggut nyawa kedua korban.
Pembunuhan. Mula-mula diduga sebuah peristiwa perampokan biasa.
Tapi Dewan Gereja Indonesia (DGI) membantah keras. Sebab tak ada
harta benda gereja maupun milik pastol dari Australia itu yang
digasak orang. Juga kabar tentang lenyapnya uang 500 dolar milik
Constable - tak benar. Sebab waktu itu, pastor Anglikan tadi
memang tak mengantongi uang sebanyak itu.
Di luaran, jadinya tersebar dugaan-dugaan. Jangan-jangan motif
peristiwa tersebut lebih dalam daripada dana sekedar perampokan
Tapi, resminya polisi memastikan. Tak ada motif apapun selain
kejahatan (kriminil) murni.
Pelakunya. Hasyim Yahya, tak dapat menghindar dari cekalan
tangan uang berwajib. Sebab luka-lukanya akibat perkelahian
dengan anggota tentara yang kebetulan memergoki keluar dari
kamar Eric,tak memungkinkannya kabur terlalu jauh. Hanya kedua
teman Hasyim, mungkin bernama Ali dan Umar, yang luput dari
tangan hamba wet hingga kini.
Dalam pemeriksaan pendahuluan Hasyim mengakui perbuatan berikut
latar belakangnya. Hanya sidang pengadilan, yang sedianya akan
mengungkapkan secara umum motif perbuatan Hsyim dan yang telah
menyerang pastor Anglikan itu, terhenti pada sidang kesekian
pada 19 Oktober lalu. Sidang selanjutna ditunda dan diundurkan
sampai waktu yang belum ditentukan kapan.
Filipina Selatan
Tapi tampaknya sidang pengadilan tak akan dibuka kembali untuk
memeriksa Hasyim. Jaksa Agung, kabarnya akan mendeponir perkara
ini. Humas Kejaksaan Agung sayangnya belum siap menjelaskan
apa-apa. LBH, yang sedianya akan berdiri sebagai pembela Hasyim,
hanya menyatakan demikian: "Akan dicarikan penyelesaian yang
lebih baik," kata A. Rachman Saleh dari LBH.
Adakah penyelesaian yang lebih baik bagi perkara pidana selain
melalui putusan hakim di pengadilan? "Soalnya,"kata Rachman,
"perkara pidana kali ini semata-mata persoalan agama yang sangat
peka." Membuka perkara Hasyim, pembunuhan pastor Constable.
"hanya akan membuka koreng-koreng lama, yang menyakitkan hati
umat beragama - baik Islam maupun Kristen -- dan tak
menguntungkan ide kerukunan beragama."
Membekukan sesuatu perkara kriminil -- demi kepentingan umum
--memang wewenang Jaksa Agung. Lihatlah suasana setelah Hasyim
selesai sidang. Ia dielu-elukan oleh penonton yan berjubah di
ruang sidang. Tak begitu jelas siapa yang memulai, tapi
tiba-tiba Hasyim menerima banyak sumbangan dari hadirin.
Terkumpul di tangan Hasyim, arek Surabaya asal Bugis ini, uang
Rp 60 ribu dengan 4 arloji. Hasyim pun berpidato singkat.
Setelah mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian hadirin
ia berkata: "Sumbangan ini bukan untuk saya sendiri, tapi untuk
perjuangan umat Islam di Filipina Selatan."
Tidak itu saja. Suasana pun tampaknya akan lebih panas jika
sidang berlangsung terus. Di kantin di belakang gedung
pengadilaln massa -- entah siapa dan berasal dari mana tekun
menyiapkan spanduk dengan tulisan menyolok dan berhawa panas.
Dan Hasyim sendiri, yang meninggalkan isteri dengan 11 anak ( di
antaranya anak angkat) di Surabaya, tampaknya sudah siap
menghadapi hakim untuk membuka kembali peristiwa yang pernah
menghebohkan itu. Dia pernah menyurati pengadilan begini:
Sekalipun kondisi badannya payah (ia mengidap sakit penyempitan
sela sendi paha), "yang sulit diharapkan kesembuhannya," namun
"insyaallah tidak akan menghalangi saya menghadiri persidangan."
Jadi orang kini tak usah repot-repot lagi menduga-duga apa motif
Hasyim dkk dulu menyerang Constable.
Di Senen
Hasyim Yahya, sekarang berumur 36 tahun, tiba di Jakarta 28 Juni
1974. Maksud kedatangannya dari Surabaya, mula-mula, untuk
urusan dagang dan mencari rekomendasi dari beberapa orang untuk
kepentingan keluarganya yang hendak bekerja di Australia.
Keesokan harinya, sekitar jam dua siang, ia berjalan jalan di
daerah Senen . Di mtlka bioskop Grand ia, tak sengaja, bertemu
dan berkenalan dengan Umar dan Ali. Ali berasal dari Bugis dan
Umar dari Banten sini.
Ternyata ketiga orang ini cocok dalam pembicaraam Mereka asyik
berdiskusi soal agama dan keresahan umat Islam terhadap isyu
Kristenisasi. Ketiga orang ini, tampaknya. gemar membaca
buku-buku yang sama. Lalu mereka berkesimpulan: keresahan
terhadap kristenisasi itu beralasan. Lihatlah, kata mereka,
kegoncangan di Filipina Selatan. Pembunuhan orang-orang Islam di
Spanyol. Missi-missi asing, dapat dibuktikan, telah membeli
tanah dan rumah di lingkungan penduduk beragama Islam untuk
mendirikan gereja. Yang terakhir, menurut mereka, rencana Sidang
Dewan Gereja Dunia yang akan berlangsung di Indonesia (kemudian
dibatalkan!) cuknp menggelisahkan. Sebah, dianggap, acara sidang
raya itu akan merupakan usaha penyebaran agama Kristen di
kalangan umat Islam.
Jua kisah seorang bernama Yusuf Roni - pemeluk Kristen baru eks
lslam - sangat menyakitkan hati mereka dan harus diperhitungkan.
Yusuf, menurut Hasyim. Ali dan Umar telah memutar balikkan
pengertian beberapa ayat al-Qur'an dalam pidato-pidatonya yang
menyerang Islam di beberapa gereja di hampir seluruh Indonesia.
Bahkan kaset rekamannya telah beredar luas baik di kalangan
Kristen maupun di luar itu.
Akhirnya diskusi di jalanan yang panas itu melahirkan gagasan
yang nekdd. Mereka bersepakat untuk 'memberi pelajaran' kepada
'musuh agama'. Mula-mula direncanakan hendak menyerang pastoran
DGI di Salemba Raya -- yang dianggap sebagai pusat kegiatan
pastor asing. Untuk itu mereka telah membeli pisau belati di
Pasar Senen. Hasyimlah yang membayar Rp 1.000 untuk tiga bilah
pisau itu.
Tapi sasaran tiba-tiba berubah. Entah apa alasannya. Setelah
salat maghrib dan bersumpah setia di sebuah masjid mereka menuju
sasaran baru: pastoran di gereja Anglikan.
Tak Tahu Menahu
Malang bagi pastor Constable. Ia berada di sana, sebagai tamu
gereja dari Australia, baru jalan tiga minggu. Kedatangannya di
Indonesia belum begitu jelas maksudnya. Sebab, mestinya, ia
sudah harus melaporkan kehadirannya di sini ke Departemen Agama.
Ditjen Bimas Kristen, waktu itu, menyatakan tak tahu menahu
untuk keperluan apa dan atas sponsor siapa Constable di
Indonesia.
Apa yang dibicarakan antara Hasyim dkk dengan Constable, sebelum
peristiwa berdarah berlangsung, tak diketahui. Hanya, melihat
keadaan kamar pastor, kelihatannya Constable cukup melakukan
perlawanan sebelum tewas.
Sumber yang mengetahui menyatakan, kebijaksanaan Jaksa Agung
membekukan perkara ini - entah untuk sementara atau seterusnya
--bersamaan dengan pemeti-esan perkara Yusuf Roni. Sebab untuk
mengadili Yusuf Roni di Surabaya, tempat ia ditangkap dengan
tuduhan menghina agama Islam, juga bisa berabe. Sudah dapat
diduga pengadilan akan 'diserbu' orang. Belum lagi perhitungan
soal kerukunan agama. Pembekuan perkara kedua-duanya, kabarnya,
telah disetujui bersama, baik oleh pihak Majelis Ulama maupun
DGI. Pokoknya, agar tenang sajalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini