MEMBANGUN demokrasi memang bukan hal mudah. Apalagi bagi negara sebesar Rusia, yang begitu luas wilayahnya—hingga mempunyai 11 zona waktu—dan banyak penduduknya. Maka, wajar jika tak terlalu tinggi harapan digantungkan orang pada pemilihan umum majelis rendah Rusia, Duma, Senin, 19 Desember lalu, yang sebenarnya berjalan cukup lancar itu. "Ini adalah langkah maju yang baik bagi demokrasi Rusia, tapi perjalanan masih jauh," kata Helle Degn.
Ketua pemantau pemilu dari Organisasi Kerja Sama Keamanan Eropa (OSCE) yang mengorganisasi 400 pengamat ini menyatakan pemilihan berlangsung cukup baik kendati masih tercatat sejumlah kecurangan, yaitu masih derasnya penggunaan jurus money politics dan pemanfaatan media massa untuk menghantam lawan politik secara berlebihan.
Maklum, warisan tujuh dekade di bawah rezim otoriter komunis tentu tak dapat dihapus dalam beberapa tahun saja. Apalagi, Rusia memang tak pernah punya tradisi demokrasi. Buktinya, Partai Komunis masih menjuarai hasil pemilu multipartai ini dengan meraih sekitar 25 persen suara. Namun, bila dibandingkan dengan hasil pemilu sebelumnya, terjadi penurunan karena munculnya Partai Persatuan, yang baru dibentuk tapi cuma kalah satu persen suara saja dari saingan utamanya.
Ini berarti sikap Perdana Menteri Vladimir Putin, yang mengambil garis keras dalam menghadapi Chechnya, populer di kalangan pemilih Rusia, terutama yang muda. Soalnya, Partai Persatuan memang didirikan oleh sejumlah konglomerat semata-mata untuk mendukung Putin, yang juga berarti berada dalam kubu Kremlin. Walhasil, kekuatan perlawanan dewan dengan 450 kursi ini terhadap pemerintahan Yeltsin, yang biasanya dimotori oleh Partai Komunis, melemah. Selain itu, peluang Putin—menurut jajak pendapat didukung 41persen responden—untuk memenangi kursi presiden dalam pemilihan Juni mendatang juga meningkat pesat.
Bagaimana tidak? Partai-partai pendukung saingan Putin untuk jabatan nomor satu Rusia itu jauh tertinggal perolehan suaranya. Partai Tanah Air Rusia, yang dipimpin bekas Perdana Menteri Yevgeny Primakov dan Wali Kota Moskow Yuri Luzhkov, cuma meraih 12,6 persen suara. Padahal, kedua tokoh ini dianggap yang paling berpeluang menyaingi Putin. Lantas, apa artinya bagi masa depan Rusia?
Bagi pengamat politik Sergei Markov, hasil pemilu ini menunjukkan masyarakat Rusia menginginkan kepemimpinan yang tegas seperti ditunjukkan Putin dan bukan yang akomodatif seperti Primakov. Selain itu, menurunnya perolehan suara Partai Komunis dan partai konservatif lainnya menunjukkan dukungan rakyat terhadap kebijakan pasar bebas kembali menguat.
Namun, Gennady Zyuganov mempunyai pandangan lain. "Partai Persatuan tak mempunyai ideologi yang jelas. Karena itu, perolehan suaranya patut dicurigai," kata ketua Partai Komunis itu. Ia juga menuding para konglomerat pendukung Kremlin memanfaatkan kekuatan dana dan jaringan media massa milik mereka untuk menggalang dukungan. Bahkan, kalau perlu, dengan menyogok kandidat populer partai lawannya untuk mundur. Setidaknya para pengurus Partai Tanah Air Rusia menuduh pihak pendukung Kremlin berani menawarkan sampai US$ 800 ribu kepada kandidat mereka agar mundur dari pertarungan.
Kecurigaan perlakuan curang ini cukup merebak di kalangan rakyat Rusia. Hasil jajak pendapat harian berbahasa Inggris, Russia Today, misalnya, menyimpulkan, antara yang berpendapat bahwa pemilu Duma di Rusia adil dan tidak hampir sama jumlahnya. Pengumpulan pendapat umum yang dilakukan lembaga independen VTsIOM juga menunjukkan 63 persen responden menyatakan yang terjadi di Rusia sekarang ini adalah anarki dan 58 persen menyatakan keadaan akan lebih baik jika Rusia tetap mempertahankan sistemnya sebelum glasnos dan perestroika bergulir, 1985.
Kendati demikian, bukan berarti rakyat Rusia menginginkan kembalinya rezim komunis. Yang dirindukan, tampaknya, adalah suasana yang tenteram yang hanya dapat diberikan oleh pemerintahan yang kuat. Maklum, selama ini kekuatan oposisi Duma membuat pemerintahan Yeltsin jatuh-bangun hingga sulit menghindarkan munculnya kesan kacau-balau.
Kini harapan itu, agaknya, disandarkan ke punggung Putin.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini