Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH gadis bule akan semakin banyak terpampang di perempatan-perempatan jalan. Raut muka Kaukasia itudengan hidung mancung dan rambut pirangmuncul megah di sampul majalah wanita yang dijajakan di berbagai lokasi strategis, termasuk persimpangan jalan. Nah, setelah dua tahun bulanan Higina-Kosmopolitan menampilkan model atau artis Barat dengan busana bergaris dada rendah, sehabis Lebaran akan terbit majalah waralaba baru: Harper's Bazaar. Di sampulnya akan ditampilkan juga perempuan bule, tapi dalam gaya lebih sopan, mengikuti kiblat media induk semangnya.
Harper's Bazaar atau disingkat Bazaar akan dikelola oleh Mugi Rekso Abadi. Perusahaan yang menangani beberapa merek fashion dan radio ini jugalah yang mencangkok Cosmopolitansebuah majalah waralaba yang terbit di 39 negara. Jabatan pemimpin redaksinya pun bakal dipegang oleh Sari Narulita, wartawan yang banyak makan asam garam di majalah wanita. Dengan target pasar wanita kelas atas, majalah yang terakhir ini lebih banyak menyuguhkan artikel tentang dunia mode. Dua majalah asing dalam edisi bahasa Indonesia ini merupakan waralaba dari induknya, Hearst Magazine International, dari Amerika Serikat.
Kelihatannya, mudah saja membuat majalah waralaba. Terjemahkan saja artikel-artikel dari majalah induk, bereslah semua. Gampang. Tapi itu bukan berarti tanpa masalah. Soalnya, apakah artikel yang ditulis untuk perempuan Barat akan cocok dengan selera dan kebutuhan pembaca Indonesia? Nah, pengelola media mencari solusi dengan cara mem-''bumi"-kannya. Walau sudah ada patokan rubrikasi dari induk semang, Kosmo, misalnya, tak menerjemahkan mentah-mentah tulisan asli. Soal seks, umpamanya, mesti diperhalus dan ditambahi pendapat pakar-pakar lokal. ''Kita tidak bisa terlalu terbuka dan vulgar, satu hal yang di negara lain mungkin bukan masalah," kata Sari Narulita. Kandungan lokalnya pun ditingkatkan dan kini mencapai 40-60 persen.
Resep ini terbukti disukai. Menurut pengakuan Sari, hanya dalam dua tahun, tiras mereka bisa mencapai 120 ribu eksemplar setiap bulannya. Iklan berwarna pun mengalir masuk. Tiap kali terbit, setidaknya mereka meraup Rp 600 juta. Jumlah sekian mungkin lebih kecil dari pemasukan iklan di majalah Femina dan Dewi, yang menurut data dari Media Scene 1997 mencapai Rp 3,6 miliar dan Rp 775 juta tiap bulannya. Namun, biaya operasional Kosmo juga jauh lebih irit. Dengan hanya 47 awak14 di antaranya redaksipengeluaran mereka tidaklah sebesar Femina, misalnya, yang staf redaksinya hampir tiga kali lipat banyaknya.
Memang, tindakan mengalihkan alias menyontek artikel itu tidaklah gratis. Untuk setiap tulisan yang disalinbahasakan itu, Kosmo harus membayar royalti US$ 50-100. Bahkan, untuk sebuah foto eksklusif, harga yang mesti dibayar lebih tinggi, sampai US$ 500. Sekalipun begitu, biaya sebesar itu bisa ditutup. Buktinya, dalam tempo dua tahun, modal awal mereka sebesar Rp 5 miliarbandingkan dengan majalah Swara Kartini Indonesia, yang terbit November lalu, dengan modal sampai Rp 10 miliarsudah impas.
Suksesnya bisnis Kosmo ini membuat manajemen Mugi Rekso Abadi optimistis untuk merambah media waralaba lainnya. Bahkan, Sasongko Soedarjo, Direktur Pelaksana Mugi, yakin bahwa Bazaar akan untung setelah berjalan tiga tahun. Selain itu, mereka sudah melirik sebuah majalah otomotif bergengsi dan sebuah koran.
Tak hanya Mugi yang tertarik pada bisnis yang menggiurkan ini. Kelompok Gramedia setidaknya sudah mencatat sukses lewat dua media, tabloid Kontan dan majalah Info Komputer. Kontan, yang diluncurkan akhir 1996, merupakan satu-satunya tabloid mingguan waralaba di Indonesia. Hadir sebagai tabloid ekonomi, Kontan hanya mengadopsi perwajahan tabloid Cash dari Swiss. Sedangkan hampir seluruh beritanya merupakan kandungan lokal.
Sementara itu, Info Komputer, yang hadir sejak 1987, mula-mula tak berniat menjadi media waralaba. Misi majalah ini sederhana saja: memberikan panduan bagi para pengguna komputer. Nyatanya, perkembangan komputer di Indonesia begitu pesat sehingga, menurut Pemimpin Redaksi Info Komputer Suhartono, mereka perlu meningkatkan isi dan kualitas majalah dengan mengadopsi beberapa artikel dari majalah PC World, yang beredar di Amerika Serikat.
Semula tindakan itu dilakukan diam-diam, tanpa seizin yang bersangkutan. Setelah Info mencapai titik impas pada 1995, barulah mereka meminta izin pengelola PC World untuk mengadopsi beberapa artikelnya. Namun, adanya gap antara informasi yang diberikan PC World dan pembaca Indonesia membuat mereka hanya bisa memakai 15 persen naskah dari induk semang. Sebagai kompensasi, setiap tiga bulan mereka membayar royalti yang diambil dari 10 persen hasil iklannya. Barangkali saja, itulah biaya untuk alih bahasa.
Agung Rulianto, I G.G. Maha Adi, Upik Supriyatun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo