SATU hal yang saya inginkan dari rakyat Amerika adalah berhenti membicarakan soal komunis di Rusia. Komunisme sudah tak ada lagi. Sudah mati.'' Kata-kata yang pernah diucapkan Presiden Boris Yeltsin sebelum meninggalkan Vancouver, Kanada, bulan lalu itu mungkin berlebihan. Sebab, komunisme belum mati di Rusia. Dan sesungguhnya, Yeltsin sendiri yang mengambil kebijaksanaan meresmikan kembali berdirinya Partai Komunis, tahun lalu, setelah ia bekukan tahun 1991, setelah terjadi upaya kudeta yang gagal itu. Kebijaksanaan Yeltsin dimaksudkan untuk membuktikan, di Rusia ada demokrasi. Bila itu ada risikonya, apa boleh buat. Maka, pada Hari Peringatan Kemenangan Uni Soviet atas Nazi, sekitar 10 ribu orang, Ahad lalu, berbaris membawa bendera palu-arit. Dan sebelumnya, 1 Mei lalu, anggota Partai Komunis dan simpatisannya berbaris memperingati Hari Buruh. Dalam dua peristiwa itu, massa pendukung garis keras itu meneriakkan slogan-slogan yang menuntut agar Yeltsin turun dan reformasi diubah. Memang, dibandingkan dengan peristiwa Hari Buruh 1 Mei, yang berubah menjadi kacau dan satu polisi tewas dan 600 lainnya terluka, pawai peringatan Ahad lalu itu relatif aman. Ini sekaligus mencerminkan sikap lunak yang ditunjukkan pihak penguasa di Moskow, yang tampak hati-hati menghadapi para demonstran yang kebanyakan anggota Front Keselamatan Nasional. Organisasi politik itu, yang berdiri awal tahun ini, merupakan aliansi neo-fasis dan orang-orang komunis yang dikenal berhaluan keras, termasuk di antaranya Legiun Nasional Rusia, organisasi paramiliter yang kabarnya mengirimkan sukarelawan ke Bosnia. Partai Komunis Rusia, yang kini bernama Perhimpunan Partai Komunis Uni Soviet, kini dipimpin oleh Gennady Zyuganov, bekas anggota Politbiro PKUS. Partai komunis baru ini konon memiliki 1,5 juta anggota. Suatu jumlah paling besar dibandingkan dengan partai politik Rusia lainnya. Selain menguasai Kongres, pengaruh Partai Komunis di daerah tak bisa dianggap enteng. Soalnya, para birokrat, politikus, industrialis, dan komandan angkatan bersenjata di daerah adalah orang-orang bekas anggota PKUS yang masih memimpikan ideologi sebagai panglima. Sehingga, tak mengherankan, dalam pemilihan gubernur di Chelyabinsk, dua pekan lalu, daerah selatan Rusia itu memunculkan Pyotr Sumin, seorang yang anti-Yeltsin. ''Dewan kota sudah pro- komunis,'' kata Vadim Solovyov, bekas gubernur pendukung Yeltsin yang kalah suara. Demikian pula yang terjadi di Republik Otonomi Mordovia. Presidennya yang pro-Yeltsin kalah oleh tokoh komunis. Ketika tentaranya dilucuti, ia pun terpaksa menyewa para veteran perang Afganistan untuk melindungi diri. ''Perebutan kekuasaan sudah merembet ke sini,'' kata Boris Serikov, seorang wartawan setempat. Dan problem itulah yang harus dihadapi Boris Yeltsin sekarang ini. Meski pemimpin Rusia itu didukung mayoritas suara seba- gaimana tercermin dari referendum beberapa pekan lalu, tak otomatis ia dapat berbuat seenaknya. Ada arus bawah yang menentang segala kebijaksanaannya, bahkan menuntut ia turun. Analisa di Rusia sendiri, muncul kembalinya para anggota Partai Komunis itu karena reformasi ekonomi Yeltsin tak juga dirasakan manfaatnya oleh kebanyakan rakyat di bawah. Memang, sesungguhnya hidup mereka tak bisa dikatakan turun tarafnya dibandingkan di zaman Uni Soviet. Tapi, bagi para pemimpin partai, hilangnya subsidi dari partai membuat mereka merasa miskin. Apalagi sejumlah kecil orang Rusia kini memperoleh penghasilan lebih daripada mereka dulu. Jadi, bila benar mereka ingin kembali ke sistem lama, ideologi sebagai panglima, sebenarnya tujuannya cuma satu: berharap mereka mendapatkan subsidi kembali. Dari segi ini, sebenarnya Yeltsin berhasil juga: menyadarkan mereka enaknya berpenghasilan lebih. Cuma, caranya bukan dengan subsidi lewat partai. Tapi kerja keras. DP dan D. Petrogradsky (Moskow)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini