SEMBOYAN ''tanah untuk damai'' makin terdengar sayup. Konferensi Damai Timur Tengah yang diawali dengan semboyan itu di Madrid Oktober 1991 pekan ini (sebagai kelanjutan pertemuan putaran kesembilan pekan lalu) tak lagi menyebut-nyebut soal tanah untuk damai. Pihak Israel sekilas bisa dikatakan melangkah maju: mengusulkan detail-detail pemerintahan otonomi Palestina di wilayah pendudukan. Tapi segera jelas, wewenang yang diberikan kepada Palestina terbatas pada sektor pariwisata, pendidikan, kesehatan, serta keuangan. Selain itu, wilayah pendudukan tak benar-benar dibersihkan dari unsur Israel. Permukiman orang Israel dan markas polisi Israel, misalnya, nantinya tetap berada di luar pemerintahan otonom Palestina. Juga disebut-sebut bahwa Yerusalem Timur tak menjadi bagian dari usulan ini. Memang Palestina diberi hak membentuk kesatuan polisi sendiri asalkan mau bertanggung jawab terhadap keamanan di wilayah pendudukan. Dan mudah ditebak, karena polisi Palestina tetap berada di bawah pengawasan polisi Israel, inilah sebuah taktik adu domba. Yakni mengadu domba antara polisi Palestina dan para aktivis intifadah. Tapi yang sangat menjadikan pihak Palestina keberatan, tak disinggung-singgungnya soal pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242. Padahal Resolusi yang dijiwai oleh prinsip ''tanah untuk damai'' itulah dulu yang mendorong pihak Palestina akhirnya bersedia menghadiri Konferensi Damai Timur Tengah yang pertama kali diselenggarakan di Madrid, Oktober 1991. Dan Resolusi itulah yang secara sah memerintahkan Israel menarik diri dari wilayah- wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari di tahun 1967. Resolusi yang secara internasional memberi hak warga Palestina menempati Jalur Gaza dan Tepi Barat sebagai tanah merdeka. Resolusi tersebut pernah sebentar menjadi isu internasional, yakni di masa Perang Teluk, 1991. Sasaran isu pada waktu itu memang bukan Israel, melainkan Amerika. Banyak pihak menuntut agar AS konsekuen, memperlakukan Israel yang menduduki Gaza dan beberapa daerah lain itu sebagaimana Irak menginvasi Kuwait. Sebab DK-PBB mengeluarkan resolusi yang sama-sama meminta Israel dan Irak menarik diri dari wilayah yang didudukinya. Yang memberikan tanggapan waktu itu bukan AS, melainkan Israel. Dua kasus itu berbeda, kata perdana menteri Israel, waktu itu, Yitzhak Shamir. Dalam Perang 1967 bukan Israel yang memulai, melainkan Mesir. Karena itu, resolusi itu tak bisa diterimanya. Masalah ini tak sempat menjadi debat internasional, mungkin karena orang enggan melihat pengalaman selama ini. Yakni, AS selalu memveto dibicarakannya Resolusi 242 di Dewan Keamanan PBB. Padahal, setidaknya menurut juru bicara delegasi Palestina, sebab-sebab Perang 1967 masih belum jelas benar. Kata Hanan Ashrawi, juru bicara itu, setidaknya ada faktor Israel yang memancing-mancing dengan mengonsentrasikan pasukan di perbatasan (lihat Selingan). Sebenarnya delegasi Palestina menyadari bahwa diperolehnya kemerdekaan mendadak lewat meja perundingan memang sulit. Meski tak ada pernyataan dari pihak Palestina, mereka mestinya menyadari pula masalah ketakutan orang-orang Israel. Yakni, bisakah mereka tidur nyenyak setelah wilayah pendudukan resmi menjadi sebuah negara Palestina merdeka. Secara geografis, Jalur Gaza dan Tepi Barat ada di dalam negara Israel. Tapi, seperti kata Hanan Ashrawi, sikap Palestina (baca PLO) beberapa tahun lalu, yang berubah mengakui adanya negara Israel, pun merupakan satu langkah besar yang membobol hambatan psikologis. Mengakui adanya dua negara di Tanah Palestina, bagi bangsa Palestina sendiri, sungguh suatu loncatan yang sangat berani, karena apa yang akan terjadi nantinya sama sekali belum terbayangkan. Dan itu ditempuh oleh Yasser Arafat ketika itu, karena tanpa ada langkah kompromi tentunya sulit dicapai kesepakatan. Itulah sebabnya, meski delegasi Palestina berpegang teguh pada Resolusi DK-PBB 242, mereka pun tak ingin perundingan damai dihentikan. Bola, sejak di Madrid satu setengah tahun yang lalu, sebenarnya memang di tangan Israel. Repotnya, Israel kurang berani memainkannya. Mereka yang sudah merasa ''aman'' memang lebih suka bila keadaan tak berubah. Sengaja atau tidak, Israel memang diuntungkan bila isu ''tanah untuk damai'' makin sayup terdengar. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini