Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROVINSI HAJJAH – Saat perang Yaman memasuki tahun keempat tanpa upaya perdamaian yang berarti hingga hari ini, Hussein Abdu hanya memiliki sedikit harapan untuk memberi makan dan perawatan kesehatan bagi putrinya yang sedang kelaparan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di desa-desa pegunungan terpencil di Yaman, krisis ekonomi yang dipicu perang itu membuat para orang tua miskin seperti Abdu menderita karena menyaksikan anak-anak mereka kelaparan dan minum dari air yang tidak bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebelum perang, kami memperoleh makanan karena harga yang murah dan memiliki pekerjaan," kata pria berusia 40 tahun dari Al-Jaraib, sebuah desa pertanian kecil di perbukitan Provinsi Hajjah di barat laut Yaman, itu kepada Reuters, akhir pekan lalu. "Sekarang harga makanan meningkat secara signifikan, sehingga kami hanya mengandalkan yoghurt dan roti untuk nutrisi."
Afaf, putri Abdu yang kini berusia 10 tahun, hanya memiliki berat badan sekitar 11 kilogram. Dokternya mengatakan kondisinya itu "hanya tulang berbalut kulit". Anak perempuan ini mengalami kekurangan gizi akut akibat kelaparan dan menderita hepatitis, yang mungkin disebabkan oleh air yang terinfeksi. Dia meninggalkan sekolah dua tahun lalu karena terlalu lemah.
"Jika saya melihat sisa makanan, saya akan segera mengambilnya supaya anak-anak tidak kelaparan. Saya bisa menahan rasa lapar, tapi mereka tidak bisa," ujar Abdu, yang kehilangan satu dari dua istrinya, ibu Afaf, awal tahun ini karena TBC.
Konflik Yaman mendorong negara termiskin di Jazirah Arab ini ke ambang kelaparan. Perang telah memotong rute transportasi untuk bantuan, bahan bakar, dan makanan, juga mengurangi impor dan menyebabkan inflasi yang parah. Penduduk kehilangan pendapatan karena upah tidak dibayar dan konflik memaksa warga keluar dari rumah dan pekerjaan mereka.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan sekitar 80 persen dari populasi Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan dan dua pertiga dari semua distrik di negara itu berada dalam kondisi "pra-kelaparan", seperti yang dialami Afaf dan ribuan anak-anak Yaman lainnya.
Sekitar 1,8 juta anak Yaman berusia di bawah 5 tahun menderita kekurangan gizi akut. Adapun Save the Children mengatakan bahwa antara April 2015 dan Oktober 2018 sekitar 85 ribu anak mungkin meninggal karena kekurangan gizi parah atau penyakit terkait. Sedangkan lainnya terbunuh akibat pertempuran.
Diganggu oleh ketidakstabilan selama beberapa dekade, konflik terbaru Yaman dimulai pada akhir 2014 ketika pasukan pemberontak Syiah Houthi mengusir pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi dari Ibu Kota Sanaa. Aliansi pasukan Yaman dan Arab yang didukung Arab Saudi kemudian melakukan invasi pada 26 Maret 2015 untuk membantu Hadi.
Badan Dunia untuk Kesehatan (WHO) menyebutkan lebih dari 10 ribu orangkebanyakan warga sipiltewas sejak koalisi yang dipimpin Saudi bergabung dengan konflik. Namun kelompok-kelompok bantuan memperingatkan jumlah korban tewas mungkin jumlahnya lima kali lebih tinggi. Kelompok Action Against Hunger bahkan menyatakan korban tewas dalam konflik Yaman mencapai lebih dari 57 ribu orang.
Pada Desember lalu, pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan dalam pembicaraan damai untuk gencatan senjata dan penarikan pasukan dari kota pelabuhan utama Hodeidah di Laut Merah. Namun penarikan pasukan berhenti karena ketidakpercayaan di antara para pihak. Kekerasan dan pemindahan juga berlanjut di bagian lain Yaman yang tidak tunduk pada gencatan senjata.
REUTERS | FRANCE24 | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo