POLA politik Kamboja kini ditendang dari Canberra ke Bangkok oleh pemain gelandang luar negeri Vietnam, Nguyen Co Thach. Anehnya, tendangan Menlu Co Thach yang disambut oleh menlu Australia, Bill Hayden, tidak dilakukannya di Jakarta. Banyak pengamat tadinya mengira akan lahir sesuatu yang baru di Jakarta, setelah Pangab Jenderal Benny Moerdani berkunjung ke Vietnam, dan CSIS menyelenggarakan seminar dua hari akhir Februari lalu di Hanoi, dengan Lembaga Hubungan Internasional punya Deplu Vietnam. "Saya merasa bingung dan kecewa," kata Menlu Mochtar Kusumaatmadja, sehari setelah Menlu Co Thach meninggalkan Jakarta, 14 Maret. Menurut Mochtar, pembicaraan dengan Menlu Co Thach, yang pada mulanya lancar, mendadak berubah setelah makan siang. "Dia menolak semua usul Indonesia," katanya. Usul Indonesia sebenarnya merupakan Imbauan Jakarta 1983 yang diperluas, (lihat: Nasional - Wawancara). Hal serupa telah dikemukakan Menlu Co Thach dalam kunjungan lima hari di Australia, sekalipun ia didemonstrasi sekitar 2.00C orang Vietnam yang bermukim di sana. Kepada Bill Hayden. menlu Vietnam yang pandai bicara itu antara lain menyetujui suatu pertemuan dengan ASEAN, khusus membicarakan masalah Kamboja, termasuk penarikan pasukan Vietnam dan hak penentuan nasib sendiri di Kamboja tanpa Pol Pot dan kawan-kawan di bawah pengawasan internasional. Kepada pers di sana, Co Thach juga mengatakan, "penyingkiran Khmer Merah sebagai kekuatan militer dan politik merupakan prioritas utama dalam setiap pembicaraan tentang Kamboja." Ia tak lagi menyebut "ancaman Cina" scbagai prioritas utama untuk dipersoalkan. Menlu Bill Hayden menilai Menlu Co Thach telah menawarkan suatu "konsesi baru", sedangkan beberapa pengamat di Canberra menilai, suara menlu Vietnam itu tak lagi sekaku dulu. Tapi para politisi di ASEAN, khususnya Muangthai, masih merasa waswas atas kesungguhan Nguyen Co Thach. "Itu taktik belaka," kata Prasong Soonsiri. Kepala Keamanan Nasional Muangthai, yang dikenal beraliran keras, menuding diplomasi Co Thach itu sebagai "usaha untuk memecah-belah ASEAN, dalam menuntut keluarnya pasukan Vietnam dari Kamboja." Siasat atau bukan, pembicaraan Co Thach dengan menlu Muangthai Siddhi Savetsila yang dimulai Rabu, 21 Maret, tampaknya akan tcrbentur pada batu pengganjal: Pol Pot dan Khmer Merah. Masalah bekas PM Kamboja yang tersohor dengan pembunuhan berjuta orang di negerinya barangkali bisa diatasi, sekalipun para pemimpin di Muangthai - juga beberapa negara ASEAN lebih suka melihat Pol Pot sebagai urusan dalam negeri Kamboja. Tapi yang paling sulit diterima adalah permintaan Vietnam agar "Khmer Merah disingkirkan sebagai kekuatan militer dan politik." ASEAN masih berkeras agar Khmer Merah, sebagai sesama orang Kamboja, diikutsertakan dalam proses pemilihan umum di Kamboja, di samping kelompok Son Sann dan Sihanouk. Tajuk harian terkemuka The Nation yang terbit di Bangkok baru-baru ini menilai, permintaan agar Khmer Merah diikutsertakan dalam mencari pemecahan masalah Kamboja, "sama saja dengan menempatkan kuda di balik kereta." Tapi harian yang cukup kritis itu juga masih menyangsikan itikad Hanoi yang, katanya, sulit dipegang. Di Jakarta, yang berpendapat senada dengan tajuk koran itu dalam soal Khmer Merah adalah Jusuf Wanandi. Selama di Hanoi dan di Jakarta pekan lalu, direktur CSIS itu juga bertemu dengan Co Thach. "Sulit diharapkan Vietnam akan menarik pasukannya, selama Khmer Merah masih ada," katanya pekan lalu. Vietnam sendiri, konon, bisa menerima kembalinya Sihanouk ke Phnom Penh, dan akan merundingkannya dengan para pemimpin Kamboja sekarang, kalau saja ASEAN bersedia menerima syarat minimal Hanoi. Apa hasil pembicaraan Menlu Siddhi dengan Menlu Thach, baik kita tunggu. Tapi mudah diduga masalah Kamboja yang musykil itu masih akan memakan waktu lama. Khmer Merah, seperti kata Co Thach, lebih merupakan masalah antara Hanoi dan Beijing. Usaha Hanoi untuk mendekati Beijing bukan tak ada. Tapi kabarnya para pemimpin di Beijing, yang mungkin masih jengkel terhadap Hanoi, belum kelihatan mau mengulurkan tangan. Kepergian Menlu Mochtar Kusumaatmadja ke Moskow bulan April juga dilihat sebagai upaya merintis pemecahan masalah Kamboja. Pihak Soviet sebagai penyumbang paling besar di tiga negara Indocina, terutama Vietnam, tentu merupakan salah satu penentu dalam masalah Kamboja. Dan Soviet yang kini di atas angin dalam kawasan Indocina, dibandingkan RRC dan AS, agaknya akan lebih suka mendengarkan dan mencatat daftar usul usulan yang akan diajukan Mochtar. Perang di Kamboja tampaknya masih panjang. Kchadiran pasukan Vietnam, seperti dikatakan Co Thach, paling sedikit masih akan berlangsung 5 - 10 tahun lagi. Tapi di tengah jalan berliku itu, ada satu hal menarik Indonesia mulai aktif lagi dalam pentas politik luar negeri - paling tidak di Asia Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini