PELURU beterbangan di kedua sisi Kota Beirut, sementara sembilan wakil empat kelompok besar Libanon berbeka-beka di tepi Tasik Jenewa yang sejuk di Lausanne, Swiss. "Jika mereka tidak mencapai sesuatu hari ini, malapetaka bakal terjadi," ujar seorang anggota delegasi, Ahad lalu. Hari itu, konperensi rujuk nasional kedua ini hanya berhasil menyetujui satu hal, yaitu memperpanjang masa sidang. Sejak semula, usaha mencapai pembaruan politik ini sudah tampak musykil. Nada optimistis hanya terdengar di pihak Presiden Amin Gemayel. "Banyak harapan, dan mudah-mudahan dalam waktu singkat kami mengumumkan kabar baik," ujar Amin menjelang pembukaan sidang. Sebaliknya, para pemimpin oposisi Druze dan Syiah tak surut dalam mengasah kata-kata tajam. "Saya sama sekali tidak berbesar hati," kata pemuka Syiah, Nabih Berri, begitu menginjakkan kaki di Lausanne. Tokoh Druze, Walid Jumblatt bahkan mengaum lebih keras. Ia mengusulkan Presiden Amin Gemayel dipecat dan diadili lantaran sudah menginjak-injak konstitusi. Masalah pokok, tampaknya, adalah mempertemukan dua konsep mengenai "Libanon Baru" dari kelompok Kristen dan Muslim. Delegasi Kristen cenderung pada bentuk federasi, tempat setiap agama dan golongan mendapat otonomi lokal. Kelompok Islam menilai, bentuk ini justru pangkal perpecahan sesungguhnya. Karena itu, memilih bentuk kesatuan. Tuntutan Walid Jumblatt bahkan lebih kongkret. Ia, di samping menyerukan diakhirinya sistem "konfesional" yang didominasi kelompok Kristen, juga mengusulkan dibentuknya dewan kepresidenan semacam yang terdapat di Yugoslavia sekarang. Jabatan ketua dewan digilir setiap tahun. Usul Jumblatt meliputi perombakan angkatan bersenjata, dan penggunaan nama resmi "Republik Arab Libanon". Tanpa didahului sensus, ia menyatakan, Partai Sosialis Progresif yang dipimpinnya tak sudi meng, ikuti pemilihan untuk kursi di parlemen. Libanon memang tak pernah menyelenggarakan sensus resmi sejak 1932. Tapi,menurut angka-angka yang dikumpulkan sebuah tim survei Prancis, 1977, 55% dari 3,2 juta penduduk negeri itu Islam. Pada hari ketiga, konperensi menyetujui gencatan senjata - yang ketiga ratus sekian sejak 1975. Dua hari kemudian, atase politik kedutaan besar AS di Beirut, William Buckley, raib diculik kelompok tak dikenal. Disusul pertempuran sengit antara tentara Libanon dan milisi Druze di Pegunungan Shouf, di kawasan strategis Souk al-Gharb. Paling tidak, 26 tewas selama seminggu pertama konperensi. Komite keamanan, yang diberi kepercayaan mengawasi gencatan senjata, malah gagal mengadakan pertemuan. Sementara itu, penengah Arab Saudi Rafik Hariri dan wakil presiden Syria Abdul Halim Khaddam, yang menghadiri sidang dengan status "peninjau", tak henti-hentinya melakukan pendekatan pribadi terhadap tokoh-tokoh yang bersengketa. Toh keadaan tampaknya bertambah runyam. Di Beirut sendiri muncul kelompok baru Kristen garis keras, yakni mereka yang merasa tidak diwaklli di sidang Lausanne.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini