SEBUAH pemandangan Tel Aviv di tengah malam dilihat dari atas. Di antara kerlipan lampu-lampu, selarik cahaya putih terang melesat dari tengah kota. Itulah foto warna dua halaman di majalah Newsweek, pekan lalu, yang sungguh menarik. Judulnya, menembak Scud dengan Patriot di atas Tel Aviv. Namun, sungguh lebih menarik akibat pemuatan foto itu. Kepala biro Newsweek di Tel Aviv, Theodore Stranger, dicabut izin meliputnya. Ini berarti Stranger tak berhak lagi mendapat pelayanan dari semua kantor pemerintah, termasuk juga angkatan bersenjata Israel. Pemuatan foto itu dianggap berbahaya karena memberikan informasi tempat peluncur rudal Patriot berada. Itulah salah satu korban sensor pers dalam Perang Teluk II kini. Tujuh puluh empat tahun lalu, seorang senator Amerika, Hiram Johnson, berkata, "Korban pertama yang jatuh begitu perang pecah adalah kebenaran." Kata-kata itu dikutip majalah Time, pekan lalu, dan sungguh tepat menggambarkan sensor pers yang dilakukan semua pihak yang terlibat Perang Teluk sekarang ini. Sensor yang sungguh membingungkan pembaca berita perang karena informasi dari garis depan sulit dicek kebenarannya -- masing-masing cenderung merugikan lawan. Dalam pertempuran di Khafji pekan lalu misalnya, mula-mula pihak Sekutu menyebut korban tewas di pihak Irak ratusan serdadu. Jumat pagi (WIB), Radio BBC, London, memperoleh kon- firmasi dari pihak tentara Saudi menyebutkan, korban itu sebenarnya hanya 30 serdadu Irak. Akhirnya, Reuters pun meralat angka 300 menjadi 30. Berapa jumlah sebenarnya, tak seorang pun berani bertaruh. Contoh yang lain, pihak Sekutu menyatakan sudah meratakan sebuah pabrik senjata biologi. Esoknya, di TV, seorang wartawan Barat, melaporkan bahwa pabrik itu adalah pabrik susu bayi. Reruntuhan papan nama yang berbahasa Arab dan Inggris juga tampak di sana, berbunyi Baby Milk Plant. Mana yang benar? Harap sabar, tunggu perang selesai. Sensor berita dalam Perang Teluk memang tak main-main. Menyalahi aturan, azab hukumnya. Tiga juru foto Prancis yang menyelinap dan memotret Bandara Saddam Hussein di Baghdad ketika sedang dibom langsung ditangkap. Selama tiga jam mereka jadi dipukuli tentara dituduh mata-mata. Untunglah, biar terlambat masih ada pembelaan. Telepon dari Departemen Penerangan Irak menyelamatkan mereka. Demikian pula nasib wartawan Harian Surya dari Surabaya, Efendi Choiri, yang sempat ditahan di pos polisi, dan kemudian dioper ke berbagai pos tentara di perbatasan Yordania-Irak. Ia, tanpa surat jalan, mencoba mencari cerita di perbatasan yang sedang panas itu. Tentu saja wartawan Indonesia itu dicurigai. Kedutaan Besar Indonesia di Amman akhirnya menyelamatkannya. Yang sebenarnya agak mengagetkan adalah dinyatakannya keterbatasan peliputan di pihak tentara Amerika. Negeri yang dikenal dan mengaku sebagai biangnya demokrasi itu ternyata bisa dengan paksa memasung kebebasan pers. Di markas besar pasukan Sekutu para wartawan dipaksa tunduk pada aturan main yang sangat ketat. Seorang tentara pengawas akan terus menempel ke mana para pemburu berita itu pergi, menjaga agar mereka tak merekam hal-hal yang dilarang. Para wartawan itu sama sekali tak boleh menyebutkan kekuatan pasukan, tentara yang tewas, atau lokasi kejadian. Kecuali jika sang jenderal atau juru bicaranya resmi memberi info lewat taklimat (brifing). Tak adakah protes? Beberapa pemimpin redaksi koran Amerika segera mengirim surat protes kepada menteri pertahanan Dick Cheney. "Sensor ketat adalah kesalahan yang paling mengerikan," tutur Michael Getler, redaktur luar negeri koran The Washington Post kepada TEMPO. Soalnya, di Amerika suara rakyat bisa begitu menentukan. Padahal, "Opini rakyat itu muncul berdasarkan laporan yang dibuat oleh pers." Ketakutan pihak pemerintah dan para jenderal AS memang ada. Yakni, bila kasus Perang Vietnam (1965-1975) terulang. Yakni munculnya pendapat umum di AS yang menentang perang, dan akhirnya menjadi salah satu sebab yang membuat Amerika harus kalah. Hasilnya, selain berita yang simpang-siur, bisa dikatakan berita dari garis depan di semua media tak ada bedanya. Hanya ada sekadar perbedaan cara penyajian saja. Padahal, seribu wartawan terjun di Arab Saudi, kebanyakan bercokol di Riyadh dan Dahran. Sementara itu, di Amman, Yordania, tak kurang dari 700 nyamuk pers gentayangan mengisap informasi. Tak ada aturan yang tak dilanggar, kata para arif. Di Amerika, pelanggaran memang tak berakhir dengan penutupan medianya, melainkan risiko itu lebih berupa hukuman bagi wartawan, pemimpin redaksi, atau yang bertanggung jawab lainnya, setelah lewat pengadilan. Misalnya, harus bayar denda, atau masuk kurungan. Dalam Perang Teluk II ini, nyawa bisa jadi taruhan. Seperti nasib Bob Simon dkk. dari televisi CBS, yang sampai hari ini tak diketahui rimbanya (lihat Bob Ditelan Gurun). Namun, tampaknya, sensor tak mengurangi minat pembaca atau pemirsa TV. Di Indonesia, setidaknya, koran naik oplahnya. Di Amerika, tak jelas. Tapi tiga jaringan TV raksasa Amerika -- NBC, ABC, dan CBS -- diperkirakan malah rugi sekitar US$ 100 juta sejak Agustus tahun lalu. Ini bukan terutama karena sensor, melainkan mulurnya waktu untuk menyiarkan berita perang. Maka, banyak program komersial tergeser. Bahkan, pemasang iklan raksasa seperti Pepsi Cola menolak memasang iklan sepanjang acara berita perang berlangsung. Juga perusahaan penerbangan. Alasannya, selain menduga kurang diperhatikan bila disuguhkan di antara berita perang, juga karena takut diserang teroris. Tak jelas mengapa muncul ketakutan ini, mungkin muncul di tengah perang akan dianggap mensponsori perang. Dan tentu saja pengeluaran biaya peliputan itu sendiri tak kecil. Tiap jaringan TV besar diperkirakan mengeluarkan dana sekitar US$ 2 juta untuk seminggu pertama peliputan perang. Sekarang, rata-rata mereka mengeluarkan US$ 1,5 juta. Jadi, sekali lagi, setelah perang usai, nanti, kebenaran baru bisa diungkapkan. Mandy J. Gardner (New York), Yuli Ismartono (Amman), YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini