DARI mana datangnya gencatan senjata? Dari Washington turun ke Teluk? Mungkin saja begitu bila isyarat resolusi bersama Menteri Luar Negeri AS James Baker dan Menteri Luar Negeri Soviet Alexander Bessmertnykh, Selasa pekan lalu di Washington, disambut oleh Presiden Saddam Hussein. Pernyataan kedua menlu itu pada pokoknya kembali mengimbau agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait. Tapi tak sebagaimana resolusi PBB yang hanya memberikan batas waktu, resolusi Washington pun memberi peluang buat Saddam untuk berpikir. Yakni, disebutkannya juga kesediaan kedua negara superkuat itu untuk menyelenggarakan adanya Timur Tengah yang stabil dan damai. Caranya, menyelesaikan segala penyebab kekisruhan, termasuk konflik Arab-Israel. Bila resolusi itu bisa dianggap serius, di situ tersirat bahwa yang dimaksudkan mengatasi konflik Arab-Israel adalah terciptanya keseimbangan yang damai antara Israel, negara-negara Arab, dan Palestina. Tak sulit menghubungkan bahwa resolusi itu sedikit banyak memancing Saddam agar melihat kemungkinan gencatan senjata. Bukankah perangnya ini adalah "demi bangsa Palestina"? Tapi sampai awal pekan ini reaksi Saddam adalah turunnya "Sang Saladin" modern ke garis depan itu, konon, untuk memimpin langsung serangan Irak ke Khafji, kota di perbatasan Saudi-Kuwait. Bagi Saddam, bukan mundur dulu dari Kuwait baru ada perundingan tentang konflik Arab-Israel, tapi sebaliknya, perundingan dulu baru mundur. (Ada usul lain, misalnya dari Arafat dan Mitterrand, dua-duanya diadakan secara simultan -- yang sudah ditolak oleh AS, sementara Irak tak menanggapinya.) Sama tegasnya dengan reaksi Irak adalah tanggapan Israel. Kamis pekan lalu Menteri Luar Negeri David Levy menegaskan, tak ada jaminan langsung bahwa Israel bersedia merundingkan soal Palestina, tanpa sekaligus ada perundingan damai bilateral antara Israel dan negara-negara Arab. Dan untuk itu pun Levy masih menambahkan satu syarat berat: bertekuk lututnya Irak secara total, dan jatuhnya Saddam. Ini tentu menambah kemustahilan Saddam setuju mundur dari Kuwait. Apalagi bila kemudian ternyata dari Departemen Luar Negeri Amerika datang pernyataan resmi yang bisa membuat Irak makin nekat. Kata Margaret Tutwiler, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika ini, resolusi Baker dan Bessmertnykh bukanlah pernyataan yang membuat Perang Teluk kini dan masalah Palestina terkait. Yang hendak ditekankan dalam pernyataan itu, kata Tutwiler, meski KTT AS-Soviet ditunda, tak ada kesenjangan sikap antara Soviet dan AS terhadap masalah di Timur Tengah. Mudah ditafsirkan bahwa penjelasan Tutwiler merupakan upaya "menyelamatkan muka" saja. Sebab, sejak awal Bush berkeras bahwa soal Kuwait-Irak tak berkait dengan konflik Arab-Israel. Kini, yang jelas makin terjepit adalah Palestina. Dari sikap AS dan Israel kini, bila perang usai pun perundingan internasional yang membicarakan nasib bangsa tanpa tanah air ini tampaknya masih remang-remang. Maka, bila Rabu pekan lalu roket-roket Katyusha buatan Uni Soviet terbang dari Libanon Selatan menuju Israel, itulah upaya PLO, wadah perjuangan Palestina yang diakui, untuk mencoba mencari perhatian internasional. Kata Yasser Arafat, pemimpin PLO itu, kado yang bisa meledak tersebut adalah balasan terhadap Israel, yang katanya sudah diketahui terlibat dalam penyerbuan ke Irak. Katanya, pesawat-pesawat Israel sudah bergabung dengan Sekutu dan juga sudah melepaskan rudal-rudal ke bagian barat Irak. Sebagai balasannya, Israel menghantam kamp pengungsi Palestina di Rasyidiyah, Libanon Selatan. Kamp yang menampung sekitar 180.000 pengungsi itu dibombardir Israel dengan peluru-peluru rudal Howitzer dari kapal-kapal perang yang dibantu oleh helikopter. Keberanian Israel membalas itu menunjukkan tak adanya ketakutan pada diri Israel untuk memenuhi permintaan Amerika. Membalas serangan ke Libanon Selatan bisa dilihat sebagai tes untuk menjajaki bagaimana kalau Israel juga menyerang Irak. Di samping itu, Israel seperti makin meremehkan kemungkinan PLO mengubah Perang Teluk jadi konflik terbuka Arab-Israel (dan Barat). Memang, bukan rahasia lagi, para pimpinan PLO sebenarnya tak begitu setuju pemihakan PLO pada Irak dengan terang-terangan. Ini, kata mereka, membuat sempit ruang buat PLO bermanuver. Sebelum terjadi krisis Teluk pun, ketika Arafat makin dekat dengan Saddam, PLO sudah mengalami pukulan. Yakni, Kuwait mengalihkan bantuannya pada PLO ke kelompok Hamas -- kelompok Palestina radikal di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kemudian, setelah krisis Teluk pecah dan orang-orang Palestina di Kuwait kehilangan pekerjaannya, dan yang masuk un- tuk perjuangan intifadah pun menipis. Waktu itu dikabarkan rumah-rumah sakit di daerah pendudukan kekurangan obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Lebih celaka lagi, begitu perang pecah, Israel melipatgandakan pengawasan terhadap daerah pendudukan. Memang, apakah warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bisa dikotakkan dengan cara itu, tak diketahui jelas. Sebabnya, sudah dimaklumi, Israel pun melakukan sensor keras terhadap pers semenjak Perang Teluk kedua ini meledak (lihat Korban Rudal Pertama: Kebenaran). Yang terbetik pekan lalu adalah penahanan Sari Nusseibeh, seorang profesor filsafat halus budi yang dituduh menjadi mata-mata Irak. Ia didakwa memberi informasi pada Irak di mana rudal Scud mendarat di Israel. Ini terasa keterlaluan, karena tempat jatuhnya Scud itu tak sulit diketahui oleh siapa pun juga yang berada di Israel. Dalam posisi terpojok sekarang -- konon markas besar PLO di Tunisia pun kini harus pindah ke gedung yang lebih sederhana, dan sejumlah stafnya mesti dipindahkan ke Libya untuk mendapatkan perlindungan (ekonomi) dari Muammar Qadhafi -- apa yang bisa diharapkan oleh PLO? Serentetan teror yang konon dilakukan atas permintaan Saddam Hussein memang sudah terjadi di banyak tempat. Tapi dampak berbagai teror itu sendiri sejauh ini belum berarti, kecuali penjagaan di sejumlah negara diperkuat. Lalu, menangnya Saddam? Ini masih belum bisa ditebak. Maka, kata majalah The Economist, PLO kini sedang mengintip ke masa depannya lewat kaca yang gelap. Padahal, salah satu kunci perdamaian di Timur Tengah adalah konflik Palestina-Israel. Sebenarnya, bukan cuma PLO yang mengintip tak jelasnya masa depan. Secara keseluruhan Timur Tengah pun belum menentu. Setelah Perang Teluk, tak ada jaminan bahwa stabilitas dan perdamaian di sini bakal terealisasi. Pemerintah Israel makin bergeser ke garis keras. Perdana Menteri Yitzhak Shamir Ahad kemarin mengangkat seorang menteri tanpa portofolio dari garis keras yang ekstrem. Rehavam Zeevi, menteri baru itu, adalah orang yang setuju membersihkan daerah pendudukan dari orang Arab (lihat Israel Makin Galak). Setelah perang ini pun, konflik terus membayang di Timur Tengah. Rustam F. Mandayun & Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini