PENGADILAN Tinggi Korea Selatan Sabtu pekan lalu memutuskan hukuman mati untuk Kim Hyon-Hui, 27 tahun, di tiang gantungan. Kim, yang dikenal sebagai Mayumi Hachiya, di hadapan pengadilan mengakui tuduhan ikut dalam operasi sabotase yang meledakkan pesawat Korean Airlines dengan nomor penerbangan 858, November dua tahun lalu, yang menelan 115 korban. Kim Hyon-Hui, dan rekan kerjanya Kim Sung-II, yang menyamar sebagai ayah Mayumi, tertangkap di Bahrain 3 hari setelah pesawat meledak. Sang "ayah" sempat menelan pil sianida dan mati. Walau sempat menggigit rokok yang beracun, Kim Hyon-Hui bisa diselamatkan. Sebagai anak diplomat, Kim Hyon-Hui sudah mengunjungi berbagai negara sejak kecil. Ia ikut ayahnya ke Kuba, Uni Soviet, dan Angola. Ia masuk dunia spionase pada Maret 1980, ketika masih 18 tahun. Dua tahun kemudian Kim dikukuhkan sebagai anggota Partai Buruh Korea Utara. Bintang jasa nasional kelas III tersemat di dadanya April 1986. Mendengar keputusan hakim pengadilan tinggi yang tak berubah dibandingkan keputusan pengadilan terdahulu, Kim tak memberikan reaksi. Wanita berambut terurai hampir menutupi wajahnya itu berjalan keluar ruang pengadilan dengan tangan terborgol, dengan tetap tenang seperti di pengadilan-pengadilan sebelumnya, meski sejumlah warga korban berteriak-teriak mencaci-makinya. Dua polisi wanita menggiringnya pulang ke penjara. Kakinya yang terbungkus sepatu olahraga melangkah gontai. Tinggal satu tangga lagi yang menentukan nasibnya. Mahkamah Agung. Selama ini banyak simpati, terutama dari pria di Korea Selatan, bahkan pria Jepang, diperoleh Kim Hyon-Hui alias Mayumi itu. Banyak bujangan menyatakan bersedia hidup bersamanya - tentu saja bukan di dalam penjara. Menurut desas-desus yang beredar di Seoul, dewan militer konon telah mempersiapkan keputusan hukuman yang lebih ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini