SEBUAH helikopter meraung-raung di atas Kota Gaza. Rupanya ada yang tengah dicari. Capung besi itu pun terbang rendah lalu naik lagi. Sekejap setelah berputar-putar, sasaran yang dicarinya terlihat. Mangsa itu adalah Ismail Abu Shanab. Lelaki berjambang dan berjanggut lebat itu tak lain merupakan seorang pejabat senior Hamas, kelompok radikal Palestina. Kamis itu, dia tengah berada di sebuah kendaraan bersama dua pengawal.
Seketika juga, tombol pun dipencet. Lalu melesaklah empat atau lima peluru kendali menukik hinggap di atap mobil itu. Ampuh! Mobil itu langsung terbakar api. Penumpangnya, Ismail Abu Shanab dan dua pengawalnya, pun tewas. "Saya langsung tiarap di bawah meja. Ledakannya seperti tak pernah berhenti," kata Naim Shaban, pemilik bengkel yang letaknya tak jauh dari tempat ledakan itu. "Api juga muncul di mana-mana, dan mobil itu hancur lebur. Orang di dalamnya gosong," katanya lagi.
Tembakan rudal itu tak hanya membuat mobil dan penumpangnya terpanggang api, tapi juga membuat konflik di kawasan ini kembali membara. Orang Palestina langsung melambung emosinya. Kelompok Hamas pun mangkel tiada kepalang. Mereka bersumpah, gencatan yang selama ini mereka sepakati sejak akhir Juni lalu sudah berakhir. Artinya, tak ada lagi yang bisa dipercaya dari Israel.
Tapi pihak Israel juga punya dalih. Serangan ini tak lain merupakan pembalasan terhadap serangan bom bunuh diri yang dilakukan Raed Abdul Hamid Masek, di dalam sebuah bus yang sarat dengan orang Yahudi yang baru pulang dari Tembok Ratapan, Yerusalem, Selasa pekan silam. Dalam insiden itu, sekitar 20 orang tewas, sedangkan 100 orang lainnya mengalami luka serius. Gara-gara serangan itu, Ariel Sharon langsung mengadakan pertemuan. Dan, rupanya insiden di Gaza itu adalah keputusannya.
Sejatinya, dari pihak Palestina sendiri, aksi yang dilakukan Raed Masek dengan bom bunuh dirinya pun bukan tiada pasal. Tindakan itu dilakukannya sebagai balasan atas serangan tentara Israel pekan sebelumnya. Dalam peristiwa itu, pemimpin kelompok Jihad Islam, Muhammad Sider, tewas. Nah, aksi berbalas bom ini membuat situasi di negeri ini kembali memanas.
Keruan saja, serangan balasan dari helikopter itu membuat jidat Mahmoud Abbas, sang Perdana Menteri, berkerut-kerut. Abbas memang pusing tujuh keliling. Dua insiden ini menghambat perwujudan Peta Damai yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun, yang paling penting, perjanjian damai yang dikenal dengan Road Map itu bakal menabrak tembok.
Sebenarnya, Mahmoud Abbas sudah berusaha agar Peta Damai tetap terjaga. Sesaat setelah bom bunuh diri itu meleduk, dia langsung mengecam kelompok garis keras seperti Hamas dan Jihad Islam. Dia pun meminta agar mereka tidak melakukan serangan seperti itu. "Serangan bom bunuh diri itu hanya akan menyengsarakan Palestina," katanya.
Bahkan Mahmoud Abbas pula yang memerintahkan petugas keamanan supaya menangkapi pihak yang terlibat dalam insiden tersebut. Tapi langkah yang sebenarnya ditujukan untuk meraih simpati Israel itu sama sekali tak mempan. Buktinya, Israel malah mengirim Shanab ke alam baka.
Nah, kini memang kian terbukti bahwa Mahzen memang bukan Arafat. Pemilihan dirinya untuk duduk di bangku kabinet kali ini memang dipandang sebagai tokoh yang bisa menjembatani Israel dan Amerika. Jadi, mohon maaf, selain karena kurang populer, Mahzen bukanlah tokoh yang punya tongkat sihir yang bisa menghentikan aksi-aksi, seperti yang kerap dilakukan Arafat. Abbas memang dalam posisi sulit. Dia bukanlah Yasser Arafat, yang lebih populer di kalangan masyarakat Palestina dan kelompok garis keras.
Melihat sosok Abbas yang tak kuasa membendung gerakan garis keras Palestina, terlebih lagi setelah terjadi insiden Kamis pekan silam, banyak orang menjadi ragu terhadap proses berjalannya Peta Damai hasil godokan empat pihak, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB itu. Bila aman dan lancar, peta ini akan mengakhiri kekerasan yang terus meningkat dalam tiga tahun belakangan ini.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini