DIPRAKARSAI Jala-Sampah (Jaringan Pengelolaan Sampah), sebuah konferensi elektronik digelar hingga Kamis pekan lalu. Pesertanya beragam, dari kalangan LSM, mahasiswa, akademisi, sampai birokrat. Semuanya punya aktivitas yang sama: memelototi naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Naskah yang lahir dari Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 24 Maret lalu itu disponsori oleh Japan International for Cooperation Agency (JICA).
Menurut Wirjono Kusumodirdjo, Kepala Bidang Pengelolaan Limbah Padat Kementerian Lingkungan Hidup, dalam draf akademis itu diupayakan sistem pengelolaan yang applicable, serta melibatkan berbagai unsur terkait. Ia kemudian menunjuk adanya pembagian peran di antara masyarakat, pelaku dunia usaha, dan pemerintah. Selain itu, juga bisa ditemui aturan tentang hierarki pengelolaan sampah yang dilakukan oleh tiga komponen tadi. "Semangatnya adalah mengurangi seminimal mungkin sampah yang dihasilkan," ujar Wirjono.
Semangat itu klop dengan keinginan pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya. Telah lama Marco melontarkan pemikiran agar pengelolaan sampah diselesaikan dari sumbernya.
Kemajuan lain yang patut dicatat, menurut Wiryono, draf akademis itu meminta banyak masukan dari masyarakat. Hal inilah yang mendorong dilakukannya konferensi elektronik oleh Jala-Sampah—gabungan 30 organisasi nonpemerintah yang peduli dalam soal sampah. Hasil konferensi, menurut Yuyun Ilham, fasilitator Jala-Sampah sekaligus Direktur Bali Fokus, membuahkan sejumlah catatan penting.
Yuyun menunjuk pernyataan dalam draf akademis yang menyebut penggunaan insinerator sebagai teknologi penghancur sampah. Padahal, menurut Yuyun, di banyak negara insinerator sudah lama ditinggalkan, termasuk di Jepang. "Selama 3-5 tahun terakhir tak kurang dari 200 insinerator dimusnahkan di Jepang," ujarnya.
Hal itu terkait dengan emisi dioksin yang dilepaskan insinerator. Dioksin adalah gas berbahaya penyebab kanker. Itu sebabnya Jala-Sampah menginginkan penggunaan insinerator dalam draf itu diganti dengan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. "Jangan-jangan Indonesia cuma dijadikan tempat buangan insinerator dari Jepang," ujar Yuyun.
Catatan lain yang dibuat Jala-Sampah adalah belum adanya ketentuan tentang tanggung jawab lanjutan dari pelaku usaha, juga ketiadaan insentif bagi industri yang mendaur sendiri sampahnya. Misalnya perusahaan air mineral yang mengadakan opsi pembelian kembali botol-botol plastik bekas.
Yuyun menyoroti pula hak-hak masyarakat untuk menyalurkan gugatan atas ketidakberesan pengelolaan sampah. Selain itu, soal pekerja informal yang banyak berjasa mendaur ulang sampah yang belum mendapat pengakuan dalam draf akademis itu. Soal pengaturan konflik antarwilayah daerah akibat pengelolaan sampah oleh Yuyun dianggap tak dicantumkan dalam draf akademik. Padahal selama ini berapa kali terjadi konflik antarpemerintah daerah akibat pengelolaan sampah, seperti yang terjadi di Jonggol, Jawa Barat. Dalam draf itu, Yuyun belum melihat adanya koordinasi antarinstansi, serta tugas dan peranan tiap departemen terkait.
Yuyun berharap berbagai catatan kelemahan itu bisa diperbaiki sebelum draf akademis berubah menjadi draf rancangan undang-undang. Kendati masih melihat banyak bolong pada draf, Yuyun tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. "Pemerintah arahnya sudah baik," ujarnya.
Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini