Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di bekas Canal Hotel, Bagdad, tengah di puncak kesibukan pada petang hari itu, Selasa pekan silam. Sekitar 300 pegawai kantor itu sedang asyik bekerja. Sejumlah wartawan hadir dalam konferensi pers bersama para pejabat PBB di salah satu ruangan. Di jalanan depan gedung, lalu lintas juga berjalan normal saja. Tiba-tiba, blaaar! Bunyi ledakan yang amat keras mendera gendang telinga, disusul suara gemuruh saat gedung berlantai tiga itu runtuh. Berton-ton dinding di pojok kanan bangunan luruh ke tanah, menghunjam ke siapa saja yang lewat. "Barang-barang beterbangan dan semuanya runtuh," ujar Mahal al-Khatib, sekretaris kantor PBB. Wajah dan tubuhnya penuh bercak darah.
Setiap orang menghambur ke luar gedung lewat tangga. "Orang melewati pintu yang sudah jebol dan melompat dari jendela," kata Hussain Querishi, anggota satuan pengaman gedung. Muhammad Shaker, wartawan Irak yang ikut dalam konferensi pers, adalah salah satu korban yang selamat. Ia bergidik melihat 15 mayat saat kabur menyelamatkan diri. Puluhan manusia terperangkap di bawah puing. Salah satunya Sergio Vieira de Mello. Kepala Perwakilan Khusus PBB di Irak ini tak mampu bertahan dan meninggal beberapa waktu kemudian.
Inilah pengeboman terbesar di Bagdad sejak Amerika Serikat menduduki Bagdad pada April silam. Diduga bom bunuh diri, kecelakaan ini merenggut setidaknya 20 nyawa. Yang luka-luka 100 orang. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab. Maka aneka dugaan dan analisis pun mengalir deras. Nama kelompok Al-Qaidah paling santer disebut sebagai otak peristiwa berdarah ini. Juga kelompok pendukung Saddam dan antipendudukan Amerika. Tapi nama Amerika sendiri pun tidak harum-harum amat. Pemerintah Bush dituding lengah dan turut bertanggung jawab.
Ceritanya begini. Semua pihak yang berperan dalam pemerintahan di Irak sekarang—Amerika, De Mello, bahkan Ahmad Chalabi, Ketua Kongres Nasional Irak yang mendukung AS—mengaku mendapatkan peringatan sebelumnya bahwa akan ada serangan terhadap target lunak. Artinya, yang disasar bukan basis militer Amerika.
Toh, hingga peledakan itu terjadi, kantor PBB cuma dijaga segelintir kecil pasukan Amerika di pintu utama. Beberapa waktu silam, kantor ini pernah mendapat serangan mortir. Lagi-lagi serangan itu tak membuat Amerika merasa perlu memperketat pengamanan di kantor De Mello. Dengan lain kata, siapa pun yang melakukan perbuatan jahanam itu, Amerika sudah jelas ikut menuai kemarahan publik.
Agen khusus Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI), Thomas Fuentes, yang sedang bertugas di Bagdad, menyatakan ledakan itu berhasil melemparkan jendela gedung sejauh dua kilometer serta melubangi tanah selebar 15 meter. Dunia pun membanjiri Bagdad dengan umpatan dan amarah. Presiden George W. Bush, yang sedang berlibur di peternakannya di Texas, segera mengutip istilah yang paling ia gandrungi: terorisme. "Teroris sedang menjajal keinginan kami. Tapi kami akan terus berperang melawan terorisme dan kami akan menang," ujarnya dengan gagah.
Di Inggris, Perdana Menteri Tony Blair menyatakan ucapan dukanya melalui menteri luar negerinya. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mempersingkat liburannya di Helsinki dan kembali ke markas besar PBB di New York. Dia menulis sebuah pernyataan yang mengutuk bom bunuh diri tersebut. Annan betul-betul masygul kehilangan diplomat andal sekelas De Mello, Dianggap sukses mengawali proses kemerdekaan Timor Leste, De Mello tadinya berkantor di Wina sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Baru dua bulan ini dia menempati pos barunya di Bagdad. "Dia benar-benar figur yang dapat menolong mengakhiri pendudukan (Amerika di Irak)," ujar Salim Lone, juru bicara kantor PBB di Bagdad.
Bagi sementara rakyat Irak, pengeboman kantor PBB juga menimbulkan kemarahan, walau mereka sadar belaka bahwa sasaran serangan bom sejatinya Amerika Serikat. "Jika mau menembak orang Amerika, mereka kan bisa menembaknya di luar, bukan di gedung yang damai ini," ujar Ahmed Sudami, seorang warga Bagdad.
Namun para analis punya pendapat lain. Mereka menganggap PBB memang menjadi target karena dipandang sudah luluh pada kepentingan AS sehingga patut diberi pelajaran. Kedatangan PBB ke Irak di bawah komando AS dilihat sebagai bentuk pengesahan secara tak langsung serangan dan pendudukan AS terhadap Irak. Padahal, sebelumnya, PBB menentang keras serangan tersebut.
Dengan analisis ini bisa ditebak bahwa tuduhan pelaku pengeboman dialamatkan kepada pendukung Saddam Hussein. Analis lain menduga pelakunya adalah kelompok ekstrem Islam yang punya kaitan dengan Al-Qaidah. Sejumlah pakar terorisme mencium bau Al-Qaidah dalam aksi pengeboman itu. Sebut saja pendapat analis teror Neil Livingstone. Ketua Global Option (firma manajemen krisis di Washington) ini berpendapat bahwa serangan bom bunuh diri lebih menunjukkan konsistensi gaya serangan Al-Qaidah daripada kelompok pendukung Partai Baath, Irak, yang menentang pendudukan Amerika.
Amerika sendiri mengendus kehadiran Al-Qaidah lewat kelompok Ansar al-Islami, yang bermarkas di pegunungan Irak utara. Pasukan AS sudah membombardir kelompok Ansar pada saat menjepit Saddam dari kawasan utara. Tapi pejabat Pentagon menyatakan bahwa sejumlah bukti menunjukkan Ansar sudah mengelompok kembali di Irak. Kelompok Ansar pula yang dicurigai sebagai dalang peledakan bom di depan Kedutaan Yordania di Bagdad.
Rasa curiga terhadap keterlibatan Al-Qaidah dalam bom bunuh diri pekan lalu diperkuat laporan intelijen AS yang dikutip analis teror Ken Katzman dari Pelayanan Riset Kongres. Menurut Katzman, ratusan anggota kelompok militan dari Arab Saudi, Yordania, Mesir, Suriah, Aljazair, dan Tunisia telah masuk ke Irak. Bahkan seorang pelarian politik Arab Saudi di London, Dr. Saad al-Faqih, menyuguhkan data yang fantastis tentang 3.000 orang Arab Saudi yang menyusup ke Irak dua bulan belakangan ini. Saad dianggap sebagai salah satu sumber yang tepercaya tentang Al-Qaidah.
Merujuk pernyataan Saad, sebagian besar anggota Al-Qaidah memang berasal dari Arab Saudi. Beberapa serangan terhadap kepentingan AS di Arab Saudi dan penggerebekan kelompok militan Islam di Riyadh beberapa waktu lalu mengerucut pada Al-Qaidah. Saat Al-Qaidah kehilangan Afganistan, kini Irak yang kacau, menurut para analis, menjadi medan yang paling pas untuk melawan AS. "Irak telah menjadi magnet bagi kelompok pendukung jihad," kata analis militer Andrew Krepinevich. Bak sumbat ketemu botol, kepentingan Al-Qaidah bertemu dengan kepentingan pendukung Saddam Hussein di Irak.
Menurut Krepinevich, dua kepentingan itu bertujuan menciptakan opini bahwa AS telah kehilangan kontrol. Sebaliknya, perlawanan terhadap pendudukan Amerika semakin intensif. "Kita memasuki satu tahap baru gerakan perlawanan rakyat Irak, dari serangan acak meningkat ke serangan yang terencana," kata Mustafa Alani, analis terorisme dari London's Royal United Service Institute. Mustafa menilai serangan terhadap kantor PBB bukan hasil kerja amatiran.
Jadi, siapa yang "memetik untung" dari serangan bom bunuh itu? Entahlah. Yang sudah pasti buntung adalah kelompok antipendudukan Amerika. Alih-alih dihargai sebagai gerakan yang membebaskan Irak dari pendudukan negara asing, mereka kini mendapat cap baru di jidat: menjadi bagian dari kelompok teroris yang dihujat di delapan penjuru angin.
Raihul Fadjri (Washington Post, New York Times, CNN, USA Today, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini