Dari dua kutub yang bermusuhan, doa-doa itu seperti meteor yang bertabrakan di angkasa raya. Doa Idi Amin: "Berkat Tuhan selalu melimpahi saya. Dan saya tak akan pernah mati—kecuali dengan kehendak Tuhan." Doa seorang warga yang lolos dari Uganda setelah lebam oleh siksaan Idi Amin: "Pada suatu hari kelak, Tuhan akan kembali ke Uganda." Sebelum melarikan diri, kepala orang ini digodam, punggungnya dicacah, kakinya dibenamkan dalam minyak mendidih. Begitu menderitanya, pria itu terus-menerus memohon agar Tuhan segera "kembali ke Uganda" untuk memadamkan kekejaman Idi Amin yang tiada tara melalui kematian.
Kematian itu akhirnya tiba pada 16 Agustus lalu. Di Rumah Sakit King Faisal di Jeddah, Arab Saudi, Idi Amin meninggal pada usia 78 tahun karena gagal ginjal. Selama 24 tahun dia hidup dalam pengasingan di Arab Saudi. Segar-bugar dan senang, tapi tanpa kekuasaan. "Saya lebih bahagia ketimbang waktu menjadi presiden," ujarnya. Dalam pengasingan, dia melewatkan waktu dengan bermain akordion, berenang, memancing, dan membaca Al-Quran.
Dilorotkan dari kekuasaannya—oleh tentara Tanzania dan para pelarian Uganda pada 11 April 1979—Amin pernah mencengkeram Uganda selama delapan tahun dengan tangan besi yang brutal. Setelah tumbang, dia kabur ke Libia, sebelum berlabuh di Arab Saudi. Pemerintah Saudi memberinya sebuah rumah mewah di Jeddah berikut mobil, sopir, jongos, plus uang saku US$ 1.400 (setara sekitar Rp 12 juta) per bulan. Saat hengkang dari Uganda, Idi Amin tak lupa membawa serta keempat istri, beberapa gundik, beserta 30 lebih anaknya.
Dari tanah pengasingan, dia pernah memohon agar diizinkan pulang. Presiden Uganda, Yuweri Museveni, menjawab: "Silakan. Tapi, jika pulang selagi bernyawa, dia akan dijaring oleh hukum. Jika jenazahnya yang kembali, dia akan dikuburkan sebagai orang biasa." Amin memilih mati dan dikuburkan di Jeddah.
Idi Amin Dada Oumee dilahirkan di Koboko, satu desa kecil di hulu Sungai Nil, Uganda barat. Orang tuanya bercerai tak lama setelah Amin lahir. Ibunya bekerja di perkebunan tebu sembari nyambi sebagai dukun santet. Amin hanya bersekolah hingga kelas empat SD dan hidup tak menentu. Dia menjajakan mandazi (biskuit dari tepung dan gula) untuk mencari uang.
Di King's African Rifles (resimen kolonial Inggris di Afrika), Amin muda kemudian bekerja sebagai pembantu koki sebelum melamar menjadi serdadu. Dia berhasil menjejak tangga tertinggi yang bisa dicapai seorang tentara kulit hitam dalam resimen kolonial Inggris: effendi. Setara letnan, hanya dua orang kulit hitam yang pernah mencapai posisi ini selama penjajahan Inggris di Uganda.
Idi Amin berasal dari suku Nubia Sudan, yang tersohor sebagai serdadu bayaran karena keberanian mereka. Sosoknya yang tinggi-besar—dia mantan juara tinju kelas berat Uganda era 1950-an—berpadu dengan pendidikan rendah membuatnya ideal direkrut dalam resimen kolonial. Menurut teori tentara sewaan, orang macam Idi Amin ini bisa menerima perintah lebih baik dan lebih berani di medan perang.
Keberanian—lebih tepat kebrutalan—Amin mulai menjadi buah bibir setelah peristiwa "Pembantaian Turkana". Saat itu dia memimpin peleton pasukan Inggris di Kenya. Di sana, nyawa suku Turkana dia habiskan seringan menepuk lalat jinak. Kedudukannya kian mantap karena dia bersahabat dan menjadi orang kepercayaan Milton Obote, Perdana Menteri Uganda setelah negeri itu merdeka dari Inggris pada tahun 1962. Keduanya bahu-membahu saat menyelundupkan kopi, emas, dan gading dari Kongo.
Sir Walter, pejabat tertinggi Inggris di Uganda pada waktu itu, mengingatkan Obote bahwa Idi Amin bisa membawa celaka pada dirinya kelak. Tapi Obote malah sesumbar: "Di Afrika, saya ini satu-satunya pemerintah yang jauh dari kemungkinan kudeta." Obote mungkin terlalu percaya diri karena dia telah mencopot semua kekuasaan militer dari Idi Amin pada November 1970 dan hanya memberinya jabatan administratif.
Obote keliru. Saat perdana menteri itu bertandang ke Singapura pada 25 Januari 1971, Amin melancarkan kudeta. Dan sukses. Maka, mulailah sejarah "ketenaran" itu. Idi Amin mempermaklumkan diri sebagai penguasa Uganda seumur hidup dengan sederet gelar kepangkatan. Antara lain, Yang Mulia Haji Marsekal Dr. Idi Amin Dada V.C., D.S.O., "Raja Diraja Segala Binatang di Bumi dan Ikan-Ikan di Laut". Dia gemar menyematkan semua medali di dadanya sampai-sampai bajunya robek karena tak kuat menahan emblem-emblem itu.
Harus diakui, Idi Amin adalah tokoh yang amat menarik. Tingkah lakunya menjadi santapan lezat media massa. Julius Nyerere, musuh bebuyutannya dari Tanzania, pernah dia tantang bertinju. Saat Nixon ditabalkan menjadi Presiden AS untuk kedua kalinya, Amin mengirim telegram: "Saya percaya, pengangkatan itu dimaksudkan agar Anda sembuh dari luka Watergate." Dan tatkala Ratu Elizabeth merayakan tahun perak di atas takhta Inggris, Amin meneleks ke London: "Harap siapkan kamar (buat saya) di Istana Buckingham."
Telegram-telegram Idi Amin adalah hiburan segar di tengah berbagai peristiwa dunia yang serius pada masa itu. Sebagian rakyat Afrika bahkan memujanya. Dia dianggap mampu melecehkan "orang putih" di tengah kelamnya era Apartheid. Dia satu-satunya pemimpin Afrika yang pernah ditandu empat warga Inggris setelah mereka disuruhnya berlutut dan bersumpah setia.
Suatu ketika, Dennis Hall, seorang guru dan penulis Inggris yang bekerja di Uganda, menyebutnya "tiran kampung". Tak ayal lagi, Hall dihukum mati. Guna memohon ampun bagi Hall, Menteri Luar Negeri Inggris (ketika itu) James Callaghan datang ke Kampala membawa serta surat tulisan tangan dari Ratu Elizabeth. Dan Amin batal mencabut nyawa Hall.
Cara-cara Amin mengatur negerinya juga selalu menjadi berita menarik. Bangun dari tidurnya pada suatu pagi bulan Agustus 1972, Amin mengumumkan bahwa Tuhan telah menurunkan wahyu agar dia mengusir 55 ribu orang Asia yang selama itu menguasai ekonomi Uganda. Kegiatan ekonomi selanjutnya dipegang penduduk asli Uganda—yang ternyata tidak siap. Bisnis dan ekonomi lumpuh. Tapi Amin santai saja. Dia berkata kepada Menteri Keuangan-nya: "Cetaklah uang."
Kekejaman Amin menjadikannya salah satu "pesohor dunia" di masa itu. Lebih dari 300 ribu nyawa dilaporkan mati selama delapan tahun Amin berkuasa. Seorang bekas pembantu rumah tangganya berkisah, Amin memenggal kepala Brigjen Sulaiman Hassan, Kepala Staf Angkatan Udara Uganda. Kepala Hassan dia simpan dalam lemari es, untuk dikeluarkan sewaktu-waktu dan dimaki-maki. Seorang dokter menuturkan, Amin enak saja menyedot darah segar setelah menyembelih leher bekas Menteri Perhubungannya. Dia dikabarkan menyantap daging orang-orang yang dibunuhnya serta melemparkan musuh-musuhnya yang sekarat kepada buaya.
Cercaan dunia mulai mengalir tatkala dia membunuh Uskup Anglikan Janani Luwum, Ketua Mahkamah Agung Uganda Benedicto Kiwanuka. Tapi Amin tidak peduli. Dia berkata: "Saya tidak mau dikontrol—juga oleh negara adikuasa mana pun—karena saya orang terkuat di atas jagat," Thomas dan Margareth Melady mengutip ucapan Amin ini dalam buku mereka, Idi Amin Dada, Hitler in Africa. Seperti umumnya para diktator, Amin merasa tak pernah salah karena yakin bahwa dia manusia pilihan Tuhan.
Dari mana Amin menyerap kekuatan sehingga mampu melakukan semua kekejaman ini? Seorang psikolog Uganda yang pernah dicabuti semua kukunya karena menyebut Amin psikopat sekali waktu berkata: "Idi Amin sejatinya selalu dihantui rasa takut." Psikolog ini menambahkan, rasa takut yang membuncah itu membuat Amin selalu curiga, menjadi hipomaniac (mudah meledak setiap saat) dan mampu melakukan apa saja—termasuk segala kekejaman itu—demi rasa aman.
Dibanding diktator ternama lainnya, Idi Amin tergolong beruntung hingga akhir hayatnya. Ferdinand Marcos dari Filipina mati merana di Hawaii setelah tiga tahun ditendang dari Filipina. Slobodan Milosevic dari Kosovo dijebloskan ke penjara selepas turun takhta. Tapi Idi Amin? Dia menghirup hawa teluk di tepian Laut Merah selama dua dekade lebih. Saat sakit, dia sempat mencari donor ginjal. Tapi, alih-alih ginjal, yang diterimanya justru maki-makian. "Untuk apa memberi dia kesempatan kedua?" ujar Moses Musisi, seorang penduduk Uganda.
Toh, nasib baik sejatinya tak pernah benar-benar meninggalkan Idi Amin. Dalam artikel Bloody Tyrant, Now A Good Start, mingguan The Economist edisi 23 Agustus 2003 menulis: "Tak seorang pun yang meratapi kematian Idi Amin kecuali Uganda—tanah air yang pernah diterornya habis-habisan." Di sebuah masjid di Kampala, ratusan warga dari sukunya berkumpul. Mereka menangis, mendaraskan doa bagi arwahnya, dan memujinya sebagai a great man—si orang besar.
HYK dan Purwani Diyah Prabandari (Guardian, Reuters, BBC, All Africa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini