TUJUH tahun setelah Josip Broz Tito wafat, negeri yang ia wariskan digerogoti manipulasi dan korupsi. Berita tentang ini tersiar sejak dua pekan silam, dengan Wakil Presiden sebagai tersangka utama. Sang Wapres Hamdija Pozderac dituduh terlibat pemalsuan surat berharga (promisso notes) bernilai US$ 860 juta, melalui perusahaan agrobisnis milik negara, Agrokomerc, yang berkantor di Kota Velika Kladusa, Bosnia-Herzegovina. Ironisnya, manipulasi yang menggoyahkan sendi-sendi perbankan itu justru terjadi pada saat negara tengah dirundung inflasi 116% dan utang luar negeri US$ 20 milyar. Laju pertumbuhan ekonomi (1986) memang tercatat 3,5%, tapi dalam tiga dasawarsa ini, baru sekarang negara itu mengalami krisis ekonomi yang begitu rawan. Hari Sabtu dua pekan lalu, menyusul terbongkarnya kasus itu, Hamdija Pozderac langsung mengundurkan diri. Padahal, menurut sistem pergantian kepemimpinan berdasarkan rotasi yang sudah dilembagakan, Partai Komunis Yugoslavia (PKY), dalam menjalankan pemerintahan, ia adalah kandidat presiden -- pelantikannya direncanakan Mei mendatang. Pozderac, 64 tahun, berasal dari Republik Bosnia-Herzegovina, satu dari enam republik yang tergabung dalam Republik Sosialis Federal Yugoslavia. Di hadapan Komite Sentral Liga Komunis daerah asalnya itu, ia menyatakan mundur dengan mata berkacakaca. Namun, pada kesempatan itu juga, ia menyangkal dirinya terlibat. "Saya telah diperalat dan ditipu Fiktret Abdic," katanya. Fiktret Abdic, direktur Agrokomerc yang kini berada dalam tahanan polisi, sebaliknya menuduh Pozderac bersama adiknya, Hakidja (anggota Dewan Penasihat Federal), justru pelaku utama yang menjerumuskan Agrokomerc. Namun, diakuinya bahwa ia sendiri memberi jaminan agar Hamdija dan Hakidja bisa mengambil uang di bank, padahal pendukungnya tidak ada. Perusahaan inil memang sudah tak punya simpanan lagi di bank. Pengunduran Wapres Pozderac ditanggapi sinis oleh media massa. Harian Vecernje Noosti, yang terbit di Beograd, menyatakan bahwa skandal itu tak dengan sendirinya selesai begitu Pozderac mundur. Bahkan para pejabat eselon teratas, yang mestinya mengetahui skandal itu, harus ikut bertanggung jawab. "Mundur memang perbuatan bertanggung jawab. Tapi tak berarti ia bebas dari tuntutan," tulis koran itu. Organisasi veteran perang di Bosnia bahkan menghendaki agar semua pihak yang terlibat diperiksa tuntas, apa pun jabatannya. Menurut kantor berita resmi Tanjug, 42 orang telah dipecat dari partai dan lebih dari 130 orang lagi akan diseret ke pengadilan partai. Sebenarnya, polisi sudah punya bukti-bukti manipulasi itu sejak Januari silam, kendati baru mengungkapkannya Agustus lalu. Wajar kalau pers dan anggota parlemen meragukan bahwa para pejabat teras tidak tahu-menahu. Yugoslavia praktis terancam dari dalam. Tak kurang dari 63 bank di negeri itu kini dalam keadaan megap-megap. Ljubljanska Banka, teratas dalam deretan bank besar di sana, bahkan terlibat dalam skandal jutaan dolar itu. Direktur eksekutifnya, Metod Rotar, mengundurkan diri. Tapi menurut Tanjug, Rotar baru mundur setelah pejabat di Beograd mendesak perlunya segera perubahan politik untuk menangkal krisis. Kini 15 ribu karyawan Agrokomerc terancam tidak digaji lagi, satu bencana yang sudah mereka alami sejak Juni lalu -- akibat bank-bank lokal tak mampu lagi menyuntik dana. Keadaan makin runyam ketika akhir pekan lalu skandal serupa terungkap di wilayah Republik Croatia. Reuters memberitakan, pabrik sepatu Viko telah menguangkan surat berharga palsu senilai US$ 180 juta. Dan Rabu pekan lalu 1.000 buruhnya mogok, lantaran gaji mereka tak dibayar. Dampak semua peristiwa itu dengan sendirinya mencemaskan Perdana Menteri Branko Mikulic. Dalam waktu dekat, Dana Moneter Internasional, IMF, salah satu sumber dana pembangunan Yugoslavia, akan merundingkan proposal jangka panjang penundaan utang-utang negeri ini. Sementara itu, cicilan sebesar US$ 245 juta, yang jatuh tempo Juli lalu, tak terbayarkan dan minta diundur bulan ini. Ternyata, sepeninggal Tito, Yugoslavia makin rawan saja. Dengan ekonomi yang belum kukuh, kendati sudah melalui beberapa pelita (terakhir 1986-1990), stabilitas tampaknya kian jauh dari jangkauan. Konflik etnis sewaktu-waktu bisa meledak, contohnya kejadian 1 September lampau, di Provinsi Kosovo, yang 88% penduduknya bangsa Albania. Tak jelas sebabnya, Selasa malam itu seorang peserta wajib militer keturunan Albania tiba-tiba mengamuk di barak Paracin, Serbia Selatan. Ia menembakkan senapan mesin, hingga empat serdadu non-Albania tewas dan lima lainnya luka parah. Keesokannya, orang-orang Serbia menyerang toko-toko milik keturunan Albania. Peristiwa SARA ini, menurut Ivica Racan, seorang anggota Presidium Liga Komunis, "Memang irasional dan konyol. Mustahil diselesaikan secara cepat, mengingat aturan-aturan yang represif juga tak bakal mereka terima." Dan barangkali juga karena akar konflik etnis ini sudah menjalar ke mana-mana -- setelah letupan pertama tahun 1981 -- ketika kelompok nasionalis Albania menuntut agar Provinsi Kosovo, yang otonom itu, ditegakkan dengan status republik penuh. Mohamad Cholid, Sapta Adiguna (Paris), kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini