MEREKA bukan turis biasa. Mereka juga bukan wartawan biasa. Mereka pembuat sejarah. Hampir 40 tahun setelah orang-orang Nasionalis Cina tersingkir dari Cina Daratan, dan mengungsi ke Pulau Formosa, baru pekan lalu itulah dua wartawan Taiwan mengunjungi "tanah leluhur", yang selama ini dikuasai pemerintah komunis. Tak urung, kedua orang itu tak cuma sibuk menulis berita tapi juga jadi bahan berita. Apa boleh buat. Lee Yung Teh, 33 tahun, dan Hsu Lu, seorang nona berusia 30 tahun, keduanya wartawan harian The Evening Post, dengan semangat generasi muda yang tak terlibat dalam konflik lama, melanggar larangan resmi pemerintah Taiwan, yang tak mengizinkan warganya berkunjung ke RRC. Tak mengherankan bila laporan mereka di The Evening Pos edisi Rabu pekan lalu laris bukan main. Pada umumnya, mereka cukup berhasil dalam melakukan tugas. Apalagi pemerintah Beijing memberikan berbagai kemudahan. Perjalanan mereka "tak diatur" oleh pemerintah. Tak heran, kesan mereka bukan sebuah propaganda prokomunis. Tulis mereka tentang Beijing: "Jalan-jalan dipenuhi tokotoko butut yang berisi barang ketinggalan zaman dan sederhana, yang tak bakal ditemui di daerah paling terpencil pun di Taiwan." Mereka "seperti berada di dunia yang lain". Maklumlah, bagi generasi muda Taiwan, yang tak pernah mendapat pelajaran tentang RRC di sekolah, negara leluhur itu hanya ada di angan-angan. Resminya, pemerintah Kuomintang masih dalam "status perang" dengan Beijing, dan ketat melaksanakan garis "tak ada kompromi, kontak, ataupun negosiasi" dengan Cina Komunis. Namun, tak berarti bahwa tindakan kedua wartawan Taiwan itu nekat 100%. Belakangan ini pemerintah Presiden Chiang Ching Kuo tampak bersikap agak longgar. Juli lalu larangan bepergian langsung ke Hong Kong telah dicabut. Kuat dugaan, itu untuk melancarkan perdagangan antara kedua negara Cina itu, via Hong Kong. Sudah lama para pengusaha Taiwan secara diam-diam mengekspor dan menamkan modal di Cina -- melalui Hong Kong -- dengan nilai uang sekitar US$ 1 milyar. Sebelumnya, di bulan Juli juga, pemerintah Taipei telah membuat kejutan: mencabut UU Darurat yang telah berusia 40 tahun dan menghapuskan larangan membeli mata uang asing lebih dari US$ 5.000. Sejak itu, banyak investor Taiwan seakan berlomba menanamkan modalnya di luar -- dan kian melirik RRC. Kemajuan perekonomian Taiwan memang menakjubkan. Diduga, kini pemerintah Taipei punya cadangan devisa US$ 62 milyar, hanya kalah sedikit dari raksasa ekonomi Jepang. Kemakmuran tampak merata -- tapi hal itu pula yang mendesak pemerintah. Kelas menengah di Taiwan akhirnya menuntut hapusnya pelbagai peraturan yang mengekang. Keinginan adanya perubahan ditandai dengan naiknya dukungan bagi para pembangkang, yang tergabung dalam Partai Demokrasi Progresif (DAP): mereka menjaring seperlima suara yang diperebutkan untuk parlemen dalam pemilu Desember silam. Selain itu, banyak pensiunan, yang pada 1949 ikut hijrah bersama ke Taiwan, kini ingin berkunjung ke negara leluhur sebelum maut menjemput. Belakangan ini, kaum pensiunan yang ingin mudik kerap unjuk rasa menuntut pencabutan larangan berkunjung ke RRC. Karena itulah, ada dugaan, kunjungan kedua wartawan Taiwan itu ke RRC, walaupun resminya diancam hukuman, sebenarnya direstui pemerintah Taipei. Mungkin begitu. Hanya dua hari setelah para wartawan itu sampai di Beijing, Presiden Chiang Ching Kuo memerintahkan sebuah komisi untuk meneliti usul kabinet yang ingin mencabut larangan bepergian ke Cina Daratan. Rupanya, kini pemerintah Taipei lebih percaya diri dan tak lagi ngeri bahwa warganya akan disusupi ajaran komunis, seperti yang selama ini ditakutkan. Tapi pada saat yang sama, pemerintah Nasionalis tetap bersikeras tak mau mengadakan negosiasi dengan pihak Komunis. Sementara itu, Beijing bersikap lebih manis. Kamis lalu mereka menyatakan siap menerima kunjungan ribuan warga Taiwan. Selama ini, diduga bahwa sekitar 10.000 warga Taiwan tiap tahun berkunjung diamdiam ke RRC. Sikap membuka tangan di Beijing ini agaknya merupakan bagian dari kampanye RRC untuk "reunifikasi" kedua wilayah Cina. Meskipun demikian, sejauh ini pemerintah Taipei -- juga kebanyakan dari 16 juta penduduk Taiwan -- tegas menolak keinginan pihak komunis itu. Toh Beijing tak bosan-bosannya membujuk Taipei. Di antaranya tawaran RRC pada Presiden Chiang untuk berkunjung ke makam ibunya di Zhejiang. Tapi suara sutera itu juga disertai suara baja. Beijing juga tetap mengancam akan melakukan aksi militer jika Taipei tetap bersikap "kepala batu". Farida Sendjaja (Laporan kantor-kantor berita)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini