Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Secercah Asa di Distrik Kowloon

Kubu prodemokrasi di parlemen Hong Kong ramai-ramai mengundurkan diri sebagai protes terhadap pemerintah Cina. Mereka kini berusaha menguasai dewan kota di setiap distrik.

21 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ruang pertemuan dewan sepi setelah legislator pro demokrasi mengundurkan diri sebagai protes terhadap pemecatan empat rekan mereka di Hongkong, 12 November lalu. REUTERS/Tyrone Siu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi Hong Kong menangkap tiga bekas anggota parlemen yang vokal menyuarakan dukungan untuk gerakan pro-demokrasi.

  • Parlemen Hong Kong kini dikuasai penuh kubu pendukung Beijing setelah kelompok oposisi memutuskan mundur beramai-ramai.

  • Meski tekanan tak berhenti, warga Hong Kong terus bergerak menuntut demokrasi yang diberangus pemerintah Cina lewat Dewan Kota.

Diberhentikan empat orang, malah mundur lima belas orang. Itulah yang terjadi dua pekan lalu di parlemen Hong Kong. Menggunakan aturan baru yang direstui pemerintah Cina pada Rabu, 11 November lalu, otoritas Hong Kong memberhentikan Alvin Yeung, Kwok-Ka-ki, Dennis Kwok, dan Kenneth Leung dari badan legislatif wilayah otonomi khusus itu. Mereka berempat dinilai berkhianat karena meminta dukungan pemerintah negara asing untuk memberikan sanksi terhadap Cina dan Hong Kong yang kerap merilis kebijakan antidemokrasi.

Keempat anggota parlemen yang diberhentikan itu sebenarnya tergolong kelompok moderat. Mereka tak pernah menyatakan mendukung kemerdekaan Hong Kong dari Cina. Meski demikian, mereka terang-terangan membela gerakan prodemokrasi di Hong Kong. “Jika memperjuangkan demokrasi berujung pada pemecatan, ini adalah sebuah kehormatan bagiku,” ujar Dennis Kwok.

Pemberhentian para legislator itu memicu protes keras dari kubu prodemokrasi di dalam parlemen yang seharusnya beranggotakan 70 orang. Sehari kemudian, semua legislator prodemokrasi yang tersisa, total 15 orang, sontak menyatakan mundur. Dengan begitu, kini tak ada lagi suara oposisi di parlemen Hong Kong.

Namun aksi mundur ini tak membuat Beijing bergeming. Pada Rabu pekan lalu, 18 November, tiga mantan anggota parlemen Hong Kong juga ditangkap polisi, dengan tuduhan membuat onar dalam sidang legislatif pada Mei dan Juni lalu. Ted Hui, Eddie Chu, dan Raymond Chan dijerat menggunakan aturan yang sama dengan Alvin Yeung dkk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan anggota parlemen Ted Hui Chi-fung, Raymond Chan Chi-chuen dan Eddie Chu Ho berunjuk rasa di depan Pengadilan Magistrat Kowloon Barat, Hongkong, 19 November lalu. Reuters/Lam Yik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Mei lalu, saat masih menjadi anggota parlemen Hong Kong, Ted Hui membawa tanaman busuk ke ruang pertemuan parlemen. Dia ingin menunjukkan tanaman itu sebagai simbol rusaknya demokrasi di negerinya. Ted dijegal sejumlah petugas keamanan ketika hendak menendang tanaman itu ke wajah ketua parlemen. Belakangan dia didenda karena aksinya tersebut. Kini, dengan aturan baru, Ted terancam dibui.

Ted, Eddie, dan Raymond dikenal sebagai trio anggota parlemen prodemokrasi yang kerap berbuat ekstrem untuk menyampaikan pendapatnya. Pada Juni lalu, mereka memprotes pembahasan undang-undang baru tentang lagu kebangsaan Cina. Jika disahkan, aturan itu akan mengkriminalisasi warga Hong Kong yang tidak menghormati atau menyalahgunakan lagu nasional Cina. Untuk menghentikan pembahasan di parlemen, Eddie dan Raymond menumpahkan cairan beraroma busuk di ruang sidang. Semua aksi mereka dilindungi oleh kekebalan anggota parlemen sampai pekan lalu, ketika aturan baru dari Beijing resmi berlaku.

“Persekusi terhadap para penentang, oposisi, dan legislator pendukung demokrasi tak pernah berhenti,” kata Ted Hui seperti dilaporkan Associated Press. Secara resmi, kepolisian Hong Kong menyatakan tiga bekas anggota parlemen itu ditangkap atas tuduhan mengganggu parlemen dan melakukan tindakan berbahaya dalam rapat.

Ketua Partai Demokratik Hong Kong Wu Chi-wai mengatakan aksi represi Cina di parlemen Hong Kong ibarat pengumuman hukuman mati untuk demokrasi di sana. Menurut Wu, Hong Kong sudah tidak lagi menerapkan konsep “satu negara, dua sistem” seperti yang dulu dijanjikan pemerintah Cina. “Kekuatan konstitusi di Hong Kong sekarang ada di tangan pemimpin tertinggi (di Beijing),” tutur Wu.

Pemerintah Cina menyangkal tudingan itu. Menurut Beijing, pemberhentian itu tak berkaitan dengan kelompok prodemokrasi di Hong Kong. Pemerintah Cina, lewat Kantor Urusan Hong Kong dan Makau, juga mengecam aksi pengunduran massal 15 anggota parlemen yang dinilai menantang otoritas pemerintah pusat dan konstitusi Hong Kong. Pemerintah Cina menyebut para legislator itu keliru jika berharap pengunduran diri mereka bakal memprovokasi Beijing atau mendorong intervensi asing.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, mengatakan pemerintah mendukung keputusan otoritas Hong Kong memecat anggota parlemennya. Menurut Wang, tak ada negara yang mengabaikan pengkhianatan para pejabat publiknya, termasuk anggota badan legislatif yang melanggar sumpah jabatan. Namun aksi pemerintah Cina tersebut dikritik oleh Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa. “Konsep ‘satu negara, dua sistem’ kini cuma kedok Partai Komunis Cina melebarkan sistem diktator satu partainya di Hong Kong,” kata penasihat keamanan Amerika Serikat, Robert O’Brien.

Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menilai pemberhentian empat anggota parlemen Hong Kong itu menyalahi kesepakatan yang sebelumnya dibuat pemerintah Cina dan Inggris. “Cina melanggar janjinya dan merusak otonomi Hong Kong.”

•••

HONG Kong adalah wilayah koloni pemerintah Inggris sebelum dikembalikan ke Cina pada 1997. Sejak saat itu, Hong Kong mendapat keistimewaan menerapkan konsep “satu negara, dua sistem”. Artinya, Hong Kong memiliki kesempatan mempraktikkan hak-hak sipil, seperti kebebasan berekspresi dan demokrasi.

Konsep keistimewaan Hong Kong ini seharusnya berlangsung hingga 2047. Namun, pada Juni lalu, pemerintah Cina merilis aturan soal keamanan negara yang kontroversial. Aturan ini dirilis untuk menekan gelombang aksi unjuk rasa prodemokrasi dan anti-Beijing yang menggelora sejak tahun lalu. Kini pemerintah bisa lebih mudah menghukum para peserta aksi unjuk rasa. Aturan ini otomatis membuat Hong Kong kehilangan otonominya.

Aksi protes berskala besar di jalanan Hong Kong semula bertujuan menentang perjanjian ekstradisi antara Hong Kong dan pemerintah Cina. Belakangan, demonstrasi yang sebagian besar diikuti kaum muda bergeser menjadi gerakan melawan dominasi pemerintah Cina. Mereka berusaha mempertahankan demokrasi yang selama ini sudah dibangun di Hong Kong. Tak mau tunduk pada kekuatan pengunjuk rasa, pemerintah Cina dan Hong Kong mengerahkan pasukan polisi untuk menekan para demonstran, termasuk dengan kekerasan.

Legislator pro demokrasi termasuk Wu Chi-Wai, Claudia Mo dan Lam Cheuk-ting mengumumkan pengunduran diri dari Dewan Legislatif setelah Alvin Yeung Ngok-kiu, Kwok Ka-ki, Kenneth Leung dan Dennis Kwok didiskualifikasi ketika Cina mengeluarkan resolusi baru di Hongkong, 11 November lalu. REUTERS/Tyrone Siu

Sampai sekarang, sudah ada lebih 10 ribu peserta unjuk rasa ditangkap polisi. Sekitar 2.000 peserta unjuk rasa diadili. Joshua Wong adalah salah satu tokoh kunci unjuk rasa prodemokrasi Hong Kong yang bolak-balik ditangkap polisi. Pemuda 24 tahun itu kini terancam hukuman 5 tahun penjara karena terlibat dalam unjuk rasa tahun lalu. Meski demikian, Wong mengatakan tak akan menyerah. “Jeruji penjara tak bakal menghentikanku,” ucap Wong seperti dilaporkan Deutsche Welle. “Sangat penting bagi kami untuk bertahan dan berjuang.”

Dalam konteks itulah pemerintah Cina merilis aturan baru untuk para anggota parlemen Hong Kong pada Rabu, 11 November lalu. Regulasi itu menyebutkan anggota parlemen bisa diberhentikan jika mereka mendukung kemerdekaan Hong Kong, menolak kedaulatan Cina, dan meminta pemerintah asing terlibat dalam urusan domestik. Cina menganggap hal ini sebagai ancaman terhadap keamanan nasional mereka. Otoritas Hong Kong pun mendapat wewenang memberhentikan anggota parlemen tanpa proses pengadilan.

Sebelum mundur, Lam Cheuk-ting, salah satu legislator prodemokrasi di parlemen Hong Kong, sempat membentangkan spanduk dari balkon gedung legislatif. Spanduk itu berisi kritik terhadap pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, yang disebutnya membawa bencana untuk warga kota itu. Claudia Mo, yang juga mengajukan surat pengunduran diri dari parlemen, mengatakan kubu prodemokrasi hanya keluar dari lembaga legislatif. “Kami tidak akan menyerah dalam memperjuangkan demokrasi untuk Hong Kong.”

Dengan hengkangnya kubu oposisi, saat ini hanya tersisa 43 legislator di parlemen Hong Kong. Sebanyak 41 orang adalah kelompok pendukung Beijing. Tanpa perlawanan dari kelompok oposisi, parlemen Hong Kong bisa dengan mudah meloloskan undang-undang yang menguntungkan pemerintah Cina.

Timothy Lee, anggota dewan perwakilan kota dari Distrik Kowloon, mengatakan aksi mundur massal yang dilakukan para legislator menjadi sinyal berakhirnya aktivitas politik kubu oposisi dalam lembaga politik formal di Hong Kong. Meski begitu, dia mengakui  selama ini pun kelompok prodemokrasi sudah merupakan minoritas di parlemen. “Warga selalu kesulitan mendapatkan dukungan parlemen,” ucap Timothy kepada Tempo pada Kamis, 19 November lalu.

Parlemen di Hong Kong, menurut Timothy, sejak awal didesain agar kubu prodemokrasi tak bisa besar meski mendapat dukungan tinggi dari publik. Kekuatan kelompok ini di parlemen pun dikebiri. Hengkangnya kubu oposisi dari parlemen jelas bakal membuat kekuatan aktivis prodemokrasi menurun, terutama frekuensi kemunculan mereka di media massa. Pasalnya, anggota parlemen memiliki hak khusus yang selama ini biasa dipakai untuk membantu gerakan prodemokrasi. “Seperti mengunjungi para aktivis yang dipenjara,” ujar Timothy.

Namun secercah harapan masih ada. Timothy menjelaskan, saat ini warga Hong Kong tengah mencari cara alternatif memperjuangkan gerakan prodemokrasi, selain turun berunjuk rasa di jalan. Ada gagasan membuat dewan rakyat atau membangun lingkaran ekonomi sendiri yang efektif untuk mendukung gerakan prodemokrasi. “Tentu saja tetap perlu memperhitungkan bagaimana Beijing akan bereaksi,” kata Timothy. “Yang jelas kita harus siaga menghadapi rezim yang memiliki kendali penuh atas sumber daya publik dan kekuatan polisi.”

Sudah lama warga Hong Kong tak bergantung sepenuhnya pada kelompok prodemokrasi di parlemen. Banyak yang memilih berjuang di dewan kota, dengan memilih wakil distrik yang prodemokrasi. Dewan kota memang tidak bisa membuat undang-undang, tapi setidaknya mereka bisa langsung mengawasi hal-hal yang bersinggungan dengan kepentingan komunitas. Dengan cara itulah perlawanan terhadap dominasi pemerintah Hong Kong yang pro-Beijing selama ini tetap bisa berjalan.

Selain Timothy yang menang dalam pemilihan di Distrik Kowloon, sejumlah aktivis prodemokrasi, seperti Napo Wong dan Sam Yip, berhasil mengalahkan inkumben yang didukung Beijing untuk duduk di dewan kota. Mereka memanfaatkan posisinya untuk membantu gerakan prodemokrasi menjadi lebih permanen. Mereka juga lebih leluasa melakukan lobi, menggerakkan serikat pekerja, hingga mengkritik polisi yang kerap melakukan kekerasan terhadap peserta unjuk rasa. “Dewan perwakilan distrik ini bisa menjadi dasar gerakan demokrasi di Hong Kong,” kata Joshua Wong.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, THE NEW YORK TIMES, REUTERS, BBC, THE GUARDIAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus