Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Chaebol Pelabuhan Proyek Jepang

Konsorsium pimpinan Chairul Tanjung selangkah lagi menjadi operator Pelabuhan Patimban. Diwarnai kandasnya hasrat Pelindo II jauh sebelum lelang. 

21 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara proyek pembangunan Pelabuhan Patimban, Kabupaten Subang, Jawa Barat, 18 November lalu./ANTARA/Raisan Al Farisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Konsorsium CT Corp tinggal menunggu penetapan menjadi operator Pelabuhan Patimban.

  • Sejak awal, pemerintah mengutamakan swasta nasional, hingga minat Pelindo II pun batal.

  • Setelah CT Corp urung berkongsi dengan Kalla Group dan Samudra Indonesia.

LIMA tahun berlalu, Jusuf Kalla nyaris bersinggungan kembali dengan Pelabuhan Patimban. Kali ini, ia sebagai pengusaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di rumahnya yang luas di Jalan Brawijaya, Jakarta, Kalla mengingat momen krusial nasib megaproyek senilai Rp 43,22 triliun tersebut. Rencana pembangunan pelabuhan baru itu sempat terkatung-katung lama ketika lokasinya masih di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada April 2015, Kalla, yang masih menjabat wakil presiden, bersama sejumlah menteri dan pejabat pergi Cilamaya. Menaiki helikopter Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Kalla mengeker pantai dan laut Cilamaya.

Benar kabar yang didengar Kalla. Lokasi calon pelabuhan jumbo itu bersimpangan dengan jaringan pipa dan anjungan pengeboran Offshore North West Java, blok minyak yang dikelola PT Pertamina (Persero).

Turun dari helikopter, Kalla meminta dicarikan kantor pemerintahan terdekat. “Adanya kantor Desa Cilamaya. Penuh itu kantor desa,” kata Kalla, Selasa pekan lalu, 17 November. “Kami putuskan proyek Cilamaya pindah. Biar aman.”

Lokasi proyek pindah ke Patimban, Subang, Jawa Barat, sekitar 50 kilometer sebelah timur Cilamaya. Sejak saat itu pekerjaan konstruksi dimulai, berbekal pinjaman Japan International Cooperation Agency (JICA).

Lima tahun berlalu, sejumlah paket pekerjaan konstruksi Pelabuhan Patimban fase I—bagian dari tiga fase pembangunan dermaga yang dirancang hingga 2036—kini hampir rampung. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dalam webinar yang digelar Liputan6.com, optimistis Patimban bisa mulai beroperasi secara terbatas Desember nanti.

Rencana ini menggenapi woro-woro Kementerian Perhubungan pada 20 Oktober lalu. Kementerian menetapkan hanya satu peserta yang lolos prakualifikasi calon operator Patimban. Peserta itu adalah konsorsium PT CT Corp Infrastruktur Indonesia, PT Indika Logistic and Support Services, PT U Connectivity Services, dan PT Terminal Petikemas Surabaya—anak usaha PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV.

Rupanya, bisnis keluarga Kalla sempat akan masuk konsorsium itu. Menurut Kalla, bos CT Corp, Chairul Tanjung, menawari putra sulungnya yang juga Presiden Direktur Kalla Group, Solihin Kalla, bergabung. Kalla Group memang punya lini bisnis pelayaran, Kalla Lines. “Tapi saya bilang jangan,” ujar Kalla. “Pemindahan ke Patimban itu di zaman saya jadi wakil presiden. Saya larang.”

Sesuai dengan aturan main, jika yang lolos prakualifikasi cuma satu, yang terjadi selanjutnya adalah penunjukan langsung. Tanpa kejadian luar biasa, konsorsium pimpinan CT bakal segera ditetapkan menjadi operator pelabuhan jumbo yang pada fase I pembangunannya menelan biaya Rp 14,3 triliun itu. Mayoritas pendanaan proyek ini berasal dari pinjaman lunak pemerintah Jepang. Operator seperti konsorsium CT hanya keluar modal untuk belanja peralatan dan perawatan pelabuhan.

Namun prakualifikasi yang hanya meloloskan satu peserta ini mulai jadi gunjingan di antara pemain bisnis pelayaran. Syak wasangka sebenarnya sudah menguat ketika Kementerian Perhubungan mengabarkan daftar perusahaan yang menyodorkan dokumen lelang pada batas waktu 14 Oktober lalu. PT Pelindo II (Persero), pengelola pelabuhan peti kemas dan terminal ekspor kendaraan Tanjung Priok, Jakarta Utara, absen dari kompetisi.

• • •

RENCANA pemerintah mengutamakan swasta sebagai pengelola Pelabuhan Patimban sebetulnya sudah mengemuka sejak Juni tahun lalu. Dalam rapat terbatas kabinet di Istana Kepresidenan pada 24 Juni 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan operator calon pelabuhan terbesar itu adalah perusahaan swasta nasional, bukan badan usaha milik negara. “Ini biar bersaing nanti Tanjung Priok dengan Patimban. Biar ketahuan mana yang tidak efisien,” tutur Menteri Koordinator Kemaritiman saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan. Sepintas, ini mirip kebijakan Korea Selatan membesarkan para chaebol alias konglomerat untuk menggerakkan ekonomi negara. 

Kebijakan itu rupanya tak lepas dari status pembiayaan proyek Patimban yang berasal dari pinjaman lunak pemerintah Jepang. Pada fase pertama, Jepang mengucurkan pinjaman sebesar 118,809 miliar yen atau setara dengan Rp 14,3 triliun.

Pinjaman itu digunakan untuk membangun akses dari jalur pantai utara Jawa ke pelabuhan sepanjang 8,3 kilometer, terminal kontainer dengan kapasitas 250 ribu peti kemas berukuran 20 kaki (TEUs) per tahun, terminal kendaraan berkapasitas 217.319 per tahun, dan area penunjang seluas 356 hektare. Pinjaman lunak tersebut berbunga 0,1 persen per tahun dengan jangka waktu 40 tahun dan grace period 12 tahun. Artinya, pemerintah baru akan mulai membayar utang pada tahun ke-13.

Menggunakan Ketentuan Khusus untuk Kemitraan Ekonomi (STEP) JICA, proyek dan pengelolaan pelabuhan harus memakai teknologi dan melibatkan perusahaan-perusahaan asal Jepang. “Kalau operatornya ada perwakilan Jepang, dia bisa mengundang dan mempromosikan investor Jepang lain untuk berinvestasi di Indonesia,” ucap Jusuf Kalla, yang terlibat dalam perumusan konsep pengelolaan Patimban. “Supaya hidup ini pelabuhan.”

Ada satu syarat tambahan: Jepang meminta kongsi operator pelabuhan dari Indonesia harus pihak swasta. Syarat yang sama disodorkan Jepang ketika sebelumnya berencana membiayai proyek Pelabuhan Cilamaya. “Kebijakan pemerintah adalah operatornya swasta murni yang berkonsorsium dengan perusahaan Jepang,” ujar Kalla.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kiri) didampingi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, meninjau proyek pembangunan Pelabuhan Patimban di Desa Patimban, Subang, Jawa Barat, Januari 2019./ANTARA/M Ibnu Chazar

Lantaran pelabuhan masih masuk daftar negatif investasi, perusahaan asing hanya boleh memiliki saham pengelolaan maksimal 49 persen. Sejak saat itu, kata Kalla, pemerintah mulai mencari perusahaan swasta nasional yang mungkin mampu mengelola Patimban untuk berkongsi dengan Jepang. PT Samudera Indonesia Tangguh, Kalla menuturkan, sempat masuk daftar kandidat. “Tapi tidak jadi.”

Rencana penunjukan itu sebenarnya juga terbentur peraturan. Keputusan rapat terbatas pada Juni tahun lalu tidak bisa menganulir Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Artinya, mau tak mau operator harus ditentukan lewat lelang, yang terbuka untuk swasta dan BUMN.

Pada Juli 2018, jauh sebelum ada keputusan rapat terbatas pada Juni 2019, mantan Direktur Utama Pelindo II, Elvyn G. Masassya, sesungguhnya telah mengajukan surat ketertarikan perusahaan menjadi operator Patimban. Baru setelah keluar hasil rapat terbatas, dua orang dekat Elvyn yang mengikuti rencana Pelindo II di Patimban mengungkapkan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melarang BUMN mengikuti lelang operator Patimban.

Rupanya, Elvyn jalan terus. Ia tetap menyiapkan dan mengajukan anak usaha Pelindo II, PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPC Car Terminal), sebagai calon operator.

Bukan tanpa sebab Elvyn ngotot. Menurut dua sumber Tempo tadi, ketika Elvyn mulai menjabat bos Pelindo II pada 2016, perusahaan itu sudah punya beban surat utang global senilai Rp 20,8 triliun. Utang modal itu rencananya digunakan untuk membiayai sejumlah ekspansi bisnis perusahaan, seperti New Priok Container Terminal alias Pelabuhan Kalibaru.

Fase pertama Pelabuhan Kalibaru sudah jadi. Namun proyek fase kedua macet. Reklamasi pelabuhan yang berasal dari lumpur pengerukan Pelabuhan Tanjung Priok itu bermasalah. Permukaan tanah reklamasinya turun terus.

Selama ini, mesin uang Pelindo II berada di dua terminal di Tanjung Priok, yakni Terminal Petikemas Koja untuk layanan domestik dan Jakarta International Container Terminal untuk kargo antarnegara. Sementara itu, mayoritas arus barang ke dua terminal itu berasal dari koridor Bekasi-Karawang, dua kabupaten yang kini dihuni sedikitnya 18 kawasan industri utama.

Pasar yang sama yang akan disasar Patimban. Tak pelak, dalam jangka pendek, ada bayang-bayang saling makan pelanggan antara Priok dan Patimban, setidaknya sebelum tumbuhnya industri-industri baru yang terangsang oleh kehadiran dermaga anyar di Subang tersebut.

Dua orang dekat Elvyn yang ditemui terpisah tadi bercerita sama: Menteri Budi Karya berulang kali memperingatkan agar Pelindo II tidak maju sebagai operator. Persoalan ini, kata mereka, sempat dibicarakan dengan sejumlah pejabat Kementerian BUMN. Pencopotan Elvyn dari kursi bos Pelindo II pada Maret lalu pun tak luput disinyalir oleh sejumlah kalangan berkaitan dengan sikap mantan bankir tersebut.

Elvyn tidak menjawab ketika dihubungi sejak dua pekan lalu. Sedangkan Budi Karya menolak permohonan wawancara Tempo. Namun, lewat jawaban tertulis yang disampaikan melalui juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, dia menampik tudingan telah melarang Pelindo II ikut serta dalam lelang operator Patimban. “Tidak ada larangan untuk BUMN mengikuti proses Pengadaan Badan Usaha Pelaksana Proyek KPBU Pelabuhan Patimban,” tutur Adita lewat jawaban tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 20 November lalu.

Adita berdalih, masih lewat jawaban tertulis tadi, di antara lima peserta prakualifikasi, PT Pelindo II ataupun anak usahanya memang tidak ikut menjadi peserta pengadaan.

Adita juga membantah kabar bahwa bosnya, Budi Karya, meminta Kementerian BUMN mencopot Elvyn. “Tidak ada permintaan tersebut,” ucapnya. Elvyn pada akhirnya dicopot pada Maret lalu. Sementara itu, penggantinya, Arif Suhartono, tidak mengajukan Pelindo II atau anak perusahaan sebagai peserta hingga lelang operator Patimban ditutup pada 14 Oktober lalu.

• • •

SEPULUH perusahaan tercatat mengambil formulir prakualifikasi lelang operator Pelabuhan Patimban. Saat Kementerian Perhubungan membuka prakualifikasi, syarat peserta hanya berupa kepemilikan ekuitas sedikitnya 30 persen dari perkiraan nilai proyek, yang mencapai Rp 16,005 triliun. Ketentuan lain: calon peserta kudu mampu memperoleh pembiayaan.

Namun, setelah peserta mengambil dokumen prakualifikasi, barulah ketahuan syarat-syarat aslinya. Calon operator, misalnya, wajib punya total aset setara dengan nilai proyek. Aset bersih peserta minimal 30 persen dari total nilai investasi. Selain itu, peserta harus memiliki izin usaha sebagai badan usaha pelabuhan dan berpengalaman mengelola pelabuhan peti kemas dengan kapasitas 250 ribu TEUs per tahun.

Syarat-syarat ini membuat banyak peminat rontok, seperti PT Wahyusamudra Indah dan PT Waskita Karya Infrastruktur. Adapun PT Kaltim Kariangau Terminal, anak usaha Pelindo IV, tetap maju sendiri walau sudah tahu total aset induknya Rp 10 triliun saja.

Grup Temas juga buru-buru membentuk anak usaha pelabuhan, PT Pelabuhan Temas Nusantara. Toh, mereka rontok juga. Demikian pula PT Hasnur Jaya International, yang gugur gara-gara kekurangan aset dan pengalaman.

Sementara itu, PT Samudera Indonesia Tangguh menggandeng PT Jababeka Tbk. Gabungan aset dua perusahaan itu mencapai Rp 18 triliun. Samudera juga punya anak usaha yang mengantongi izin sebagai badan usaha pelabuhan dan mengoperasikan Terminal Petikemas Palaran, PT Samudera Palaran.

Adapun PT CT Corp Infrastruktur Indonesia membentuk konsorsium bersama PT Indika Logistic and Support Services, PT U Connectivity Services, dan PT Terminal Petikemas Surabaya. Terminal Petikemas memegang izin badan usaha pelabuhan (BUP).

Pada 20 Oktober lalu, Kementerian Perhubungan memutuskan yang lolos prakualifikasi cuma konsorsium CT Corp. Konsorsium Samudera-Jababeka gagal. Panitia lelang beralasan bahwa izin BUP yang dipakai oleh konsorsium Samudera-Jababeka milik PT Samudera Palaran. Sedangkan yang maju dalam konsorsium itu adalah induknya, PT Samudera Indonesia Tangguh. “Izin BUP yang dimasukkan bukan merupakan anggota konsorsium Samudera-Jababeka,” ucap Adita Irawati.

Setelah sempat menyanggah keputusan panitia lelang, Direktur Utama Samudera Indonesia Bani Maulana Mulia mengaku menerima ketetapan pemerintah. “Kami menerima setelah dijawab secara tertulis,” ujar Bani di kantornya, Selasa dua pekan lalu, 10 November.

Dua pengusaha yang mengikuti jalannya lelang operator ini mengatakan konsorsium pimpinan CT Corp sebetulnya sudah rapi. Konsultan bisnis konsorsium ini adalah Richard Joost Lino, mantan Direktur Utama Pelindo II yang sejak 2015 berstatus tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit mesin derek besar pelabuhan.

Bahkan Samudera Indonesia mulanya masuk konsorsium ini. Samudera diperlukan karena mengantongi syarat lelang berupa izin badan usaha pelabuhan.

Masalahnya, kata dua pengusaha ini, Chairal Tanjung—adik Chairul Tanjung—yang turun dalam proses negosiasi selalu meminta porsi terbesar. Dari penjajakan ini pula para peserta lelang operator Patimban, seperti Samudera, sebenarnya sudah mendapat sinyal bahwa mereka berpeluang kecil menang. Kepada setiap calon mitranya, menurut pengusaha yang sempat akan digandeng, CT Corp selalu bilang bahwa merekalah yang bakal mendapat proyek operator Patimban.

Merasa punya pengalaman di bidang pelabuhan, juga mengantongi BUP, Samudera Indonesia meminta porsi yang sama dengan CT Corp. Negosiasi ini buntu, hingga Samudera keluar dari konsorsium.

Belum diketahui pasti seberapa besar porsi setiap perusahaan dalam konsorsium pimpinan CT Corp. Grup Indika, yang tenar di bisnis investasi dan energi, belum punya pengalaman usaha pelabuhan dan logistik umum. Satu perusahaan lain yang masuk konsorsium adalah PT U Connectivity Services (UCS), anak usaha TRG Investama, yang didirikan Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono. Di UCS, kolega bisnis Trenggono yang sama-sama membangun TRG, Abdul Satar, duduk sebagai komisaris.

Dihubungi sejak Jumat pekan lalu, 20 November, Trenggono tidak menjawab pertanyaan tentang perusahaannya yang ikut dalam konsorsium pengelola Patimban. Satar juga tidak merespons permintaan klarifikasi Tempo.

Gara-gara keinginan CT Corp mendapat porsi mayoritas itu pula, kata dua sumber tadi, kelompok usaha Kalla akhirnya juga terpental dari konsorsium. Jusuf Kalla mengakui diajak bergabung dalam konsorsium. Tapi dia membantah rencana itu batal hanya gara-gara memperoleh porsi minoritas di konsorsium.

Menurut Kalla, rencana itu urung dilakoni untuk mencegah omongan miring. “Saya bilang, jangan kau (Solihin Kalla) ambil risiko, nanti dikira apa lagi. Hanya sekian persen, oh, gara-gara anaknya Pak JK ini. Ndak, ndak,” tuturnya.

Sewindu Rencana Pelabuhan Ratu/Tempo

Kalla mengungkapkan, saham CT Corp di konsorsium tersebut cuma 30 persen. Itu pun dari 51 persen saham bagian operator pihak Indonesia. Sebab, nantinya, dia melanjutkan, 49 persen saham operator diberikan kepada perusahaan Jepang, sesuai dengan klausul pinjaman lunak Patimban.

Dihubungi sejak pekan lalu, Chairal Tanjung belum menjawab pertanyaan yang diajukan tentang lelang operator Patimban ini. Tempo mengajukan permohonan wawancara kepada Chairul Tanjung lewat adiknya yang menjabat Direktur PT CT Corpora itu. Sepanjang pekan lalu, Chairul dilaporkan sedang berada di Singapura.

Batal bergabung, Kalla tetap mendoakan yang baik-baik buat konsorsium tersebut. “Mudah-mudahan mereka serius. Setidaknya belajar cara mengelola pelabuhan dari Jepang.” Jika benar menjadi operator Patimban, anggota konsorsium CT Corp yang tak berpengalaman dalam pengelolaan pelabuhan punya waktu belajar selama 40 tahun, sesuai dengan durasi konsesi.

KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus