Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Mimbar Debat ke Meja Dekanat

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang dituduh sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka setelah melaporkan dugaan korupsi rektor ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Berulang kali ditekan kampusnya.

21 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Frans Josua Napitu (kiri) saat ikut dalam unjukrasa #PapuanLivesMatter di Semarang, Juni 2020./Facebook.com/ Frans Josua Napiitu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Frans Josua Napitu diskors tidak boleh mengikuti perkuliahan selama enam bulan setelah melaporkan Rektor Unnes ke KPK.

  • Dituduh sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka karena ikut berunjuk rasa soal #PapuaLivesMatter

  • Aktif di kegiatan mahasiswa dan advokasi, cemerlang di nilai akademik.

UCAPAN penyemangat membanjiri telepon seluler Frans Josua Napitu pada Senin, 16 November lalu. Sejumlah kawan menyampaikan agar mahasiswa semester sembilan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu tetap kritis dan tak putus kuliah.

Frans kebingungan. Ia menanyakan maksudnya kepada salah seorang pengirim pesan. Jawaban kawan itu: Frans dikembalikan kampus kepada orang tuanya untuk menjalani “pembinaan moral dan mental” selama enam bulan. Hukuman tersebut dijatuhkan oleh Dekan Fakultas Hukum Unnes Rodiyah. “Saya yang diskors malah tahu belakangan,” ujar Frans pada Rabu, 18 November lalu.

Hingga Senin siang, penyebab Frans dihukum belum jelas. Fakultas tak pernah mengabarinya. Frans menduga sanksi tersebut adalah buntut laporannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tiga hari sebelumnya, Frans menyambangi gedung KPK di Jakarta Selatan. Pada Jumat, 13 November lalu ia melaporkan Rektor Unnes Fathur Rokhman atas dugaan korupsi pengelolaan dana mahasiswa. Dalam laporannya, Frans menyebut ada kejanggalan dalam anggaran universitas yang bersumber dari mahasiswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat skorsing terhadap Frans Josua Napitu./Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat Frans berada di KPK, orang tuanya menerima pesan lewat WhatsApp dari pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum. Pesan itu berisi undangan untuk menghadiri pertemuan virtual lewat aplikasi Zoom. Orang tua Frans tak hadir. Menurut Frans, orang tuanya tidak memenuhi pertemuan itu karena undangannya mendadak. “Ayah saya juga tidak memiliki aplikasi Zoom,” kata pemuda 21 tahun itu.

Orang tua Frans kembali menerima pesan WhatsApp dari pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum pada Senin, 16 November lalu, sekitar pukul 17.00. Pesan itu memuat Surat Keputusan Dekan Nomor 7677/UN37.1.8/HK/2020 tentang Pengembalian Pembinaan Moral Karakter Frans Josua Napitu ke Orang Tua dalam format PDF. Alasan pemberian sanksi di luar dugaan Frans: ia dituduh sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Frans menganggap tuduhan itu mengada-ada. Lima bulan lalu, ia sudah mengklarifikasi isu tersebut di depan dekanat. Tuduhan bermula dari unggahan foto di akun Facebook Frans yang menampilkan ia bersama aktivis dari berbagai lembaga di Semarang sedang menggelar aksi menolak rasisme #PapuaLivesMatter pada Juni lalu.

Dekanat meminta penjelasan Frans pada 8 Juli lalu. “Tuduhan tersebut sudah terbantahkan dan selesai setelah saya klarifikasi,” ucap Frans.

• • •


LULUS dari sekolah menengah atas di Simalungun, Sumatera Utara, pada 2016, Frans mendaftar ke Fakultas Hukum Unnes pada tahun itu juga setelah mendengarkan saran dari gurunya. Dunia aktivisme kampus langsung digelutinya begitu ia diterima berkuliah di sana.

Frans bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Debat, menjadi anggota organisasi kerohaniawan Katolik, hingga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unnes. Ia kerap menyuarakan kritik atas berbagai isu di kampus. “Terutama terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada mahasiswa,” tutur Frans.

Ia juga pernah mengadvokasi mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar uang kuliah. Berkat itu, Frans didapuk menjadi Menteri Advokasi BEM Unnes pada 2019.

Menurut Frans, ia terpanggil untuk terjun ke bidang advokasi kampus karena menginginkan universitas terbuka bagi semua orang.  “Cita-cita saya sederhana, yakni terwujudnya akses terhadap pendidikan tinggi yang berkeadilan dan demokratis, selaras dengan tujuan didirikannya negara Indonesia,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu.

Frans Josua Napitu (kanan) dalam sebuah demonstrasi tahun 2019./Facebook.com/ Frans Josua Napiitu

Tak mudah menjadi aktivis kampus. Berkali-kali Frans menghadapi tekanan. Sebelum adanya pelaporan Rektor Unnes ke KPK dan unjuk rasa solidaritas terhadap Papua, Frans sudah sering ditegur dekanat. Menteri Kajian Strategis BEM Unnes Ignatius Rhadite mengatakan sejak 2018 Frans rutin dipanggil fakultas karena mengkampanyekan pendidikan murah. “Dia punya mimpi mewujudkan Unnes sebagai kampus yang benar-benar memihak wong cilik,” tutur Rhadite.

Menurut Rhadite, Frans juga getol mengawal isu relokasi kampus Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan. Frans pun mengkritik biaya kuliah kerja nyata yang sebagian menjadi tanggungan mahasiswa. “Advokasi Frans berhasil meski dia harus sering berhadapan dengan sidang etik,” ujar Rhadite.

Kini Frans menjabat Menteri Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM Unnes. Selain menelisik dugaan korupsi Rektor Unnes, ia sebenarnya sedang mengawal isu biaya kuliah pada masa pandemi Covid-19. Para mahasiswa keberatan membayar biaya kuliah secara penuh karena pembelajarannya jarak jauh. Frans bersama pengurus BEM Unnes serta sejumlah mahasiswa sudah tiga kali berunjuk rasa mengangkat isu ini.

Aliansi mahasiswa yang dimotori Frans ini pun mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Juli lalu. Mereka melaporkan juga Menteri Nadiem Makarim ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena dianggap tidak tanggap terhadap kondisi ekonomi masyarakat pada saat masa pandemi.

Imbas dari pelaporan dan uji materi tersebut, Frans, Rhadite, dan tiga mahasiswa lainnya dipanggil dekan. “Kami dibuatkan grup WhatsApp bersama dekan,” ujar Rhadite.

Menurut Rhadite, mereka juga “diundang” ke kediaman dekan dan ke sejumlah pertemuan lain di dekanat. “Kami ditekan untuk mencabut uji materi dan laporan. Kalau tidak, nanti kami akan dikembalikan ke orang tua,” ucap Rhadite. Para mahasiswa bergeming.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengatakan lembaganya sedang menelaah aduan Frans dan kawan-kawan. Ia menyayangkan sikap kampus yang menutup pintu dialog dengan mahasiswa. “Dalam situasi seperti ini, pihak kampus harus bijak. Dialog memang harus terus-menerus, bukan sekali-dua kali saja,” ujar Choirul.

Menurut dia, Unnes bertindak keliru dalam menangani mahasiswa yang berbeda pendapat. Komnas HAM berencana memanggil Rektor Unnes Fathur Rokhman terkait dengan aduan tersebut. Begitu juga soal sanksi terhadap Frans atas laporannya ke KPK. “Mengaitkan Frans dengan OPM sangat berlebihan,” kata Choirul. Menurut dia, hanya karena menunjukkan kepeduliannya terhadap isu Papua, bukan berarti Frans mendukung organisasi tersebut.

Dekan Fakultas Hukum Unnes Rodiyah mengatakan Frans memang pernah dipanggil pada Juli lalu. Ia diminta mengklarifikasi isu bahwa dia adalah simpatisan OPM. Bukti tuduhan itu, kata Rodiyah, adalah unggahan di media sosial Frans. “Berdasarkan jejak digital yang kami miliki,” tutur Rodiyah.

Pada saat klarifikasi, kata Rodiyah, Frans diminta menyanggupi pernyataan yang berisi enam poin. Di antaranya tidak provokatif dan membuat kegaduhan, menjaga nama dan reputasi institusi Unnes, tak terlibat aksi simpatik terhadap tahanan politik, serta menaati etika dan tata tertib kemahasiswaan.

Menurut Rodiyah, Frans telah melanggar enam pernyataan yang ditandatangani tersebut. Tindakan yang melanggar itu adalah melaporkan Rektor Unnes Fathur Rokhman ke KPK. “Melaporkan Rektor Unnes kan membuat kegaduhan. Perbuatan dia berarti melanggar enam poin pernyataannya,” ucap Rodiyah.

Fathur Rokhman enggan menanggapi laporan dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya. Ia mengaku sedang berfokus menjaga kesehatan dan menjalankan kegiatan belajar-mengajar secara virtual. “Pola pikir negatif dan hoaks saya abaikan,” ujar Fathur. Ia mengklaim tata kelola keuangan Unnes sudah transparan dan sesuai dengan prinsip integritas.

Surat skorsing terhadap Frans Josua Napitu./Istimewa

Di kampus, Frans tak hanya berkutat di dunia aktivisme. Ia beberapa kali mengharumkan nama universitas lewat lomba debat di tingkat daerah dan nasional. Pada 2018, misalnya, ia masuk babak perempat final lomba debat yang digelar oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum.

Frans juga menjadi finalis mahasiswa berprestasi Fakultas Hukum pada 2017. Berkat prestasi akademiknya, ia mendapat Beasiswa Bidik Misi sejak semester satu hingga delapan. Indeks prestasi kumulatifnya mencapai 3,6.

Di luar kampus, Frans aktif sebagai relawan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Di sana, Frans ikut mengadvokasi isu pembangunan rumah ibadah, perburuhan, dan perjuangan kelompok minoritas.

Anggota LBH Semarang, Cornelius Gea, mengatakan Frans berkecimpung di lembaganya sejak mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum atau Kalabahu pada awal 2020. Tapi, sebelum itu, Frans juga terlibat dalam banyak kegiatan LBH Semarang. “Dia terlibat dalam penolakan omnibus law, advokasi kebebasan beragama, lingkungan, dan isu-isu perempuan,” ujar Gea.

LINDA TRIANITA, JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Linda Trianita sedang menempuh Magister Kebijakan Publik di Universitas Indonesia. Alumni Executive Leadership Program yang diselenggarakan oleh Asian American Journalists Association (AAJA) Chapter Asia pada 2022 fellowship dari Google News Initiative. Menyabet Juara 1 Kategori Investigasi ExcEl Award (Excellence in Election Reporting in Southeast Asia) 2021 dan 6 Finalis Kategori Media Besar Global Shining Light Awards 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus