Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kutu Buku yang Ramah

23 April 2007 | 00.00 WIB

Kutu Buku yang Ramah
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Semua teman Partahi Mamora Halomoan Lumbantoruan sudah hafal sekali jadwal keseharian-nya. Mora—begitu ia dipanggil—adalah mahasiswa yang sangat tertib, tekun, hangat, supel, dan teratur. Setiap pukul 09.00 pagi ia sudah siap dengan perangkat kuliah. Setelah kuliah usai pada siangnya, ia selalu berkunjung ke perpustakaan di kampusnya. Sore hari, ia bergegas pulang untuk istirahat sebentar di kamar-nya, lantas malam belajar lagi.

Bagi Adi, Mora adalah pribadi yang pendiam dan baik. Jika belum kenal baik, Mora akan jarang bicara. Namun, jika sudah kenal dan akrab, maka pembicaraan mengalir lancar. Kalau sudah begini, gaya Bataknya akan terasa kental. Kalaupun ia berbicara dengan mahasiswa dari negeri lain, bahasa Inggris dengan aksen Batak akan terlihat.

Mora bukan orang yang boros. Maklum, kuliahnya dibiayai keluarganya sendiri. Tak mengherankan jika saat liburan Mora jarang menghamburkan uang untuk refreshing. Paling sering ia membaca di perpustakaan atau di kamar. Terkadang mengunjungi saudaranya di Philadelphia dengan bus. Hampir setiap bulan ia menjalin komunikasi melalui telepon dengan orang tua di Medan dan Surabaya—itu terakhir terjadi pada 8 April lalu. Waktu itu, ia pun dipesan sang ayah untuk jarang-jarang saja menelepon supaya lebih irit.

Terkadang Mora juga mencari tambahan penghasilan dengan memanfaatkan acara perkenalan budaya setiap April. Acara ini biasanya berlangsung pada hari Minggu. Mora memanfaatkannya dengan berdagang sate ayam. Selain memperkenalkan makanan Tanah Air, ia juga mahir menjajakannya. ”Mora sangat lihai dalam membakar sate, bakarannya pas,” ucap Adi, mahasiswa jurusan Public Policy, Virginia Tech, (S3) ini. Hasil penjualan digunakan untuk membeli buku.

Pupung Purnawarman, mahasiswa S3 bidang Science & Technology, Virginia Tech, punya kesan tak jauh berbeda. Partahi selalu menegur lebih dulu kepada setiap orang. Saking ramah dan tak ingin melukai sahabatnya, ia kerap memendam rasa marah. Tak pernah ditunjukkan rasa kurang senang kepada seseorang. Si penggemar kacang goreng ini selalu lebih dulu mengajak bersalaman kepada orang. ”Roman wajahnya selalu menunjukkan keramahan,” ujar Pupung.

Partahi paling gemar kuliah yang ada hubungannya dengan struktur tanah. Ia paham benar jika lempengan tanah di negerinya rawan pergeseran sehingga bencana gempa dan tanah longsor kerap mendera.

Kecintaannya pada Tanah Air membuat ia menolak saat ditawari menjadi warga negara Amerika. Kecerdasannya membuat Mora mendapat tawaran ini. Perihal tawaran ini dikatakan Konsul Jenderal Amerika di Medan, Sein B. Sein, saat melayat di rumah duka. Kemampuan teknik sipilnya membuat fondasi gedung besar memiliki nilai luar biasa. Namun, tawaran itu ditolaknya. ”Dia juga sangat patriotis, oleh sebab itu dia mau kembali ke negaranya, melayani dan bekerja untuk negaranya,” kata Soonkie Nam, adik kelasnya asal Korea, kepada Tempo.

Saat bergaul dengan Partahi, Soonkie merasakan sebuah kehangatan tanpa membedakan asal mereka. Menurut dia, Partahi adalah seorang gentleman, baik, dan memiliki tenggang rasa yang tinggi. Tak jarang ia meminjamkan buku pentingnya, padahal di saat yang sama ia juga sedang membutuhkan. ”Saya bahkan tak mampu mengatakan sesuatu yang jelek tentang dia,” katanya.

Partahi Mamora Halomoan Lum-bantoruan, 35 tahun, kelahiran Magelang, 26 April 1972, putra kedua dari pasangan Letkol (Purn.) Toham Lumbantoruan dengan alm. Rosiana Sinta Panjaitan SH. Ia ditinggal ibunya sejak kecil. Kemudian ayahnya menikahi wanita seprofesi asal Jawa Tengah yang diberi nama marga Panjaitan, Letkol CPM M.F. Sugiyarti yang sangat disayangi Mora bak ibu kandungnya sendiri dan mempunyai satu anak dari perkawinan ini.

Mora yang berperawakan tinggi dan tegap seperti bapaknya itu direncanakan apabila kelak menamatkan program doktornya berencana akan bekerja di Universitas Nasional Singapura. Namun, Tuhan berkehendak lain. Ajal menjemputnya akibat kebrutalan salah satu mahasiswa Virginia Tech tempat ia belajar dan menjadi asisten profesor.

Saking kuatnya dalam belajar, sampai-sampai Mora memperpanjang masa lajangnya dan memilih studi dulu. Sampai akhir hayatnya Mora selalu menjalankan motto ”Belajar dan be-lajar”. Terakhir, sebelum melanjutkan studi ke Amerika, ia menjadi dosen di Universitas Mercu Buana. Ia lebih memilih Mercu Buana walau juga diminta menjadi dosen di Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanegara.

Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus