Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Namaku Cho Alias A Ishmael

Inilah penembakan terbesar di kampus Amerika. Meski begitu, pembatasan terhadap penggunaan dan kepemilikan senjata bukan langkah populer.

23 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menembak dua orang mahasiswa di asrama, Cho Seung-hui, 23 tahun, melenggang ke kantor pos tak jauh dari kampusnya. Hari itu Senin, 16 April 2007, ia meraih selembar surat pencatatan barang. Di kolom pengirim, ia membubuhkan sebuah nama: A. Ishmael. Satu paket berisi video rekaman segera dikirim ke stasiun televisi NBC.

Cho Seung-hui. Langkahnya mantap, menunjukkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan itu sesuatu yang masuk akal. Tak lama kemudian ia kembali ke kampusnya, Virginia Polytechnic Institute atau Virginia Tech University. Di situlah, ia menghabisi 30 mahasiswa dan dosen, lantas menembak kepalanya sendiri dengan sepucuk pistol. Pagi itu, menurut seorang pejabat kehakiman, Cho menembakkan lebih dari 100 butir peluru.

Sebuah finale yang terencana. Di mata Cho yang pendiam itu, semua masuk akal. Dalam rekaman video, ia berujar: ”Kalian telah menyia-nyiakan kesempatan, menggencetku habis-habisan, kini tak ada pilihan lain.” Suaranya tegas: ”Kalau waktunya tiba, saya akan melakukannya. Saya harus melakukannya.” Tapi penduduk Amerika terperanjat. Sekonyong-konyong peristiwa penembakan itu masuk televisi, koran, radio, media online. Para orang tua, pasangan, famili sibuk mengecek: adakah anak-anak, istri, suami mereka selamat.

Siapa Cho? Siapa pula A. Ishmael, nama yang juga tergores pada tubuh Cho? Belum ada jawaban tentang nama yang terakhir itu. Yang terang, di kampus yang luas itu, setelah penembakan pertama di asrama, polisi Virginia sempat kesulitan menemukan pria asal Korea Selatan itu. Maklum, ia satu dari 26 ribu mahasiswa penghuni kampus Virginia Tech. Sebenarnya banyak yang mengenal Cho kendati tak banyak yang tahu kepribadiannya. Joe Aust, teman sekamar Cho, tak habis pikir rekannya menjadi sesadis itu. Apalagi sehari sebelumnya, tak ada tanda-tanda aneh dari Cho.

Cho tak banyak bicara. Kalaupun ber-bicara, suaranya berbisik, nyaris tak terdengar, dan ia jarang ada di kamar. Jika berada di kamar, ia diam seribu bahasa dan tenggelam dengan komputernya. Tak seorang pun menyangka ia mampu melakukan tindakan sekejam itu, meski dalam kelas penulisan kreatif Cho memang telah membuat teman-teman kuliahnya ketakutan. Isi karya tulisnya berlumuran ide-ide liar tentang bentuk-bentuk kesadisan dan kekejaman.

Cho kecewa dengan gaya hidup mewah para mahasiswa. Ia pun memulai aksinya. Dimulai di lantai empat di ruang Wes Ambler Johnston. Kemudian ke kamar 206 dan 204, dan berlanjut ke ruangan lainnya.

Inilah drama penembakan terbesar di kampus Amerika Serikat. Sebelumnya, penembakan terjadi di SMA Columbine, Colorado. Peristiwa berdarah 19 April 1999 menewaskan 13 siswa. Sekali lagi, aksi penembakan terjadi di antara ruang-ruang belajar.

Kenapa belum ada jawaban tuntas atas aksi-aksi brutal itu? Mengapa sekolah kerap menjadi sasaran penembakan? Yang pasti, masalah kontrol terhadap peredaran dan pemilikan senjata menjadi hal fundamental di Amerika. Namun, keinginan untuk memberlakukan kontrol terhadap peredaran dan pemilikan senjata berbenturan dengan Amendemen Kedua dari konstitusi Amerika Serikat (Bill of Rights).

Amendemen Kedua mengatur larang-an untuk membatasi setiap rakyat Amerika untuk memiliki dan menggunakan senjata. Amendemen ini terkait erat dengan hak asasi setiap rakyat Amerika untuk mempertahankan atau melindungi dirinya dari rasa tidak aman.

Mayoritas masyarakat Amerika tak ingin ada pembatasan terhadap kepemilikan senjata maupun pengedarannya. Senjata dinilai hanyalah alat, sehingga mereka menganggap yang dibutuhkan adalah mengingatkan masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan senjata. Itu artinya, kontrol ada di tangan individu-individu orang Amerika.

Tragedi di Virginia Tech University telah membuat semua orang Amerika berbicara. Mereka semua menyesalkan dan mengutuk kejadian itu. ”Sekolah mestinya tempat berlindung dan belajar. Ketika tempat itu dicederai, dampaknya dirasakan setiap murid dan setiap orang Amerika,” ujar Presiden Amerika Serikat, George Bush. Ketua Parlemen Nancy Pelosi pun menyampaikan belasungkawa.

Namun, penembakan di Virginia Tech tak berarti akan mendorong kesepakatan tentang perlunya pembatasan peredaran dan kepemilikan senjata. Pembahasan sebelumnya sudah berkali-kali diadakan, namun menemui jalan buntu.

Bush tetap pada pendiriannya: tak ada gunanya memperdebatkan perlunya kontrol senjata api. Sedangkan Pelosi memilih diam. Ia tahu dampak mengangkat isu ini akan mengulangi sejarah pahit Al Gore yang perolehan suaranya anjlok setelah mengangkat isu perlunya registrasi terhadap pemilik senjata api. Toh, kenyataannya, semua anggota Senat maupun Kongres tak ada yang membuang senjata dari kehidupan sehari-hari. Bahkan mereka membawa senjata ke tempat tidur.

Musim kampanye pemilihan presiden tahun depan tak membuat politikus berminat mengambil ”keuntungan politik” dengan mengangkat isu pengawasan terhadap senjata api. ”Saya mendukung penuh Amendemen Kedua dan Amendemen Kedua harus dipertahankan,” ujar John McCain, kandidat Presiden dari Partai Republik, Rabu pekan lalu.

Pekan lalu, 30 jenazah itu dikuburkan. Sedangkan jenazah mahasiswa asal Indonesia, Partahi Mamora Halomoan Lumbantoruan, 35 tahun, diterbangkan ke Jakarta. Delapan tahun lalu, 13 siswa berdarah dan mati. Senjata bukan barang haram. Enam tahun lalu di Columbine, minggu lalu giliran Virginia Tech, entah giliran siapa bulan depan, tahun depan.…

Maria Hasugian (Washington Post, Associated Pers, BBC, New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus