Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIUH suara di aula Menza, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, siang itu. Di ruangan makan bersama itu, nindya praja—atau siswa tingkat tiga—Jacka Anugrah Putra terlihat berjalan melewati deretan meja makan para adik kelasnya. ”Kader Pataka nanti berkumpul di barak DKI setelah apel malam,” katanya kepada beberapa siswa tingkat dua atau madya praja.
Hari itu, 2 April lalu, praja asal Samarinda, Kalimantan Timur, itu se-ngaja mendatangi juniornya untuk menyampaikan pesan kelompok Pataka (Pasukan Tanda Kehormatan). Pataka menyebut dirinya kumpulan praja elite dalam kegiatan kampus calon pamong pemerintahan yang berada di Sumedang, Jawa Barat itu. Dari sekitar seribu praja tingkat tiga, cuma sebelas orang yang terpilih masuk kelompok itu. Kini mereka sedang membentuk pasukan khusus upacara baru, sebelum kelompok itu naik ke tingkat empat—tahun terakhir kuliah.
Dari 1.200-an madya praja, sudah terpilih 26 orang sebagai kader Pataka. Tapi, pada minggu sebelumnya, sebagian calon Pataka baru ini terlambat latihan. ”Ini kesalahan berat, harus ada koreksi,” kata Jacka kepada rekan-rekannya di Pataka. Usul Jacka disetujui demi membentuk Pataka baru yang ”berdisiplin”. Koreksi akan dilakukan di barak DKI, tempat sebagian besar anggota Pataka tinggal.
Pada 22.00, Jacka masuk ke barak DKI. Ia mengobrol dengan beberapa nindya praja yang sedang bermain komputer jinjing. Di antaranya Hikmat Faisal, koordinator Pataka. Tak lama kemudian, sembilan kader Pataka datang. Para junior itu diperintah agar berjongkok sembari menunggu rekan seangkatannya. Mereka dikumpulkan di lorong belakang barak DKI, yang disekat dengan locker pa-kaian dari petak-petak kamar nindya praja. Lorong ini remang-remang dan tertutup dari penglihatan orang luar.
Ketika 23 kader Pataka terkumpul, Jacka segera memulai acara ”koreksi”. Tradisi koreksi kelompok ini dikenal amat keras. Selain arahan, ada materi pembinaan fisik. ”Kalian ini sangat lamban,” kata Jacka kesal. ”Lambat. Tidak layak jadi anggota Pataka. Karena kemarin kalian berbuat kesalahan, kalian harus siap menerima hukuman.” Praja 21 tahun itu kemudian menambahkan, ”Sebelum ada yang mati, kalian tak bisa pulang.”
Jacka lantas memerintahkan para madya praja berdiri menghadap lemari dan berjajar urut tinggi. ”Keluarkan sapu tangan,” katanya. ”Buka kaus!” terdengar seseorang memberikan perintah. Seperti sudah memahami perintah itu, para kader Pataka lalu mencopot kaus dan memakainya sebagai penutup mata. ”Balik kanan. Kancingkan,” Jacka menghardik.
Sembilan orang kelompok Pataka kemudian masuk ke lorong. Salah satunya diketahui bernama Andi Bustanil, yang kemudian mengatakan, ”Koordinator memulai duluan.” Hikmat Faisal kemudian malangkah ke depan kader yang sudah tertutup matanya itu. Ia memberi ”arahan”, lalu... nah: melancarkan satu pukulan keras ke arah ulu hati. Satu kali untuk setiap orang.
Belum lagi Hikmat selesai, praja Frans A. Yocku menyusul menyumbangkan pukulan. Lalu diikuti Andi Bustanil dan lima anggota Pataka lainnya. Ronde pertama ini diakhiri oleh Jacka, yang memukul bagian perut dan dada para kader bergantian. ”Buka mata!” terdengar teriakan Amrullah, seorang anggota Pataka. ”Ambil napas,” ia berteriak.
Tapi, tak sampai lima menit, muncul perintah baru, ”Tutup mata!” Kali ini jatah Amrullah dan Fendi Ntobuo. Mereka mengarahkan pukulan ke dada dan perut. Sejak ”koreksi” dimulai, ruangan di lantai tiga itu riuh-rendah dengan suara pukulan. Tapi ratusan nindya praja di barak DKI tak peduli.
Ketika itulah muncul empat kader Pataka lain. Mereka praja yang baru saja selesai berlatih drum band. Salah satunya Cliff Muntu. Fendi Ntobuo membariskan mereka di lorong dekat musala. ”Kalian ini kurang ajar,” katanya. ”Kemarin terlambat latihan, sekarang terlambat lagi.”
Praja asal Gorontalo itu lalu memberikan perintah mencopot kaus dan menutup mata. ”Ini pukulan Kaka,” katanya geram. Tiga kali tinju di ulu hati untuk satu orang. Inilah bentuk hukuman dari ”doktrin” yang kerap diulang ke praja junior: ”Bila tak bisa meraih hati, raihlah ulu hatinya.” Empat praja itu terlihat menahan sakit. ”Buka mata. Tarik napas,” kata Fendi, yang lalu menyuruh keempatnya masuk barisan. ”Terlalu cepat, Fen,” Jacka memprotes.
Alhasil, baru sekejap berdiri membentuk barisan, hujan pukulan kembali turun. Jacka memukul keempatnya tepat di dada. Cliff Muntu, yang berdiri di urutan kedua, terlihat mulai goyah. Setelah Jacka, nindya praja Gunawan juga memberikan pukulan ke dada keempat praja yang terlambat itu. Terakhir, Amrullah ikut melayangkan pukulannya. Tak kuat menahan pukulan, Ridho Budi Kurniawan—seorang kader Pataka—jatuh terjongkok menahan sakit. Sadar akan bahaya, ia memaksa berdiri.
Menurut kebiasaan, bila seorang praja terlihat goyah, justru ia harus dihajar lagi. Dewa Gede, seorang anggota Pataka, tiba-tiba ikut memukul. Juga Eko Ismada. Semuanya ke arah dada. Ketika itulah Cliff terkulai dan jatuh. ”Ada yang pingsan!” terdengar Chandra, seorang nindya praja Pataka, berteriak.
Teriakan itu mengagetkan para senior Pataka. ”Ah, ini pura-pura,” kata Amrullah, ”Bangun!” Ia menendang tubuh Cliff dengan kakinya yang diba-lut sepatu olah raga. Tak bergerak. Mulailah kepanikan itu. Beberapa nindya praja kemudian mengambil bantal. Jacka berusaha melepas sepatu Cliff. Tubuh praja asal Manado, Sulawesi Utara, itu kemudian digotong ke kasur. Seorang anggota Pataka mencoba mengoleskan minyak kayu putih ke perut Cliff. Tapi, ketika itu jasad pria pemegang bass drum itu sudah dingin.
”Kalau ditanya, jangan ngaku!” Jacka berteriak kepada anggota Pataka dan kader yang mulai kebingungan. ”Kalau ngaku, ngaku semua. Kalau enggak, enggak semua. Satu celaka, celaka se-mua.” Acara ”koreksi” Pataka itu akhirnya berantakan, bubar dengan sendirinya.
Seorang anggota Pataka kemudian meminta bantuan ambulans ke klinik kampus. Kendaraan itu lambat datangnya. Setelah ambulans tiba, jasad Cliff dibawa ke Rumah Sakit Al-Islam. Pada 00.15, dokter Beny Benardi yang berjaga di rumah sakit menyatakan Cliff meninggal. ”Saya mengusahakan perawatan,” katanya kepada Tempo, pekan lalu. ”Tapi, ketika korban datang, sebenarnya sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan.”
KETIKA menggelar rekonstruksi pada awal pekan lalu, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Sumedang, Ajun Komisaris Polisi Hotben Gultom, mengatakan hanya ada beberapa bagian dalam rekonstruksi yang berisi 48 adegan yang tidak diakui para tersangka. ”Ada tiga adegan yang ditolak, tapi ini bukan berarti berkas pemeriksaan harus diubah,” katanya. Artinya, gambaran polisi mendekati benar.
Hasil rekonstruksi juga dinilai baik oleh Kapolda Jawa Barat, Irjen Polisi Sunarko D.A. ”Semua jadi jelas, siapa melakukan apa,” katanya. Gambaran adegan dalam reka ulang polisi dibuat setelah penyidik memeriksa lebih dari 50 saksi. Para anggota Pataka ini semula mangkir dan saling melempar kesalahan.
Polisi memecah ketujuh praja tersangka menjadi dua berkas. Berkas pertama terdiri dari Jacka Anugrah Putra, Muhamad Amrullah, Fendi Ntobuo, dan Andi Bustanil. Berkas kedua meliputi Hikmat Faisal, Ari P. Harahap, dan Frans A. Yocku. Polisi sempat buntu mengorek keterangan para tersangka. Awalnya, meski semuanya mengaku memukul, tak ada yang ”menyentuh” Cliff pada malam nahas itu.
Belakangan polisi menggunakan metode pemeriksaan terpisah. Para tersangka diperiksa seorang demi seorang. ”Harus jelas siapa yang memukul Cliff sampai mati,” kata Hotben Gultom. Polisi memang menjerat para tersangka dengan dua pasal, yakni pembunuhan dan penganiayaan dengan kekerasan. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara.
Nurkholim, pengacara tiga tersangka di berkas kedua, menuduh empat tersangka dalam berkas pertama bersikap negatif. ”Mereka menyebut semua temannya memukul Cliff. Padahal, ada yang paling bertanggung jawab atas kematian Cliff,” katanya. Kliennya pun sempat bersikap tertutup, namun akhirnya memilih kooperatif dengan polisi. ”Saya coba membujuk mereka agar mengaku,” katanya.
Dalam pemeriksaan ulang, menurut Nurkholim, polisi menemukan bahwa niat mengadakan ”koreksi” Pataka datang dari Jacka, Amrullah, dan Fendi Ntobuo. ”Merekalah yang paling keras,” katanya.
Arif A.K., Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri (Sumedang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo