LELAKI tua itu kini tak lagi di Istana Malacanang. Itulah Ferdinand Edralin Marcos, 68, tokoh yang dua dekade lalu dipuja-puja rakyat bagaikan sang penyelamat, setelah ia menyingkirkan Diosdado Macapagal dari kursi kepresidenan. Tak heran bila waktu itu Marcos dielu-elukan. Soalnya, golongan menengah bosan melihat tingkah Macapagal yang menguber-uber pajak kekayaan mereka. Mereka berharap di bawah Marcos segalanya akan berubah. Apalagi ia, ketika itu berusia 48 tahun, sudah dikenal massa, lewat penampilannya sebagai anggota Parlemen, sebagai tokoh energetik dan pintar. Ia sebelumnya memang sudah dikenal sebagai orang yang luar biasa. Dialah ahli hukum yang menyiapkan ujian akhir sarjana dari balik terali penjara, dan lulus dengan nilai terbaik yang pernah dicapai putra Filipina. Ia pernah menjadi juara menembak di negerinya, satu-satunya presiden yang terpilih lebih dari satu kali, dan - yang ini harap jangan terlalu dipercaya--pahlawan kemerdekaan dengan segudang tanda jasa. Dua puluh tahun kemudian ia tak lagi disanjung-sanjung rakyat, kecuali di antara keluarga dan sejumlah pengagumnya. Kaum oposisi, terakhir juga Amerika, ia bagaikan seorang yang berbahaya, sehingga ia beserta keluarganya harus minggat dari Istana. Mengapa semua itu bisa terjadi? Pertanyaan serupa barangkali juga memenuhi benak Marcos sekarang. Dan, ia mungkin akan mencoba mencari jawabnya dengan melihat jauh ke belakang. Barangkali dari saat kehadirannya di dunia -- ketika ayahnya, Mariano Marcos, waktu itu berusia 18 tahun, sibuk memotong tali pusar Ferdinand, yang lahir prematur pada 11 September 1917. Atau dimulai dari kenangannya tentang sepak terjang ayahnya di panggung politik: scbagai anggota Parlemen, yang terpilih dua kali, maupun sebagai gubernur Davao. Dan Ilocos Norte, tempat mereka tinggal, memang dikenal sebagai daerah sering bergolak. Terletak 500 km sebelah utara Manila, daerah itu dikenal gersang, maka temperamen penduduk pesisir itu juga cukup garang dan gemar mengembara. Tapi di mana pun orang Ilocos Norte berada, mereka bisa dikenali dari keuletan dan kepraktisannya. Tak heran jika banyak di antara mereka yang sukses di bidang bisnis atau politik. Dalam kancah "keras" seperti itulah Marcos digodok. Menurut Nyonya Cayetana Quevedo, guru Marcos di kelas I SD, bakat-bakat luar biasanya sudah terlihat dari dulu. "Dia murid yang sangat cerdas," tutur Nyonya Quevedo. Ketika ayahnya menjadi gubernur Davao, sehingga mereka harus meninggalkan Ilocos Norte, Marcos, yang sudah berumur belasan tahun, mendapat gemblengan lain. Ia dilatih ayahnya menunggang kuda dan berburu di kawasan hutan yang masih perawan. Konon, inilah masa-masa paling indah bagi Marcos. Masa itu diakhiri Marcos begitu tamat sekolah menengah, karena ia harus melanjutkan pelajaran ke University of Philippines di Manila. Marcos, yang menempelkan tulisan Mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) di kamarnya, terbukti memang tidak hanya piawai di bidang pelajaran tapi juga dalam kegiatan jasmani. Ia memperoleh banyak piagam dan piala atas prestasinya sebagai petinju, perenang, dan pegulat. Ketika dikenai wajib militer, karena kepiawaiannya dalam bidang kewiraan, ia dianugerahi medali emas Jenderal MacArthur. Dalam hal berpidato, piala yang diraihnya, antara lain Piala Presiden Quezon. Sedangkan di dunia akademis, ia pernah menerima medali dari Rektor, karena berhasil mengumpulkan nilai-nilai tertinggi dalam studinya. Tapi, bukan berarti Marcos tak pernah mengalami masa sulit. Ia pernah kehilangan beasiswa, karena terlalu aktif di bidang ekstrakurikuler. Padahal, waktu itu, ayahnya sedang kesulitan keuangan, karena habis-habisan membiayai kampanye untuk menjadi anggota Parlemen. Untung, kakeknya segera turun tangan membiayai pendidikan Marcos. Ketika duduk di tingkat terakhir Marcos dapat cobaan. Beberapa hari sebelum Natal 1939, ketika Marcos sedang asyik mengikuti kuliah, tiba-tiba masuk sepasukan polisi ke ruang belajar, dan menangkapnya. Ia dituduh membunuh Julio Nalundasan, yang sudah dua kali mengalahkan ayahnya dalam pemilihan anggota Parlemen. Pembunuhan terjadi tiga hari setelah pemilihan. Sebutir peluru pistol kaliber 22 menembus tubuh Nalundasan, sewaktu ia tengah menggosok gigi. Dan, tak ayal, tuduhan dialamatkan pada Marcos. Pengadilan Negeri, yang menganggap tuduhan itu terbukti, melontarkan Marcos ke penjara. Ia, saat itu berusia 19 tahun, mengajukan banding ke Mahkamah Agung, serta mohon kesempatan mengajukan pembelaan sendiri. Permintaan itu dikabulkan. Maka, dari balik penjara, Marcos mempersiapkan dua hal: ujian dan pembelaan diri. Dan, Marcos berhasil dalam kedua hal itu. Bahkan nilai ujiannya tercatat sebagai rekor nasional. Setelah koran-koran memuat berita prestasi sekolah Marcos, yang lulus summa cum laude itu, tak lama kemudian, Mahkamah Agung memutuskannya tak bersalah, dan membebaskannya. Sewaktu Perang Dunia II meletus, dan Jepang pun bergerak ke Filipina, maka Amerika Serikat, penguasa di Filipina ketika itu, tak tinggal diam. Wajib militer diberlakukan di Filipina, dan Marcos pun menjadi letnan pada Batalyon Infanteri ke-21. Tugas utamanya sebagai intel. Karena tugas intel tak banyak diketahui orang, maka terdapat dua versi mengenai peran Marcos selama PD II. Biografi resmi pemerintah, misalnya, memuat kisah-kisah kepahlawanannya yang legendaris. Antara lain diceritakan bagaimana Marcos bersama tiga anak buahnya melakukan operasi berani mati, dan berhasil membunuh 50 tentara Jepang, serta menghancurkan satu baterai mortir. Atas prestasinya itu, pangkatnya dinaikkan menjadi kapten, dan dianugerahi medali Congressional Medal of Honor. Selain itu, ada sejumlah kisah kepahlawanannya yang lain. Misalnya, tentang tertangkapnya ia oleh musuh. Dan hanya saja kemudian mendekam selama empat bulan di penjara hingga dilepaskan, awal 1942. Konon, Marcos sempat pula dipaksa melakukan long march maut di Tarlac, yang banyak menelan korban jiwa. "Waktu itu, orang sangat mudah patah semangat, lalu berbaring, dan tidur selamanya," tulis Marcos. Ia tercatat mendapat 27 medali jumlah terbanyak yang diterima pahlawan Filipina -- dan pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Tentu saja tak semua orang percaya pada cerita yang lebih mirip skenario film Rambo ini. Terutama, setelah wartawan koran The New York Times melakukan pelacakan ke biro arsip militer AS di Washington. Berdasarkan pelacakan itu, awal bulan lalu, ditemukan dokumen resmi yang menyatakan Marcos tak punya peran besar dalam perang melawan Jepang. Bahkan ia dituduh memimpin sekelompok gerilyawan yang lebih sering merampok rakyat jelata, ketimbang bertempur melawan Jepang. Tahun 1946, Marcos menerima ajakan Presiden Manuel Roxas untuk menjadi asisten khususnya. Sejak itu, ia mulai tertarik pada politik. Tiga tahun kemudian ia mencalonkan diri sebagai anggota Parlemen. "Pilihlah saya sebagai anggota Parlemen sekarang, dan saya janjikan akan ada presiden asal Ilocos dalam 20 tahun," katanya ketika berkampaye pertama kali. Ia berhasil memenangkan lebih dari 70% suara, dan terpilih ulang selama tiga kali (1949- 1959). Ketika menjadi wakil rakyat inilah Marcos berkenalan dengan Imelda Romualdez, di kantin Parlemen pada 1954. Waktu itu, Imelda, yang berpakaian sederhana dan asyik makan kuaci -- sedang menyimak pidato pamannya, yang menjadi juru bicara Parlemen. Marcos, saat itu 36, langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Imelda. Ia tak peduli gadis idamannya berasal dari kubu lawannya dan suku lain. Marcos berasal dari Ilocos Norte, dan wakil Partai Liberal, sedangkan keluarga Imelda dari Visayan yang dikenal merupakan daerah saingan Ilocos, dan mewakili Partai Nacionalista. Tak heran kalau, pada awalnya, Imelda tidak mengacuhkan pendekatan Marcos. Tapi, setelah rayuan intensif 11 hari, Imelda menyerah. Dua minggu kemudian, 1 Mei 1954, keduanya menikah di Manila. Presiden Ramon Magsaysay mengundang 3.000 tamu di Istana Malacanang untuk merayakan perkawinan ini. Sejak pernikahan itu popularitas Mercos memang semakin meningkat. Ia dengan mudah terpilih sebagai anggota Senat pada 1959, dan empat tahun kemudian menjadi ketua majelis itu hingga 1965. Menurut beberapa pengamat politik, sebenarnya Marcos bisa terpilih menjadi Presiden Filipina dalam Pemiiu 1961. Tapi, waktu itu, ia diminta mengalah kepada Macapagal, karena pendukung Partai Liberal khawatir kekuatan mereka akan terpecah bila Marcos ikut mencalonkan diri. Harap diingat, di Filipina rakyat memilih orang, bukan partai. Pada pemilihan presiden 1965, Marcos maju, dan menang. Ia menang mudah karena dapat dukungan dari kaum superkaya Pasalnya, para cukong ini tak menyukai Macapagal, yang melakukan kampanye antikorupsi dan antisuap secara besar-besaran selama ia berkuasa. Marcos, yang belajar dari kegagalan Macapagal, begitu berkuasa segera merangkul para pemilik modal dengan menggalakkan usaha mereka di bidang pertanian, industri dan pendidikan. Strateginya ternyata tepat. Terbukti pada Pemilu 1969, Marcos terpilih kembali. Ia adalah Presiden Filipina yang pertama berkuasa lebih dari satu kali masa jabatan. Tetap bekerja sama dengan para cukong, bulan madu Marcos dengan pengusaha besar itu bukan tak menimbulkan masalah. Penguasaan daerah pertanian oleh cukong-cukong mengakibatkan semakin lebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin. Tak heran bila kegiatan komunis di kalangan petani pedesaan mendapat lahan subur. Maka, para pengusaha membentuk satuan pengawal bersenjata. Dan lahirlah pasukan-pasukan pribadi. Kehadiran orang-orang bersenjata ini memperburuk keadaan di Filipina. Penembakan dan kekerasan muncul, terutama di pusat-pusat kota. Pihak militer sering mengeluh lantaran kurang memiliki kekuasaan untuk mengatasi kerusuhan sementara pihak legislatif tak mau memberi kekuasaan itu, karena khawatir adanya militerisasi. Akhirnya Marcos mengambil sikap. Setelah membekukan lembaga Praperadilan, yang dianggap merepotkan petugas keamanan, Marcos memberlakukan UU Darurat pada 21 September 1972. Mulanya UU ini disambut hangat. Sebab, dengan "senjata" itu pihak militer dapat kewenangan melucuti lebih dari setengah juta pucuk senjata api dari para pengawal pribadi, dan hampir 150 gang bersenjata dibubarkan. Kriminalitas menurun drastis, dan setahun kemudian, untuk pertama kalinya, Filipina mencapai swasembada beras. Juga neraca perdagangan luar negeri, untuk pertama kali, mengalami laba. Tapi kemudian keadaan bertambah buruk. Pemberontakan Moro di Filipina Selatan meletus, dan mencapai puncaknya pada 1974. Keadaan ini baru dapat diatasi setelah diadakan perundingan dengan gerilyawan Islam tersebut di Tripoli, Libya, 1976. Dan ketika harga minyak naik, ekonomi Filipina babak belur kembali. Ini membuat gerilyawan Komunis, NPA (New People's Army), semakin berkembang sejak 1979, bersamaan dengan meningkatnya kegiatan gerilyawan Moro. Untuk membayar kesetiaan para pengikutnya, agar dirinya tetap bertahan, Marcos memberikan hak-hak istimewa di bidang bisnis bagi mereka. Koran-koran yang dibreidel, misalnya, diberikan kepada konco-konconya. Demikian pula hak monopoli gula dan lainnya. Sementara itu, untuk menghibur rakyat, ia memberlakukan UU Landreform -- dan yang terkena tuan-tuan tanah yang anti-Marcos. Akibat monopoli, ekonomi negara semakin hancur, sehingga pemerintah terpaksa mengemis pada negeri-negeri maju. Terakhir utang luar negeri Filipina tercatat US$ 25,6 milyar. Marcos makin tak populer, dengan pengangkatan keluarga sebagai pejabat. Imelda, misalnya, diangkat jadi Gubernur Manila, dan Marcos Jr. (Bong Bong) sebagai Gubernur Ilocos Norte. Bahwa Marcos masih tetap bertahan, agaknya, karena kekuatan oposisi tak bersatu. Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa pembunuhan bekas Senator Benigno Aquino pada Agustus 1983 terjadi saat Marcos, yang disebut-sebut terlibat sebagai dalang, dikabarkan sakit gawat. Peristiwa itulah yang menyebabkan kaum oposisi bersatu, dan kemudian mampu menggulingkan Marcos. Padahal, Cory Aquino sebenarnya bukanlah tokoh oposisi yang kuat, demikian juga Salvador Laurel, terutama bila mereka sendiri-sendiri. Di sinilah siasat Marcos memaksakan pelantikan dirinya sebagai presiden terpilih oleh Parlemen, sebelum jatuh, jadi punya arti. Sebab, bila Cory tak mampu menjaga kerukunan dengan rekan seperjuangannya, siapa lagi yang paling sahih menyatakan diri Presiden selain yang diangkat oleh Parlemen? Tapi, ia, salah hitung. Rakyat, terutama di Manila, tak bisa menerimanya sama sekali. Juga militer. Dan juga kekuatan yang selama ini mendukungnya dari luar: Amerika Serikat. Orang luar biasa pun punya akhir -- yang sayang tak bisa ia siapkan sendiri. Bambang harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini