PERSIS di depan gerbang utama Istana Malacanang, Selasa menjelang tengah malam, petasan berdentam-dentam. Massa mulai berdesak-desak. Saat paling bersejarah itu "meledak" ketika orang-orang berangsur memanjat pintu gerbang, dan tembakan peringatan sudah tidak mempan lagi menggertak mereka. Tapi yang dicari sudah angkat kaki. Helikopter yang membawa Ferdinand Marcos dan keluarga sudah bertolak pukul 21.10 dari pekarangan Istana Jenderal Fidel Ramos baru memberi kepastian tentang ini satu jam kemudian. Dalam tempo beberapa menit, massa sudah menyemut di pekarangan Malacanang. Sejumlah kecil tentara yang tersisa di Istana sudah tak berdaya sama sekali mengendalikan arus manusia yang bergerak bagaikan lahar letusan gunung berapi itu. Semula mereka masih berusaha menahan gerak massa dengan alasan areal tertentu mesti diamankan untuk helikopter Jenderal Ramos. Tapi rakyat tidak peduli, dan Ramos ternyata tidak muncul. Selang beberapa menit, di dekat pintu gerbang utama, beberapa demonstran tampak menyeret seorang remaja laki-laki tanpa baju. "Hindi Ako, Hindi Ako, (bukan saya)," teriaknya parau. Tapi orang tak mengacuhkannya. Lelaki yang disangka pendukung Marcos itu dipukuli kcpala dan badannya oleh rakyat sehingga berlumuran darah. Tak tahu juga bagaimana nasib remaja itu selanjutnya. Mungkin juga sudah mati. Pukul 23.00, rakyat yang menembus lewat Jembatan Mendiola sudah bergabung dengan kelompok yang masuk melalui jalan belakang Istana -- diperkirakan jumlah mereka seluruhnya 20.000 orang. "Cory, Cory, Cory, teriak mereka sambil berlari menuju ke gedung administrasi Istana. "Malaya Na Tayo (kita semua bebas)." Kebanyakan mengenakan kaus oblong kuning bergambar Cory, menaiki tank, lalu memutuskan rentengan pelurunya, dan membagi-bagikannya kepada massa. "Nanalo Tayo (kita menang)," teriak mereka dari tank. Untuk pertama kali dalam tempo 20 tahun Malacanang "diserbu" justru ketika Pasukan Pengawal Presiden (PSC) sudah tidak lagi berada di situ -- dua batalyon PSC, yang terdiri dari satuan angkatan darat, marinir, serta polisi, telah hengkang ke kesatuan masing-masing beberapa jam sebelumnya. Memang ada beberapa loyalis pro Marcos yang berusaha mempertahankan "benteng" ini, tapi sia-sia. Sekalipun begitu, mereka tetap saja mengacungkan dua jari berbentuk V (Victory) -- simbol penguasa yang sudah melarikan diri itu. Ke mana Marcos? Menurut sumber TEMPO di Manila, Marcos dan keluarga serta sekitar 30 pengikutnya meninggalkan Malacanang sekitar 9.20, dengan dua helikopter Sikorsky milik Angkatan Bersenjata Filipina. Info lain mengatakan helikopter ini dikirim oleh pasukan AS. Sedangkan pengikut Marcos meninggalkan Istana dengan menggunakan kapal lewat belakang Istana mengikuti Sungai Pasig, menuju Panti Perwira AB, yang terletak di samping Tamar Rizal. Dari situ mereka dipindahkan ke Kedutaan Besar AS yang terletak beberap ratus meter dari sana, lalu dibawa ke pangkalan Clark, pangkalan Angkatan Udara di Kota Angeles, sekitar 120 km utara Manila, dan di situ bergabung dengan Marcos. Sedangkan Jenderal Fabian Ver, tangan kanan Marcos, menurut sumber itu, meninggalkan Manila sekitar 16.30-17.00 Selasa dengan pesawat jet eksekutif, entah ke mana. Menit-menit pertama setelah masuk bangunan Malacanang, massa yang umumnya tidak mengenal peta Istana berkumpul pada bangunan samping, yang selama ini mungkin berfungsi sebagai kantor. Mereka mencoba masuk dari situ, tapi pintu-pintu tertutup rapat. Tiba-tiba dari sebuah pojok, seorang pcmuda berjingkrak-jingkrak memperagakan penemuannya, yang tak lain adalah serenteng panjang peluru tajam. Suasana tampaknya mulai panas, tapi segelintir tentara yang berada di sana tidak berbuat apa-apa. Bahkan ketika massa berlarian ke bangunan utama mereka juga diam saja. Dalam tempo sekejap, Malacanang sudah dikuasai massa pendukung Cory. Berdiri di pentas, yang pada siang harinya digunakan untuk upacara pelantikan Marcos, anak-anak muda itu berdiri rapat bergandengan tangan dan meneriakkan yel-yel: "Cory-Doy, Cory-Doy". Sementara itu, beberapa pemuda lainnya memasang poster kuning bergambarkan kedua tokoh oposisi itu di terali balkon. Gambar-gambar Marcos dan Imelda dicopot dari dinding, lalu dibanting berkali-kali. Upacara pelampiasan kemarahan ini disambut massa dengan sorak-sorai. Sementara itu, beberapa demonstran berusaha menyelinap ke satu-satunya ruangan di situ yang pintunya tidak tertutup. Tanpa dapat dicegah, mereka membongkar lagi, lalu menghamburkan isinya ke meja, seolah-olah sedang mencari dokumen penting. Banyak kertas bertaburan, sebagian besar stiker Marcos-Tolentino, yang dibikin untuk kampanye pemilu 7 Februari lalu. Ada buku kumpulan pidato Marcos pada 1970-an, ada pula sepatu bertumit tinggi, yang oleh penemunya dianggap sebagai kepunyaan Imelda. Ruang itu berantakan dalam sekejap, tapi pada detik-detik kegembiraan ini belum ditemukan sesuatu yang bisa dikatakan cukup berharga. Pada saat massa berduyun masuk Malacanang, dan memencar ke segala arah, kuat dugaan kesempatan dimanfaatkan orang-orang Istana menyelinap keluar. Orang memang tak begitu peduli, apalagi ada desas-dcsus tentang ranjau yang ditanam di seantero pekarangan Istana. Tidak heran jika massa lebih banyak memperhatikan keselamatan mereka sendiri, ketimbang menyigi wajah penghuni Istana yang lari. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, penguasa baru mendatangkan polisi penjinak bom untuk menghindarkan massa dari kepanikan. Pada saat yang sama dari jendela di lantai dua bangunan utama, sejumlah pemuda menaburkan guntingan kertas ke bawah. Kemudian mereka mengacungkan jari berbentuk L -- yang berarti Laban (lawan), simbol partai oposisi. Seakan ikut memeriahkan pesta, bantal-bantal juga dilemparkan ke bawah. Tapi pertunjukan ini cepat membosankan, dan massa lalu mengalir ke sasaran lain. Sekitar tengah malam seluruh pelosok Istana, sampai ke pojok-pojok yang gelap sekalipun, sudah dijarahi massa. Mereka ternyata tidak menemukan hal-hal yang luar biasa, karena Istana yang berbentuk L itu, semua pintunya, sesuai dengan perintah Jenderal Ramos, ditutup rapat, bahkan tirai sedikitpun tidak tersingkap. Banyak yang berusaha mengintip dari celah-celah, tapi tanpa hasil. Persis di bangunan tengah, yang diterangi banyak lampu hias, pengawalan oleh massa Cory justru lebih ketat. Kuat dugaan, ruangan inilah yang ditempati keluarga Marcos. Dan memang di situ massa menemukan sebuah kamar, diduga kamar ganti Imelda, karena di lemari yang ditutupi cermin dijumpai ratusan baju sutera halus, sebuah keranjang besar luber dengan sabun bikinan luar ncgeri, ratusan botol parfum mahal buatan Prancis, yang semuanya ditinggalkan begitu saja. Sementara itu, di ruang makan berhamburan makanan sisa di peralatan yang terbuat dari perak. Terlihat pula berjejer televisi berukuran layar lebar, peralatan stereo, dan kulkas berisi makanan kaleng serta buah-buahan impor dari AS. Tidak semua bukti kemewahan Marcos terlihat, karena sebagian besar tersembunyi di balik tirai tebal dan pintu tertutup. Lagi pula, kekayaan orang kuat Filipina itu diperkirakan US$ 3 milyar, hampir seluruhnya berada di luar negeri, begitu pula benda-benda seni yang tergolong amat mahal. Apa yang tertinggal di Malacanang, selain baju-baju dan sedikit perabot rumah tangga, hanya sebuah perpustakaan penuh buku dan ruang konperensi pers "maharlika", yang hampir tidak ada apa-apanya. Sekalipun begitu, rakyat tidak ambil pusing. Seorang wanita dengan wajah cerah mengepit satu rim kertas dan buku memo presiden. "Ini bisa saya gunakan untuk keperluan sendiri," ujarnya terus terang. Ada pula yang mencabut pohon palem sebagai "kenang-kenangan dari Malacanang". Lalu ada wanita muda, bersama suaminya barangkali, berkeliling Istana dengan sebatang pohon anggrek tanpa bunga, tapi jelas diambilnya di sekitar situ juga. Kemudian ada yang mengorek-ngorek tong sampah dcngan sebatang kayu tanpa berhasil menemukan apa-apa, kecuali kaleng, botol, plastik, dan kertas bekas. Ketika bangunan Istana yang disebut museum akhirnya dibuka petugas, orang pertama yang masuk ke sana bukan rakyat, tapi wartawan. Oleh petugas mereka diperbolehkan naik ke lantai dua, sementara rakyat hanya diizinkan melongok di sekitar pintu. Mereka memang tidak berusaha melangkah ke dalam, apalagi merusakkan atau mencuri barang-barang. Di museum yang lebih mirip gedung mewah itu, terpajang porselen, lukisan, dan perabot antik pilihan Imelda. Reaksi massa melihat itu pada umumnya datar, bahkan sesudah lewat satu jam, banyak yang mulai tidak peduli. Mungkin juga karena lelah dan mengantuk, para demonstran itu kemudian duduk bergerombol di pekarangan, bahkan ada yang berbaring seenaknya. Malacanang tiba-tiba berubah menjadi Taman Luneta dengan suasana campur aduk: pasar malam dan piknik yang bercampur baur dengan sentimen politik . Serbuan ke Malacanang malam itu ada yang punya arti tersendiri bagi massa. Sepasang suami-istri setengah baya melangkah santai ke situ sekadar untuk "melihat-lihat suasana peninggalan Marcos". Ada pula ayah dengan dua anaknya yang masih kecil khusus datang untuk menyaksikan sendiri "momen-momen bersejarah itu". Tapi banyak pula yang menghayati perlstiwa malam itu sebagai "kemenangan rakyat". Ketika kelompok pendukung Cory menyanyikan lagu patriotik Bayar Ko, mereka berdiri tegak dengan lengan teracung dan tangan mengepal. Suasana khidmat itu memberi arti lain bagi "pasar malam" tersebut, terutama karena ada nyala obor di kegelapan dan patung Maria dibawa naik ke pentas, yang beberapa jam sebelumnya digunakan untuk upacara pelantikan Marcos. Dalam suasana bergalau, wartawan lokal dan asing menyusup ke segala arah. Mungkin sama dengan rakyat, mereka mencari sensasi, tapi yang ditemukan hanya sebuah antiklimaks. Di Malacanang tidak ada huru-hara, tidak ada perampokan harta benda, tidak ada ranjau dan ledakan. Yang ada hanya totalitas kegembiraan dalam ekspresi yang berbeda-beda. Ketika reporter jaringan tv AS, ABC, bersiap-siap melaporkan situasi itu langsung ke Amerika -- dengan kamera terarah kepadanya -- tiba-tiba saja massa sudah berkerumun dan berjingkrak di sekitarnya. Awak tv itu terpaksa menyingkir ke tempat yang lebih aman. "Anda lihat, seluruh dunia memandang kepada kami, kepada Filipina," kata seorang wanita dengan senyum bangga. Dia benar. Seluruh dunia telah menyaksikan satu revolusi yang digerakkan oleh kelas menengah kota, dan mereka kini mencatat bahwa apa yang disebut sebagai Revolusi Confetti, berhasil juga pada akhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini