Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terobosan itu sudah terjadi

Wawancara tempo dengan menlu ali alatas tentang persiapan & berjalannya pertemuan informal jakarta (jim), hambatan serta prospeknya. jim telah berhasil membuat suatu terobosan psikologis dan politis.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENAKAN hem lengan pendek, bersandal santai, Menlu Ali Alatas tengah sibuk mengatur kamar kerjanya yang baru di kompleks perumahan menteri di Jalan Gatot Subroto, Jumat malam lalu. Istrinya, Junisa Alatas, tampak sibuk menandatangani kartu anggota Dharma Wanita semua kedutaan RI. Puluhan kardus berisi barang-barang rumah tangga masih tergeletak di ruang dalam yang masih serba kosong. "Maaf, suasananya masih serba berantakan," kata Ny. Junisa. Keluarga Alatas rupanya baru secara resmi mendiami rumah menteri pada hari Minggunya. Tapi JIM 'kan tidak berakhir berantakan Ali Alatas, yang 4 November tahun ini genap berusia 56 tahun, tertawa mendengar komentar TEMPO. Mengajak duduk di meja makan, Menlu Alatas lalu bicara panjang lebar tentang persiapan dan berjalannya JIM, hambatan dan prospeknya. Berikut ini adalah petikan wawancara Menlu Alatas dengan Fikri Jufri dari TEMPO: Beberapa pengamat mengatakan hasil JIM di luar dugaan. Puaskah Anda? Saya beranggapan hasilnya cukup lumayan. Sebab, JIM tak lain adalah suatu kerangka pendekatan yang didasarkan pada Kesepakatan Kota Ho Chi Minh, untuk mencari penyelesaian konflik Kamboja. Kerangka itu disusun, karena dapat dikatakan, segala usaha yang dilakukan untuk mengajak pihak-pihak yang berperang bisa berunding selalu gagal. Menurut Anda, apa sebenarnya biang kegagalan itu? Kegagalan itu bersumber pada dua kontradiksi dasar. Pertama, kontradiksi mengenal persepsi inti persoalan. Kedua, yang sedikit banyak mengalir dari kontradiksi yang pertama, ialah terjadi hubungan yang konfrontatif, bahkan saling tidak mengakui, antara kedua pihak yang bertikai. Pihak Koalisi, ASEAN, dan bahkan 117 negara anggota PBB, berpendapat inti persoalannya adalah agresi dan pendudukan tentara Vietnam di Kamboja, yang dengan dalih apa pun tak bisa dibenarkan menurut hukum dan tata krama internasional. Persepsi lain dari Vietnam dkk. beranggapan, mereka memasuki wilayah Kamboja bukan dengan kekerasan, tapi karena diundang oleh salah satu pihak yang berperang, untuk melawan suatu rezim yang sangat kejam, yang membunuhi rakyatnya sendiri. Itu pula sebabnya Vietnam selalu menolak diajak berunding. Dia menolak karena dianggap terlibat, dianggap agresor. Tapi kalau Vietnam diberi suatu jalan keluar, dia mau bicara. Toh Kesepakatan Kota Ho Chi Minh, yang membuat Vietnam mau diajak berunding, berjalan tersendat-sendat. Mengapa? Begini. Peran Indonesia sebagai interlocutor sebenarnya sudah cukup cerah untuk melaksanakan suatu pertemuan. Untuk mengajak pihak-pihak yang berperang berunding di satu meja. Tapi waktu itu datang inisiatif Pangeran Sihanouk. Dan Sihanouk yang sebelumnya sudah menyatakan melepaskan diri sebagai pemimpin Koalisi, dan mengambil cuti panjang di Paris, sekonyong-konyong mengatakan: 'Saya mau bicara dengan Hun Sen. Waktu dan tempatnya dan saya atur.' Bagi Indonesia dan ASEAN, tak ada jalan lain, kecuali menerimanya. Bagaimanapun, Sihanouk memainkan peran kunci. Kalau dia beranggapan bisa mencapai suatu jalan keluar bersama Hun Sen, silakan. Ali Alatas tak mau bicara banyak ketika ditanya tentang pertemuan Sihanouk-Hun Sen yang berlangsung dua kali, Desember dan Januari lalu. Tapi yang pasti, setelah pertemuan terakhir antara dua pemimpin Khmer itu, orang tak lagi bicara tentang supaya mencari penyelesaian konflik Kamhoja. Usaha itu baru kembali terdengar setelah Ali Alatas berkunjung ke lima negara ASEAN, untuk memperkenalkan diri sebagai menlu yang baru, akhir Maret lalu. Kunjungan itu rupanya dimanfaatkan untuk melanjutkan upaya RI sebagai interloctor. Alkisah, Menlu Muangthai Sidhi Savetsila, yang pertama kali dikunjungi, tertarik untuk melaksanakan gagasan JIM yang disodorkan Menlu Alatas. Begitu pula para menlu ASEAN yang lain. Mereka agaknya mengerti, bila situasinya dibiarkan mengambang, yang akan rugi adalah pihak ASEAN juga. Lebih-lebih Indonesia, yang sejak Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja menjadi menlu, sudah mencapai hasil yang cukup maju. Jadi, siapa yang pertama kali Anda hubungi setelah timbul angin baru? Pangeran Sihanouk. Ternyata, sambutan dari beliau cukup baik. Demikian pula dari Menlu Nguyen Co Thach, yang kemudian melanjutkan pembicaraan dengan kami sewaktu bertemu di PBB, Nev York. Boleh dibilang, semua merasa antusias untuk diselenggarakannya suatu pertemuan informal, asal saja berdasarkan Kesepakatan Kota Ho Chi Minh. Maka, terobosan pertama boleh dibilang terjadi, sekalipun belum mulus benar. Apa saja yang terasa kurang mulus? Ya, menyangkut antara lain prosedur pertemuan dan tahap-tahapnya. Ada yang bilang ingin mulai langsung dengan tahap kedua, lalu dlteruskan dengan tahap pertama. Ada pula yang beranggapan, cukup dengan tahap kedua saja, dengan semua pihak berkumpul. Ya, saya melihat sebaiknya tahap pertama yang didahulukan, karena yang dibicarakan 'kan soal Kamboja soal keempat kelompok Khmer itu. Maka, biarlah mereka berunding, tanpa ikut sertanya unsur lain. Setelah itu barulah kita berunding bersama, dalam forum yang lebih luas. Namun, tetap dalam batas-batas forum Asia Tenggara. Setelah melalui berbagai perundingan dan perdebatan, akhirnya semua pihak bisa menyetujui diselenggarakannya JIM. Bagaimana Anda sampai bisa mengundang PM Hun Sen? Bukankah RI tak punya hubungan diplomatik dengan PRK? Saya membalik-balik lagi Kesepakatan Kota. Ho Chi Minh. Ternyata, di situ jelas tersurat atas dasar apa ia bisa diundang. Bukan sebagai perdana menteri PRK, tapi sebagai salah satu pimpinan faksi yang bersengketa. Jadi, Menlu Rl menyampaikan undangan kepada Mr. Hun Sen, tanpa embel-embel jabatan, yang disampaikan oleh Dubes RI di Hanoi kepada Dubes PRK di Hanoi. Segalanya tampak berjalan lancar, setelah Menlu Alatas berhasil membujuk Son Sann, pemimpin faksi KPLNF. Juga dengan Khieu Samphan, pemimpin Khmer Merah. Bak pemadam kebakaran, dia sempat pula menyemprot api yang kadang meletup di sana-sini, di antara pihak-pihak yang berperan dalam pentas Kamboja. Tapi, tanpa diduga oleh siapa pun, tiba-tiba saja terjadi suatu letupan besar: Pangeran Sihanouk memutuskan untuk berhenti sebagai Kepala Koalisi, dan memutuskan untuk segera terbang, dan bermukim di Paris. Dia juga menyatakan tak akan ikut serta dalam JIM, dan mengutus putera mahkota Pangeran Ranariddh, sebagai penggantinya. Akan kandaskah JIM sebelum dimulai? Semua mata menengok kepada Indonesia sebagai tuan rumah. Tapi Menlu Alatas ternyata cepat bereaksi, dengan mengeluarkan pernyataan: JIM berjalan terus. Lalu bagaimana sampai Sihanouk, yang terkenal sulit diduga, akhirnya toh memutuskan untuk datang ke Jakarta, sekalipun tak secara langsung ikut berperan dalam pertemuan informal di Istana Bogor. Tersenyum sebentar, Ali Alatas lalu mengatakan, dia segera mengontak Dubes Nana Sutresna di New York. Berbekal petunjuk-petunjuk dan Jakarta, Nana segera terbang ke Paris. Dubes Nana akhirnya berhasil membujuk Sihanouk untuk terbang ke Jakarta. Di luar dugaan, sang pangeran yang flamboyan itu tiba di Jakarta bersama istrinya, Putri Monique, sebagai tamu khusus Presiden Soeharto. "Yang penting, dan membesarkan hati, adalah kedatangan Sihanouk sebelum JIM dibuka," kata Alatas. Apa komentar Presiden Soeharto ketika Pangeran Sihanouk datang? Presiden dari semula telah memberi pengarahan: "Kita membuka kesempatan untuk mereka berunding. Kita telah menemukan suatu kerangka. Maka kita harus memberikan kesempatan, dan menciptakan suasana yang baik kepada mereka untuk menyelesaikan permasalahannya." Menlu Co Thach ketika di Bogor menyatakan akan menarik pasukannya dari Kamboja pada tahun 1990, secara unilateral. Kalau benar, apakah itu akan menyelesaikan masalah Kamboja? Saya kira masalah utamanya belum akan terselesaikan dengan ditariknya pasukan Vietnam. Coba Anda teliti butir keenam pernyataan Ketua Sidang JIM. Di situ jelas disebutkan, ada dua soal utama yang satu sama lain berkaitan. Yakni penarikan pasukan Vietnam yang harus dilakukan dalam kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Dan pencegahan berulangnya kebijaksanaan dan praktek-praktek (poliaes and practices) dari Pol Pot. Di situ letak persoalan yang, selama ini, belum pernah dikemukakan dalam kerangka penyelesaian perang di Kamboja. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Khieu Samphan, yang di akhir sidang masih bersikap alot? Khieu Samphan rupanya sangat keberatan kalau disebutkan kata-kata: mencegah kembalinya rezim Pol Pot. Karena istilah rezim, menurut dia, mengandung implikasi yang luas. Yakni termasuk semua pimpinan Khmer Merah. Itu sebabnya kita mencari istilah yang lebih lunak. Yaitu mencegah berulangnya kebijaksanaan dan praktek-praktek dari rezim Pol Pot. Di sini yang menjadi sasaran adalah kebijaksanaan dan praktek-praktek dari rezim Pol Pot. Jadi, bukan rezim Pol Pot. Toh dia membuat pernyataan di hadapan pers, tanpa tanya-jawab, yang menyerang Vietnam. Ya, menjelang akhir sidang, dia rupanya masih juga belum bisa menerimanya. Tapi dia ternyata tidak menentang konsensus yang telah dicapai oleh JIM. Namun, ia akan membuat pernyataan tadi. Suatu konsensus, sebenarnya, tak usah berarti tercapainya suatu kesepakatan yang bulat. Tapi mengandung nuansa-nuansa dan setiap peserta. Namun, rupanya, Khieu Samphan belum bisa lebih maju dari itu. Orang ingin tahu kenapa JIM tak sampai berhasil menelurkan suatu komunike bersama. Bisakah Anda menerangkan? Sebagai moderator, saya memang berusaha mengeluarkan suatu komunike bersama. Tapi ada suara-suara yang kurang setuju, karena terasa berat untuk suatu pertemuan yang sifatnya formal. Ada benarnya. Lagi pula, di antara para peserta, ada yang bukan menteri, termasuk dari Muangthai. Jadi, mereka mengusulkan agar suatu komunike oleh ketua sidang, dengan persetujuan dari semua peserta. Bobotnya memang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan suatu keputusan bersama. Kalau misalnya Khmer Merah tetap saja sulit diajak berunding, ada pendapat yang mengatakan, tinggalkan saja mereka. Mungkinkah itu? Saya kira ada bahayanya kalau kita bersikap demikian. Mereka akan kembali ke hutan, dan meneruskan perlawanan terhadap pemerintahan baru apa pun yang kelak terbentuk di Kamboja. Tapi kalau Anda menyimak baik-bak Kesepakatan Ho Chi Minh, pihak Koalisi menginginkan agar semua faksi bisa ditampung. Tampaknya, suasana masih diliputi saling curiga: antara Khieu Sampan terhadap Co Thach dan Hun Sen, maupun sebaliknya. Ya, itulah kesulitannya. Banyak hal yang masih perlu dijembatani antara pihak-pihak yang bersengketa. Misalnya? Soal dibentuknya suatu pemerintahan sementara, soal perlu tidaknya dibentuk International Peacekeeping Force, soal perlucutan senjata dari semua faksi, dan sebagainya. Setiap faksi punya pendapat sendiri, yang masih perlu dicarikan titik temunya. Masing-masing mempunyai argumen yang kuat, dilihat dari kepentingannya. Ada satu lagi masalah yang alot: Antara gencatan senjata, ditariknya pasukan Vietnam, dan dibentuknya suatu pemerintahan yang baru di Kamboja. Maka, siapa yang harus mengatur pemilu? Bagi pihak CGDK (Koalisi), yang ideal adalah, bubarkan semua faksi, lalu bersama-sama dibentuk suatu pemerintahan yang terdiri atas keempat faksi, di bawah kepemimpinan Sihanouk, yang memang bisa diterima oleh semua pihak. Tapi pihak PRK tentu tidak akan setuju, karena itu berarti membubarkan semua yang sudah mereka punyai: kabinet-nya, polisi, para gubernurnya, kepala desa, dan aparatur pemerintahannya yang lain. Jalan ke arah penyelesaian masih panjang rupanya. Bukan cuma panjang, tapi juga berliku-liku. Tapi, yang pasti, JIM telah berhasil membuat suatu terobosan psikologis dan politis. Kita sudah berhasil memulai awal suatu proses yang sulit. Dan proses ini tak lagi bisa dicabut kembali. Semua peserta sudah sepakat, menilai JIM sebagai kerangka dan cara terbaik untuk melanjutkan upaya penyelesaian perang di Kamboja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus