BERBENAH ke dalam, itulah yang dilakukan Datuk Sri Mahathir
Mohamad dalam tahun pertama ia menjabat PM Malaysia. Ia
berusaha mempercepat langkah ke arah terciptanya pemerintah yang
bersih, cakap dan terpercaya.
Ciri-ciri serba tertib dan sederhana mewarnai gerak kehidupan di
seluruh Kerajaan itu, menjelang 31 Agustus, hari kemerdekaannya
ke-25.
Contoh mutakhir gaya tertib Mahathir ialah diberlakukannya
larangan merokok di semua kantor Pemerintah, awal Agustus
silam. Larangan itu, katanya, bertujuan mencegah penyakit,
menjamin kebersihan udara dan lingkungan. Terlalu berlebihan?
Tidak, khususnya bagi aparat Pemerintah yang sudah mulai
terbiasa dengan kejutan-kejutan serupa.
Awal Juni silam, Mahathir dan Wakilnya Musa Hitam, bersepakat
mengikhlaskan M$ 1.000 dari gaji bulanannya untuk kepentingan
ekonomi negara. Elok nian! Teladan ini segera diikuti oleh para
Menteri dan Wakil mereka, masing-masing memotong gajinya M$ 500.
Pejabat setingkat di bawah menyumbangkan M$ 250. Menteri besar
di 13 negara-bagian tidak mau ketinggalan, ikut memotong M$ 500
dari gajinya.
Potong-memotong menjalar ke anggaran belanja negara. Sebanyak
12% dipotong sampai Maret 1983, demi mencegah terulangnya sisa
anggaran, akibat perencanaan yang selalu berlebihan. Tindakan
ini secara tak langsung merupakan "teguran" bagi para perencana
di sana.
Bagaikan pedang bermata dua, penghematan dimaksudkan untuk
membersihkan aparat pemerintah sekaligus meringankan beban yang
tiba-tiba menghantam ekonomi Malaysia akibat resesi dunia.
Negara penghasil 45% karet alam dan 37% timah untuk pasar dunia
itu berkelit ke sana-sini, menyelamatkan komoditinya. Tak urung,
dunia timah geger juga (TEMPO, 28 Agustus).
Bersaingan keras dengan AS yang bermaksud melepaskan cadangan
timahnya, Mahathir mengajak negara penghasil timah lainnya
seperti Indonesia, Thailand dan Bolivia untuk keluar dari Dewan
Timah Internasional (ITC) dan membentuk dewan serupa di kawasan
scndiri. Ajakan disambut baik tapi karena satu dan lain hal,
dewan tandingan itu belum akan segera terwujud.
Sebuah konsorsium terdiri dari 7 bank terkemuka di dunia telah
menyetujui pinjaman raksasa US$ 1 milyar untuk Malaysia.
Pinjaman sebesar itu dimaksudkan untuk membiayai berbagai proyek
yang sedang berjalan, disamping mempertinggi kewaspadaan akibat
merosotnya harga karet dan timah. Tapi desas-desus beredar di
kalangan bank Amerika bahwa Malaysia akan menggunakan US$ 500
juta dari pinjaman raksasa itu hanya untuk memantapkan harga
timahnya.
Memang, resesi telah memukul Malaysia hingga untuk pertama kali
terpaksa mengalami defisit dalam neraca perdagangannya.
Sementara hubungan tradisionalnya dengan Inggris terganggu.
Tender Pemerintah Manysia yang biasanya disediakan untuk
kontraktor Inggris sekarang disisihkan untuk kontraktor asing
lainnya. Bahkan Mahathir menolak hadir dalam pertemuan puncak
negara Persemakmuran Inggris karena dianggapnya tidak bermanfaat
bagi Malaysia.
Sikap keras ini erat kaitannya dengan kebijaksanaan "melihat ke
Timur", yang juga buah pikiran Mahathir. Dia berpendapat
sebaiknya Malaysia menimba ilmu lebih banyak ke Jepang dan
Korea, agar bisa maju lebih cepat. Juga agar lebih seimbang,
tidak condong terus ke Barat seperti selama ini. Dari Timur
hendak dipilihnya yang baik-baik saja seperti cara kerja,
disiplin dan loyalitas.
Namun sebelum ilmu Jepang ditimba, Mahathir lebih dulu
mempersiapkan Malaysia. Dengan sikap antikorupsinya di segala
bidang, ia memenangkan kepercayaan rakyat dan memberi kesan
bonafide di kalangan bankir dunia. Pinjaman US$ 1 milyar itu
buktinya.
Dan contoh lain banyak sekali Ketegasannya membatalkan atau
menunda proyek yang tidak perlu, mengurangi kegiatan seminar,
membatasi pemakanian telepon dan perjalanan para pegawai,
menghentikan pinjaman untuk mobil baru atau pembesaran rumah.
Penghematan begini tampaknya akan berjalan terus sampai bencana
resesi lenyap. Sebaliknya proyek yang menguntungkan rakyat
banyak seperti pengendalian banjir Kuala Lumpur dan investasi
yang dilakukan HICOM (Heavy Industries Corporation of Malaysia)
diteruskannya.
Datuk Asri Muda, Ketua PAS Partai Islam se-Malaysia) mengakui
adanya langkah maju yang diprakarsai pemerintah Mahathir
walaupun tujuan masih jauh. Lee Lam Thye (Wakil Sekjen Palal
Aksi Demokratik) melihat adanya perubahan positif di kalangan
administrasi tapi secara keseluruhan masalah besar seperti
"kesatuan nasional, penindasan kelas dan keadilan" masih belum
terjangkau.
Dr. Chandra Muzaffa, dosen pada Universitas Sains Malaysia,
sebaliknya belum yakin korupsi berhasil diberantas tanpa
perubahan mendalam pada sistem ekonomi, UU dan pendidikan. Prof
Syed Husin Ali berpendapat rendahnya pendapatan rakyat hanya
bisa diatasi bila Malaysia tidak lagi tergantung pada negara
maju.
Mahathir, seorang intelektual, terbuka untuk semua kritik.
Dengan rendah hati ia berkata, "Meskipun rakyat tidak
menunjukkan rasa hormat mereka pada kami, setidaknya mereka
memperhatikan kami."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini