AKSI militer Israel sungguh sudah berhenti di Beirut, dan memang
tak tampak lagi di layar televisi. Siaran televisi tiap malam
nyatanya mulai beralih ke soal evakuasi pejuang Palestina (PLO)
di bawah pengawasan satuan marinir Amerika, pasukan komando
Italia dan Prancis.
Sesuai dengan persetujuan, karya Philip Habib, evakuasi itu
sejak 21 Agustus berlangsung secara bergelombang melalui jalan
laut maupun darat. Habib, utusan khusus Presiden Ronald Reagan
-- yang selama ini menjadi perhatian dunia atas usahanya
memulihkan perdamaian -- kini beristirahat. Hasil misinya
ialah sekitar 7.000 pejuang Palestina dipencarkan ke delapan
negara.
Di Libanon, "mereka dulu bagaikan satu tinju yang kekar tapi
kini kepalan tangan itu terbuka dan jari-jarinya merenggang."
Begitu terbaca dalam harian New York Times, yang melukiskan
betapa PLO kini berantakan.
Tapi pejuang Palestina itu meninggalkan Beirut dengan tetap
bersemangat, seakan-akan dalam kemenangan. Dan di tempat tujuan,
mereka disambut secara meriah pula. Evakuasi pertama PLO ke
Suriah, misalnya, disambut oleh PM Abdul Raouf al-Kasm di
pelabuhan Tartus. Kemudian evakuasi terbesar (1.500 orang)
menyusul lewat jalan raya Beirut-Damaskus pekan lalu.
Selalu mereka memajang foto Yasser Arafat, pemimpin PLO, di
mana-mana. Arafat pernah berpesan, "Sebelum saya kembali ke
tanah air Palestina, tiap negara Arab untuk sementara menjadi
tanah airku dan bangsaku." Tapi tempat tujuan sementara bagi
Arafat sendiri belum jelas. Semula diberitakan ia akan ke
Damaskus, kemudian ke Riyadh untuk konsultasi dan kunjungan
belasungkawa pada Raja Fahd. Dari sana Arafat diberitakan akan
pergi ke Tunisia, tempat ia bermarkas. Konon ia memilih Tunisia
karena di sana juga ada kantor pusat Liga Arab.
Presiden Tunisia Habib Bourguiba direncanakan akan menjadi tuan
rumah KTT Liga Arab dalam September ini, dengan harapan
menelurkan strategi perlawanan Arab terhadap Israel. Negara
anggota Liga Arab umumnya "alpa" membantu PLO selama terkepung
di Beirut Barat. Dalam keadaan kekuatan PLO yang berserak di
mana-mana, KTT Liga Arab diduga terutama akan memikirkan jalan
diplomasi, bukan konflik bersenjata, untuk Palestina. Dan Arafat
sudah terbayang akan banyak berperan sebagai diplomat keliling.
Sementara itu gagasan Bourguiba, menurut berita, cenderung
mengusulkan suatu rencana pengakuan pada Israel dalam konteks
resolusi PBB tahun 1947, yang menghimbau pemisahan Palestina
atas dua negara: Israel dan Palestina. Bourguiba tampak
mengikuti jejak Mesir.
Dan justru karena mengakui Israel dengan persetujuan Camp David,
Mesir telah dilarang menghadiri sidang Liga Arab sejak 1978.
Tapi, sebelum KTT di Tunis yang direncanakan 6 September,
pertemuan para menlu Arab di Mohammedia, Maroko, konon membahas
kemungkinan Mesir diterima kembali di Liga Arab.
Bersikap moderat dari semula, Bourguiba pernah melancarkan
gagasan serupa dalam suatu pidato tahun 1965. Akibatnya,
sejumlah negara Arab memutuskan hubungan dengan Tunisia. Kini
suatu prestise bagi Bourguiba dan Tunisia (berpenduduk 6,4 juta)
dengan adanya KTT nanti.
KTT Arab terakhir, November lalu menemui jalan buntu karenca
rencana delapan pasal yang diajukan oleh Arab Saudi. Isinya
antara lain menghimbau agar dibentuk satu negara Palestina
merdeka dalam wilayah Tepi Barat dan Gaza (kini diduduki
Israel), dan hak semua bangsa di Timur Tengah (termasuk Israel,
menurut tafsiran orang) hidup berdamai.
Apakah gagasan Saudi itu diajukan lagi? Atau gagasan Bourguiba,
suatu alternatif, akan laris? Jawabannya, menurut Sekjen (Liga
Arab) Chadli Klibi, tergantung pada seberapa jauh Amerika
Serikat bisa menekan Israel supaya negara Palestina menjadi
kenyataan.
Israel diketahui masih menolak gagasan negara Palestina di
wilayah yang kini didudukinya. Dan Israel tetap mencurigai PLO,
yang dituduhnya organisasi teroris. Apalagi sesudah evakuasi PLO
dari Beirut, menurut suatu poll pendapat umum di Israel,
popularitas PM Menachem Begin semakin naik.
Sebelum meninggalkan Beirut, PLO membuat Israel lebih geram
pekan lalu ketika senjata berat milik PLO -- seperti artileri,
peluncur roket dan tank jatuh ke tangan golongan kiri Libanon.
antara lain kaum Nasserit. Seharusnya semua itu diserahkan pada
tentara Libanon. Tapi PLO tampaknya tak ikhlas memperkuat posisi
Bashir Gemayel (lihat Gemayel, Boneka Israel?).
Presiden Libanon terpilih itu, menurut laporan wartawan TEMPO
Mustafa Helmy dari Damaskus, tidak mendapat dukungan kelompok
minoritas Islam Dulu dikenal sebagai pejuang jalan raya dengan
pasukan Phalangis membasmi lawan politiknya, Gemayel kini
dikhawatirkan akan berlaku keras terhadap mereka yang pernah
mendukung PLO dan tentara Suriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini