DARI kaca-mata Amnesty International yang berpusat di London,
pemerintah Singapura tergolong kejam terhadap tahanan politik.
Di sana rupanya hak asasi diperkosa, seperti adanya penahanan
terhadap orang tanpa dibawa ke pengadilan dan tanpa batas waktu.
Dalam suatu laporannya setebal 60 halaman yang baru saja
tersiar, AI membeberkan berbagai fakta tentang kekejaman
pemerintah Singapura. Antara lain diungkapkannya kasus Ho Piao,
tokoh Organisasi Pelaut Nasional yang sudah dibubarkan. Ho
ditahan sejak tahun 1963 dan tak pernah dibawa ke pengadilan.
Selama ditahan, demikian Ho bercerita kepada pengacaranya Mei
lalu, dia mengalami pemeriksaan secara maraton. Bahkan
kadang-kadang pemeriksa menempatkan Ho dalam sebuah kamar ber-AC
yang cukup dingin dan kemudian menyiraminya dengan air dingin.
Tak hanya sampai di situ. Berbagai pukulan pun melayang ke
tubuhnya termasuk di bagian yang terlarang.
"Siksaan mereka membuat tubuh saya terasa seperti mayat," kata
Ho. Waktu itu, Desember 1978, dia ditahan di Pusat Tahanan,
Jalan Whitley. Selama 4 hari secara terus menerus Ho mengalami
siksaan yang luar biasa. Menurut dia, para pemeriksa telah
memaksa supaya matanya terus terbuka sehingga dia tidak bisa
tidur, sedang kupingnya ditutup agar tak mendengar.
Secara berulang-ulang Al telah meminta perhatian pemerintah
Singapura terhadap masalah tahanan politik. Termasuk nasib Dr.
Lim Hock Siew dan Said Zahari. Keduanya telah ditahan selama 17
tahun karena dituduh terlibat kegiatan komunis. Dr. Lim pada
tahun 1978 dikeluarkan dari penjara tapi diasingkan di Pulau
Tekong Besar, sebuah pulau kecil di selat antara
Malaysia-Singapura. Sedang Said Zahari bekas redaktur Utusan
Melayu, diasingkan di Pulau Ubin. Namun akhir Agustus 1979,
Zahari diizinkan pulang dengan status tahanan rumah.
Dengan status itu Zahari yang juga penyair tidak diperkenankan
untuk berhubungan dengan orang-orang yang pernah ditahan
berdasarkan UU Darurat. Dia juga tidak dibolehkan mengambil
bagian dalam kegiatan politik, bahkan dilarang memberi ceramah
dalam pertemuan kebudayaan.
Namun dalam laporan itu, AI juga mengakui bahwa dari segi jumlah
tahanan politik -- yang diperkirakan hanya 50 orang -- Singapura
termasuk kecil bila dibanding dengan yang ada di negara ASEAN
lainnya. "Bila pemerintah merasa menghadapi semakin besarnya
kritik yang dilancarkan mereka yang berpengaruh seperti pembela,
mahasiswa dan wartawan, reaksinya sering sekali berupa penahanan
terhadap individu," demikian AI.
AI mencatat bahwa dari segi tingkat hidup rakyat, Singapura
tergolong yang kedua setelah Jepang di Asia. Bahkan program
perumahan dan kesejahteraan rakyat di republik itu sudah
mendapat pujian internasional. Yang jadi masalah, kata AI,
Singapura sebenarnya tidak menghadapi secara serius keresahan di
dalam negerinya sejak negara itu merdeka pada tahun 1963. Suatu
pertanyaan, memang.
PM Lee Kuan Yew pernah membela tindakan pemerintahnya sebagai
usaha untuk menjaga stabilitas demi kelangsungan hidup
Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini