Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dengan NIP Tanpa Gaji

Masih kurang, tapi di purwodadi banyak yang diberhentikan.(dh)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALIM bin Kashuri, sehari-hari mengajar agama di Madrasah "Miftahul Huda", Kuripan, Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah. Gajinya sebagai tenaga honorer Rp 1.500 sebulan. Untuk memenuhi kebutuhan istri dan 2 anaknya, pak guru ini tak segan-segan kerja sambilan sebagai tukang batu. Atau sebagai buruh tani di musim panen. Ia tak punya sawah. Diangkat akhir 1967, Salim baru menerima perintah tugas 3 tahun kemudian. Dan meskipun ia juga pernah mengisi daftar ulang pegawai negeri sipil (1974), menerima NIP (Nomor Induk Pegawai) dan diangkat sebagai pegawai negeri golongan BB/II waktu itu (sekarang I-a), tapi ia tak pernah menerima gaji tetap. Usul Salim untuk mencairkan gaji kepada Kanwil Departemen Agama Ja-Teng, 1976 gagal. Toh ia tetap setia berdiri di depan kelas. "Digaji atau tidak tugas. saya memperjuangkan agama Islam," kata Salim (30 tahun), tamatan Madrasah Tsanawiyah (SLP) yang juga pernah 4 tahun mengaji di sebuah pesantren. Di Jakarta, sementara itu terdengar keterangan Menteri Agama Haji Alamsjah Ratu Perwiranegara bahwa setiap tahun pemerintah selalu mengangkat guru agama (Islam) baru tapi belum juga memenuhi kebutuhan yang selalu meningkat. Hal itu diungkapkannya di depan Komisi IX (Pendidikan) Rabu pekan lalu. "Akibatnya masih banyak guru agama yang honorer atau mengajar sukarela. Tapi ini juga menunjukkan betapa besar dedikasi mereka," tambah Alamsjah. Cuma sayang, ustadz Salim tidak termasuk guru agama yang dibanggakan menteri. Sebab Salim hanyalah seorang di antara 1.516 orang guru agama di Kabupaten Purwodadi, yang "diberhentikan dengan hormat" sejak September 1978. Padahal kabupaten ini masih membutuhkan 632 guru agama lagi. "Yang ada sekarang 1.120 orang. Untuk mencukupi kebutuhan itu terserah atasan," kata Syukur, 45 tahun, Kepala Seksi Pendidikan Agama Kantor Departemen Agama di sana. Di seluruh Ja-Teng dewasa ini terdapat 3.551 guru agama. Pemberhentian itu berdasarkan SK Menteri Agama No. B. II/1/6364/1978, 22 September 1978 yang menyebutkan guru-guru tersebut tidak pernah dipekerjakan secara resmi, karena kesulitan teknis dan tidak memenuhi persyaratan kemampuan tugas sebagai guru agama. Disebut pula bahwa pegawai negeri yang lebih dari 5 tahun tidak bertugas dan tidak menerima gaji, menurut ketentuan, dianggap telah berhenti. Fiktif Usul pemberhentian itu datang dari BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara) dalam suratnya kepada Menteri Agama 7 Agustus 1978. Selain minta agar 1.516 guru agama di Purwodadi tadi diberhentikan, 43 orang lagi supaya diteliti lebih lanjut. Jumlah itu masih ditambah 357 orang di Temanggung (JaTeng), yang menurut Menteri Agama juga sudah diberhentikan. Tapi menurut Z. Ibrahim, Ka Humas Kanwil Departemen Agama Ja-Teng, "mereka adalah guru agama yang pindah dari tempat lain ke Temanggung, untuk mengelabui pemerintah agar permainan mereka tidak terbongkar." Soal "permainan" itu juga dibenarkan oleh R. Djati Wijono SH, Ka Biro Hukum & Humas Departemen Agama. "Mereka yang diberhentikan itu termasuk sejumlah guru agama yang fiktif. Dan ini kan cerita lama," kata Djati akhir pekan lalu. Ceritanya: mulai 1965 dirasakan adanya kekurangan guru agama. Untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut, diselenggarakanlah UGA (ujian guru agama). Tapi ada panitia penyelenggara di daerah yang menyeleweng. "Ada calon yang lulus ujian tapi tak bisa ditugaskan. Malah ada di antara mereka tidak bisa membaca Al Qur'an," kata Djati. Cerita seperti itu diperjelas oleh Saliyun M. Amir, staf Humas Kanwil Departemen Agama Ja-Teng. "Dalam ujian guru agama 1967, ada calo-calo dari pusat. Mereka dibantu orang daerah dan membentuk semacam kantor agama bayangan," kata Saliyun. Menurutnya mereka menjual SK pengangkatan yang kosong tanpa nama. "Kemudian banjir guru agama, hingga sejak 1967 tak ada lagi calon pegawai baru sebagai guru agama," tambah Z. Ibrahim. Djati Wijono tidak membantah bahwa hampir semua guru agama yang 1.516 itu sempat mendapat NIP. "Tapi NIP mereka ternyata juga ada bintangnya (*) sebagai tanda agar diteliti lebih lanjut karena masih diragukan," tuturnya. Upaya penelitian itu sudah berulang kali diadakan. Mulai dari pendaftaran ulang pegawai negeri sipil (PUPNS) oleh BAKN sampai penelitian oleh Tepegada alias Team Peneliti Guru Agama Daerah. Masalah guru agama fiktif itu juga dibicarakan dalam rapat koordinasi beberapa menteri pertengahan Oktober 1976 yang dipimpin Menpan Soemarlin. Bagaimanapun, ada 32 orang di antara 1.516 guru agama itu yang masih berusaha memperjuangkan nasib. Diwakili Chambali dan Rumain, pertengahan Januari tahun lalu mereka menulis surat kepada Menteri Agama dan Pimpinan DPR-RI. Tapi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR pertengahan Oktober 1979, Menteri Agama menegaskan bahwa yang 1.516 itu tetap diberhentikan. Menurut kalangan Komisi E DPRD Purwodadi-Grobogan, lembaga ini juga sudah berkali-kali membahas dan mengadakan dengar-pendapat. "Tapi kalau permulaannya sudah salah, selanjutnya juga akan salah," kata seorang anggota DPRD di sana. Kelas Tanpa Guru Kesalahan itu seperti juga diungkap Menteri Agama, antara lain karena ada guru agama yang menggunakan SK pengangkatan orang lain. Sebagai contoh dikemukakan oleh Z. Ibrahim. "Nama yang tercantum pada SK dan beslit tak cocok dengan surat lamaran," kata Ibrahim "Ada pula permohonan pencairan gaji yang setelah dicek orangnya tidak jelas. Ada kelas tapi gurunya nihil," tambahnya. Moh. Tahrir, adalah salah seorang guru agama yang tidak menerima gaji, tapi diperlakukan sebagai pegawai negeri dengan NIP 150085525. Ia termasuk yang masih terus memperjuangkan nasibnya. Ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Grobogan, ia harus minta izin atasannya. Kini, meski sudah menjadi wakil rakyat, Tahrir masih menuntut pencairan gajinya sebagai guru agama. Soemardi lain lagi. Diangkat 1974, ia lebih beruntung karena menerima gaji. Karena ada peraturan bahwa gaji guru agama yang ditugaskan di bidang lain bisa dibayar. Soemardi tidak mengajar tapi ditugaskan di staf urusan kepegawaian pada Kantor Departemen Agama Grobogan. Hebatnya, ia diterima sebagai guru agama tanpa testing. "Karena kakak saya menjadi bendaharawan kantor Departemen Agama Grobogan," ia mengaku. Empat tahun kemudian Soemardi (35 tahun) dipindah ke Kudus dan selama 6 bulan tidak menerima gaji. Akhirnya ia kembali ke Purwodadi, nganggur. Lalu berjualan di pasar. Belakangan, sejak Oktober 1979, ia menjadi karyawan DPD Golkar Purwodadi-Grobogan dengan honorarium Rp 13.000 sebulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus