SALIM bin Kashuri, sehari-hari mengajar agama di Madrasah
"Miftahul Huda", Kuripan, Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah.
Gajinya sebagai tenaga honorer Rp 1.500 sebulan. Untuk memenuhi
kebutuhan istri dan 2 anaknya, pak guru ini tak segan-segan
kerja sambilan sebagai tukang batu. Atau sebagai buruh tani di
musim panen. Ia tak punya sawah.
Diangkat akhir 1967, Salim baru menerima perintah tugas 3 tahun
kemudian. Dan meskipun ia juga pernah mengisi daftar ulang
pegawai negeri sipil (1974), menerima NIP (Nomor Induk Pegawai)
dan diangkat sebagai pegawai negeri golongan BB/II waktu itu
(sekarang I-a), tapi ia tak pernah menerima gaji tetap.
Usul Salim untuk mencairkan gaji kepada Kanwil Departemen Agama
Ja-Teng, 1976 gagal. Toh ia tetap setia berdiri di depan kelas.
"Digaji atau tidak tugas. saya memperjuangkan agama Islam," kata
Salim (30 tahun), tamatan Madrasah Tsanawiyah (SLP) yang juga
pernah 4 tahun mengaji di sebuah pesantren.
Di Jakarta, sementara itu terdengar keterangan Menteri Agama
Haji Alamsjah Ratu Perwiranegara bahwa setiap tahun pemerintah
selalu mengangkat guru agama (Islam) baru tapi belum juga
memenuhi kebutuhan yang selalu meningkat. Hal itu diungkapkannya
di depan Komisi IX (Pendidikan) Rabu pekan lalu. "Akibatnya
masih banyak guru agama yang honorer atau mengajar sukarela.
Tapi ini juga menunjukkan betapa besar dedikasi mereka," tambah
Alamsjah. Cuma sayang, ustadz Salim tidak termasuk guru agama
yang dibanggakan menteri.
Sebab Salim hanyalah seorang di antara 1.516 orang guru agama di
Kabupaten Purwodadi, yang "diberhentikan dengan hormat" sejak
September 1978. Padahal kabupaten ini masih membutuhkan 632 guru
agama lagi. "Yang ada sekarang 1.120 orang. Untuk mencukupi
kebutuhan itu terserah atasan," kata Syukur, 45 tahun, Kepala
Seksi Pendidikan Agama Kantor Departemen Agama di sana. Di
seluruh Ja-Teng dewasa ini terdapat 3.551 guru agama.
Pemberhentian itu berdasarkan SK Menteri Agama No. B.
II/1/6364/1978, 22 September 1978 yang menyebutkan guru-guru
tersebut tidak pernah dipekerjakan secara resmi, karena
kesulitan teknis dan tidak memenuhi persyaratan kemampuan tugas
sebagai guru agama. Disebut pula bahwa pegawai negeri yang lebih
dari 5 tahun tidak bertugas dan tidak menerima gaji, menurut
ketentuan, dianggap telah berhenti.
Fiktif
Usul pemberhentian itu datang dari BAKN (Badan Administrasi
Kepegawaian Negara) dalam suratnya kepada Menteri Agama 7
Agustus 1978. Selain minta agar 1.516 guru agama di Purwodadi
tadi diberhentikan, 43 orang lagi supaya diteliti lebih lanjut.
Jumlah itu masih ditambah 357 orang di Temanggung (JaTeng), yang
menurut Menteri Agama juga sudah diberhentikan. Tapi menurut Z.
Ibrahim, Ka Humas Kanwil Departemen Agama Ja-Teng, "mereka
adalah guru agama yang pindah dari tempat lain ke Temanggung,
untuk mengelabui pemerintah agar permainan mereka tidak
terbongkar."
Soal "permainan" itu juga dibenarkan oleh R. Djati Wijono SH, Ka
Biro Hukum & Humas Departemen Agama. "Mereka yang diberhentikan
itu termasuk sejumlah guru agama yang fiktif. Dan ini kan cerita
lama," kata Djati akhir pekan lalu. Ceritanya: mulai 1965
dirasakan adanya kekurangan guru agama. Untuk memenuhi kebutuhan
mendesak tersebut, diselenggarakanlah UGA (ujian guru agama).
Tapi ada panitia penyelenggara di daerah yang menyeleweng. "Ada
calon yang lulus ujian tapi tak bisa ditugaskan. Malah ada di
antara mereka tidak bisa membaca Al Qur'an," kata Djati.
Cerita seperti itu diperjelas oleh Saliyun M. Amir, staf Humas
Kanwil Departemen Agama Ja-Teng. "Dalam ujian guru agama 1967,
ada calo-calo dari pusat. Mereka dibantu orang daerah dan
membentuk semacam kantor agama bayangan," kata Saliyun.
Menurutnya mereka menjual SK pengangkatan yang kosong tanpa
nama. "Kemudian banjir guru agama, hingga sejak 1967 tak ada
lagi calon pegawai baru sebagai guru agama," tambah Z. Ibrahim.
Djati Wijono tidak membantah bahwa hampir semua guru agama yang
1.516 itu sempat mendapat NIP. "Tapi NIP mereka ternyata juga
ada bintangnya (*) sebagai tanda agar diteliti lebih lanjut
karena masih diragukan," tuturnya. Upaya penelitian itu sudah
berulang kali diadakan. Mulai dari pendaftaran ulang pegawai
negeri sipil (PUPNS) oleh BAKN sampai penelitian oleh Tepegada
alias Team Peneliti Guru Agama Daerah. Masalah guru agama fiktif
itu juga dibicarakan dalam rapat koordinasi beberapa menteri
pertengahan Oktober 1976 yang dipimpin Menpan Soemarlin.
Bagaimanapun, ada 32 orang di antara 1.516 guru agama itu yang
masih berusaha memperjuangkan nasib. Diwakili Chambali dan
Rumain, pertengahan Januari tahun lalu mereka menulis surat
kepada Menteri Agama dan Pimpinan DPR-RI. Tapi dalam rapat kerja
dengan Komisi IX DPR pertengahan Oktober 1979, Menteri Agama
menegaskan bahwa yang 1.516 itu tetap diberhentikan. Menurut
kalangan Komisi E DPRD Purwodadi-Grobogan, lembaga ini juga
sudah berkali-kali membahas dan mengadakan dengar-pendapat.
"Tapi kalau permulaannya sudah salah, selanjutnya juga akan
salah," kata seorang anggota DPRD di sana.
Kelas Tanpa Guru
Kesalahan itu seperti juga diungkap Menteri Agama, antara lain
karena ada guru agama yang menggunakan SK pengangkatan orang
lain. Sebagai contoh dikemukakan oleh Z. Ibrahim. "Nama yang
tercantum pada SK dan beslit tak cocok dengan surat lamaran,"
kata Ibrahim "Ada pula permohonan pencairan gaji yang setelah
dicek orangnya tidak jelas. Ada kelas tapi gurunya nihil,"
tambahnya.
Moh. Tahrir, adalah salah seorang guru agama yang tidak menerima
gaji, tapi diperlakukan sebagai pegawai negeri dengan NIP
150085525. Ia termasuk yang masih terus memperjuangkan nasibnya.
Ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Grobogan,
ia harus minta izin atasannya. Kini, meski sudah menjadi wakil
rakyat, Tahrir masih menuntut pencairan gajinya sebagai guru
agama.
Soemardi lain lagi. Diangkat 1974, ia lebih beruntung karena
menerima gaji. Karena ada peraturan bahwa gaji guru agama yang
ditugaskan di bidang lain bisa dibayar. Soemardi tidak mengajar
tapi ditugaskan di staf urusan kepegawaian pada Kantor
Departemen Agama Grobogan. Hebatnya, ia diterima sebagai guru
agama tanpa testing. "Karena kakak saya menjadi bendaharawan
kantor Departemen Agama Grobogan," ia mengaku.
Empat tahun kemudian Soemardi (35 tahun) dipindah ke Kudus dan
selama 6 bulan tidak menerima gaji. Akhirnya ia kembali ke
Purwodadi, nganggur. Lalu berjualan di pasar. Belakangan, sejak
Oktober 1979, ia menjadi karyawan DPD Golkar Purwodadi-Grobogan
dengan honorarium Rp 13.000 sebulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini