Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari ini Samira Haddad, 32 tahun, merasakan kemenangan komplet. Komisi Keadilan Negara Belanda pekan lalu memenangkan gugatannya atas Islamic College of Amsterdam, sekolah tempatnya mengajar, lantaran ia ngotot menolak memakai jilbab di sekolah. Menurut Komisi, sekolah Samira telah melakukan diskriminasi ilegal.
Kemenangan Ibu Guru Samira ini kian menguatkan niat pemerintah Belanda yang berencana membuat peraturan melarang penggunaan jilbab dan cadar di tempat-tempat umum seperti bandara, stasiun, dan sekolah. Alasannya, teroris bisa memanfaatkan mereka untuk melakukan aksi-aksi teror. Bila aturan itu diterapkan, negara kerajaan itu akan menjadi negara pertama di Eropa yang melarang perempuan muslim menggunakan kerudung, cadar, dan burqa.
Usul pelarangan itu sebenarnya bukan hal baru. Desember tahun lalu, pemimpin koalisi kanan Belanda, Geert Wilders, bahkan berupaya mengkriminalkan pemakai jilbab. Anggota parlemen Negeri Kincir Angin itu menilai, wanita muslim Belanda yang berkerudung di tempat umum dapat terasing dan terpinggirkan. ”Itu kan simbol abad pertengahan, sebuah simbol melawan perempuan,” kata Wilders.
Ia dengan nyinyir mengatakan, semes-tinya perempuan tidak malu menunjukkan siapa mereka. Bahkan, jika keputusan menggunakan jilbab itu bukan karena paksaan, maka tidak seharusnya terjadi di Belanda. ”Jika orang tidak dapat melihat siapa kamu, atau salah satu dari badan atau wajah kamu, saya percaya ini bukan cara baik bergaul,” ujar Wilders.
Pernyataan Wilders ini melegakan hati Mayor Jan Creemers, kepala polisi di Maaseik, daerah perbatasan Belanda dan Belgia yang melarang penggunaan jilbab. Ia beralasan banyak orang takut dan anak-anak kerap menangis keras-keras jika melihat perempuan muslim mengenakan cadar menutupi wajahnya.
Wilders menjelaskan, negaranya bermasalah dengan pertumbuhan minoritas muslim yang mendapat simpati dari kelompok Islam radikal. Jumlah penduduk muslim di negara itu sejuta orang atau enam persen dari total penduduk.
Ketegangan antara muslim dan non-muslim memang meningkat di Eropa sejak aksi teror 11 September lima tahun silam. Di Belanda, salah satu yang menghebohkan adalah kasus pembunuhan sutradara film Belanda, Van Gogh, dua tahun lalu, tak lama setelah merilis film kontroversial tentang perempuan dan Islam yang berjudul Submission. Dua tahun sebelumnya, politisi anti-imigran Pim Fortuyn juga dibunuh. Aksi-aksi kekerasan ini memicu sikap saling curiga antara muslim dan non-muslim di negara itu.
Juru bicara Kementerian Imigrasi Belanda, Rita Verdonk, setuju dengan rencana usulan pelarangan pemakaian jilbab dan cadar itu. Tapi, ia mengkhawatirkan pelarangan total akan membawa konflik legislasi baru di Belanda. Karena itu, katanya, kabinet berpendapat pemakaian jilbab tidak diinginkan. Tapi, ”Kami tidak dapat me-larang total,” ujarnya.
Keinginan pemerintah ini dipastikan akan meletikkan kemarahan umat muslim. Aktivis muslim Belanda, Ayhan Tonca, mengatakan usulan itu bisa memicu kekerasan dari dan terhadap kaum minoritas muslim. BBC bahkan melaporkan, sebuah kelompok radikal muslim di Belanda memasukkan nama Wilders dalam daftar orang kafir yang layak dibantai.
Famala Aslam, seorang pengacara muslim yang memilih tidak lagi bercadar setelah menjadi asisten pelatihan penanganan anak, mengatakan pelarangan penggunaan jilbab justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Famala, yang kini hanya menutup kepala dan mengenakan baju tradisional Turki, menilai rakyat perlu memperjuangkan kebebasan menentukan dan beragama.
Tonca menilai, pemberlakuan aturan baru itu terlalu dibesar-besarkan. ”Apa yang dikerjakan pemerintah sekarang tidak sebanding dengan jumlah perempuan yang menggunakan cadar,” katanya.
Menurut Tonca, jumlah perempuan di Belanda yang memakai cadar tak sampai 50 orang. ”Dan tak ada seorang pun yang berhak melarangnya.”
Istiqomatul Hayati (The Times, The Guardian, BBC, Reuters, Islam Online)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo