Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buntut Panjang Perkara Kotawaringin

Hakim tak bulat memutus perkara kesaksian palsu Zulfahmi Arsyad. Muncul dalam dakwaan dan tuntutan, nama Bambang Widjojanto menghilang dalam putusan.

14 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum mengetukkan palu, ketua majelis hakim Sinung Hermawan menanyakan sikap terdakwa Zulfahmi Arsyad atas vonis tujuh bulan penjara yang baru saja ia bacakan. Namun, ketika Zulfahmi hendak menjawab, sang hakim langsung memotong. "Pikir-pikir saja dulu," kata Sinung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu.

Zulfahmi adalah anggota tim sukses pasangan Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto dalam pemilihan Bupati Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010. Majelis hakim menyatakan Zulfahmi bersalah mengumpulkan saksi yang memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah itu di Mahkamah Konstitusi.

Zulfahmi diadili karena laporan Sugianto Sabran, lawan Ujang Iskandar dalam pemilihan bupati, ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada Januari lalu. Sugianto melapor tak lama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi. Waktu itu Sugianto pun melaporkan Wakil Ketua KPK yang kini nonaktif, Bambang Widjojanto.

Meski berkukuh mengaku tak bersalah, seusai sidang Zulfahmi menyatakan tidak akan mengajukan permohonan banding. "Saya capek sekali," kata Zulfahmi, yang telah ditahan selama enam bulan.

****

PASANGAN Ujang Iskandar-Bambang Purwanto bertarung ketat dengan pasangan Sugianto Sabran-Eko Soemarmo dalam pilkada Kotawaringin Barat pada 5 Juni 2010. Menurut penghitungan Komisi Pemilihan Umum Daerah, Sugianto-Eko memperoleh 67.199 suara atau 54,89 persen. Adapun pasangan Ujang-Bambang meraih 55.281 suara atau 45,11 persen. Komisi Pemilihan lalu menetapkan pasangan Sugianto-Eko sebagai pemenang.

Tak puas atas penetapan KPUD, pasangan Ujang-Bambang menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menunjuk Bambang Widjojanto sebagai kuasa hukum. Selama persidangan, kubu Ujang menghadirkan 68 saksi.

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Mahfud Md., pada 7 Juli 2010, menyimpulkan terjadi "politik uang" secara masif di enam kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat. Mahkamah pun membatalkan kemenangan Sugianto-Eko, lalu memerintahkan KPUD menetapkan pasangan Ujang-Bambang sebagai pemenang.

Putusan Mahkamah tak membuat Sugianto berhenti. Dia melaporkan para saksi ke Badan Reserse Kriminal Polri. Seorang saksi, Ratna Mutiara, waktu itu menjadi tersangka. Dalam kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi, Ratna mengaku menerima Rp 150 ribu dari tim sukses Sugianto-Eko. Pada Maret 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Ratna lima bulan penjara karena dianggap mencemarkan nama tim sukses Sugianto-Eko.

Berbekal vonis atas Ratna, Sugianto menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ia juga menyertakan akta pernyataan lima saksi lain yang mencabut keterangan di Mahkamah Konstitusi. Namun kemenangan Sugianto di PTUN pada 2012 tak mampu menggusur pasangan Ujang-Bambang, yang dilantik Menteri Dalam Negeri pada Desember 2011.

Setelah tiga tahun perkara ini mengendap, pada Januari 2015 Sugianto kembali melaporkan para saksi ke Bareskrim Polri. Kali ini Sugianto menyeret Bambang Widjojanto. Polisi sigap menetapkan Zulfahmi dan Bambang sebagai tersangka.

Dalam berbagai kesempatan, Bambang menyatakan tak pernah mengarahkan saksi untuk berbohong. Zulfahmi dan sejumlah saksi juga mengaku tak pernah diminta Bambang melakukan hal yang dituduhkan Sugianto.

Perkara Zulfahmi maju lebih dulu ke pengadilan. Di persidangan, jaksa mendakwa Zulfahmi mengarahkan kesaksian palsu meski ia tak pernah menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi. Menurut jaksa, Zulfahmi, yang memiliki hubungan saudara dengan Ujang, bertugas mengumpulkan dan memberangkatkan saksi ke Jakarta untuk hadir di sidang Mahkamah Konstitusi.

Jaksa menjerat Zulfahmi dengan enam dakwaan alternatif, antara lain memakai Pasal 242 dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 242 mengatur perbuatan memberikan keterangan palsu. Adapun Pasal 266 mengenai perbuatan menyuruh membuat akta otentik yang isinya palsu. Ancaman hukuman kedua pasal ini maksimal tujuh tahun penjara.

Dalam surat dakwaan dan tuntutan Zulfahmi, jaksa sempat menyebut-nyebut nama Bambang Widjojanto sebagai saksi dan terdakwa yang diperiksa secara terpisah. Padahal Bambang hingga kini masih berstatus tersangka. Bambang pun tak pernah diperiksa dalam perkara Zulfahmi.

Bukan hanya kalangan pegiat antikorupsi yang mempersoalkan penyebutan nama Bambang Widjojanto dalam dakwaan dan tuntutan Zulfahmi. Komisi Kejaksaan pun mempermasalahkan hal tersebut. "Mahkota jaksa ada di dakwaan dan tuntutan. Bila tidak cermat, jatuhlah dia," kata juru bicara Komisi Kejaksaan, Indro Sugianto.

Majelis hakim akhirnya memvonis Zulfahmi bersalah, meski menyatakan hanya satu dari enam dakwaan jaksa yang terbukti. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menganggap Zulfahmi berperan dominan mendorong timbulnya kesaksian palsu. Hakim pun mempertimbangkan keterangan saksi Edi Sulistya, yang menyebut Zulfahmi menganjurkan dia memberikan keterangan palsu soal penembakan yang dialaminya. "Penembakan itu terjadi pada 2005, tidak berkaitan dengan pemilihan bupati," kata hakim Sinung.

Tak seperti dua hakim lain, hakim Anas Mustakim menyatakan perkara ini tidak memenuhi syarat penuntutan. Seharusnya, menurut Anas, penuntutan disertai surat dari hakim Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan saksi palsu ditahan. "Persyaratan itu tak dipenuhi, sehingga dakwaan tak dapat diterima," kata Anas. Menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion), Anas pun menganggap Zulfahmi tak terbukti bersalah dan meminta dia dibebaskan.

Berbeda dengan surat dakwaan dan tuntutan jaksa, putusan majelis hakim tak menyebut-nyebut nama Bambang Widjojanto. Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhamad Isnur, berharap hilangnya nama Bambang dari berkas putusan menjadi indikasi gagalnya upaya kriminalisasi atas kliennya itu.

Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jamaludin Samosir, mengatakan majelis hakim menganggap perkara Zulfahmi tak terkait dengan perkara Bambang, yang berkasnya masih di kejaksaan. "Hakim menganggap perkara Zulfahmi ini berdiri sendiri," katanya. Meski begitu, menurut Jamaludin, tak disebutnya nama Bambang tidak menutup pintu bagi jaksa untuk mendakwa dia dalam perkara yang sama.

Jaksa Agung Prasetyo mengatakan tim jaksa akan mengkaji lagi berkas perkara Bambang, yang sebelumnya sudah dianggap lengkap. "Seperti apa hasilnya akan dijadikan pertimbangan dalam menyusun dakwaan," ucap Prasetyo.

Yuliawati, Mawardah, Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus