Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOCAH tiga tahun itu tertelungkup di pasir. Tak bernyawa lagi. Kaus merah, celana biru, dan sepatunya basah. Aylan Kurdi, bocah itu, meninggal bersama kakaknya, Galip, 5 tahun, dan ibunya, Rehan, 35 tahun, saat perahu penyelundup yang membawa dia bersama 22 orang lainnya berlayar dari Turki menuju Pulau Kos di Yunani tenggelam di Laut Aegean. Jasad bocah itu terdampar di pantai dekat Bodrum, kawasan wisata utama Turki, pada awal September lalu.
"Orang Turki itu (pemilik perahu) meloncat ke laut, lalu ombak datang dan kapal terbalik. Aku mencengkeram anak-anak dan istriku sambil berpegangan ke perahu," kata Abdullah Kurdi, ayah Aylan, satu dari sembilan penumpang yang selamat.
"Kami bertahan selama sejam, lalu anak pertamaku meninggal dan aku melepasnya agar dapat menolong yang lain. Kemudian yang kedua meninggal, maka aku melepasnya juga. Lalu aku menolong ibunya, tapi ternyata dia sudah meninggal," ujar Abdullah kepada Radio Rozana.
Fotografer kantor berita Turki, Dogan, merekam jasad Aylan dan mempublikasikannya. Dalam tempo singkat, foto itu tersebar di media sosial dan menghebohkan dunia. Masyarakat Eropa pun mendesak negaranya agar menampung ratusan ribu pengungsi yang kini membanjiri Eropa. Sejumlah media Eropa, termasuk La Repubblica di Italia, Die Zeit di Jerman, dan The Independent di Inggris, menyusun petisi dan menggalang dukungan agar Uni Eropa menerima lebih banyak pengungsi. Petisi itu kini sudah mendapat 380 ribu tanda tangan.
Masalahnya, 28 negara anggota Uni Eropa tak satu kata dalam kebijakan terhadap pengungsi. Jerman menyambut baik kedatangan mereka, tapi Hungaria menolak mentah-mentah dan membangun pagar kawat setinggi 4 meter di sepanjang perbatasannya dengan Serbia-jalan masuk bagi sekitar 2.000 pengungsi setiap hari.
Orang Suriah menyebut jalan laut untuk menyeberang ke Eropa itu sebagai "perjalanan kematian". Mereka menyebut kapalnya "kapal kematian" dan para penyelundup sebagai "agen kematian". Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan sedikitnya 3.200 migran meninggal di laut itu pada 2014-jumlah itu empat kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya.
Namun banyak pengungsi yang masih nekat memilih jalan ini, selain jalur darat yang melintasi Serbia dan Hungaria atau Spanyol. Padahal mereka harus merogoh kocek dalam-dalam. Abdullah Kurdi membayar US$ 6.100 agar keluarganya dapat naik perahu yang panjangnya cuma 5 meter itu.
"Hanya 10 persen yang tenggelam. Kesempatanmu untuk berhasil malah jauh lebih besar," kata Abdou (nama samaran), orang Suriah yang berhasil menyeberang dari Libya ke Italia pada Desember 2013 dan kini bekerja sebagai pegawai farmasi di Norwegia.
Abdou bersama adiknya, yang menyusul sebulan kemudian, sekarang bermukim di sebuah apartemen kecil di pinggir Oslo. Dia belajar bahasa Norwegia dan pemerintah memberi tunjangan hidup US$ 1.000 sebulan. "Perlakuan orang di sini sangat baik dan mereka ramah kepada kami," ujarnya kepada Al-Araby al-Jadeed.
Jerman adalah tanah harapan utama bagi kebanyakan pengungsi. Ratusan ribu pengungsi dari Suriah, Irak, Pakistan, Palestina, dan negara-negara yang sedang dalam keadaan perang di Afrika berbondong-bondong ke sana. Mereka berusaha masuk ke Italia, Yunani, atau Spanyol, lalu menempuh jalan darat menembus berbagai negara untuk mencapai Jerman.
"Ayahku dulu bekerja di Jerman selama delapan tahun. Setiap hari bila kami punya masalah di Suriah, dia akan bilang, 'Oh, ketika aku di Jerman, keadaan sangat baik. Orangnya baik, pemerintahnya baik'," tutur seorang pemuda Suriah yang menolak menyebut namanya dan kini tinggal di kamp pengungsian di Pulau Lesbos, salah satu pulau di Yunani yang menjadi tempat penampungan pengungsi. "Maka aku bermimpi pergi ke Jerman."
Banjir pengungsi ke Eropa tahun ini disebut-sebut sebagai yang terburuk setelah Perang Balkan pada 1990-an dan Perang Dunia II. IOM memperkirakan 350 ribu pengungsi menyerbu benua itu sepanjang Januari-Agustus 2015. Kedatangan mereka membuat Uni Eropa panik, karena tak siap dan tak punya mekanisme untuk mengatasi kedatangan pengungsi sebanyak itu.
Jerman adalah negara penerima pengungsi terbesar. Negara itu telah menerima sekitar 18 ribu pengungsi pada dua pekan lalu dan diperkirakan menerima hingga 800 ribu pengungsi tahun ini. Mereka mengutamakan pengungsi yang melarikan diri dari Suriah dan mengabaikan Hukum Dublin, peraturan Uni Eropa yang menetapkan bahwa pencari suaka harus mengajukan suaka di negara pertama yang mereka capai.
Pengalaman masa lalu, saat Nazi berkuasa dan memaksa orang Jerman mengungsi, jadi salah satu alasan mengapa sebagian besar rakyat Jerman menyambut baik pengungsi. Tapi alasan utamanya tampaknya adalah statistik: jumlah penduduk usia tua bertambah lebih cepat.
"Apa yang kita alami sekarang adalah hal yang akan mengambil alih dan mengubah negeri kita di masa datang. Kita ingin perubahan ini positif," kata Kanselir Jerman Angela Merkel pada Senin pekan lalu.
Merkel mengacu pada perbincangan umum tentang imigrasi belakangan ini: jumlah penduduk Jerman menciut cepat dan tren itu diperkirakan memburuk. Menurut badan statistik negeri itu, pada 2060 hanya akan ada 68-73 juta penduduk di sana, lebih sedikit daripada 81 juta sekarang.
Saat ini saja negeri itu sudah kekurangan pekerja muda terlatih. Perusahaan-perusahaan tak bisa memenuhi kebutuhan ratusan ribu pekerjaan karena tak cukup banyak yang melamar. "Kebanyakan pengungsi itu anak muda, berpendidikan, dan punya motivasi tinggi. Inilah orang-orang yang kita cari," ujar Dieter Zetsche, pemimpin perusahaan mobil Daimler.
Banjir pengungsi juga akan menguntungkan Jerman karena sistem kesejahteraannya makin terjepit karena lebih banyak pensiunan yang harus dibiayai oleh lebih sedikit penduduk usia produktif dan penghasil pajak. Kini ada tiga orang usia produktif untuk setiap pensiunan. Namun, pada 2060, rasionya kurang dari 2 banding 1. Astrid Ziebarth dari lembaga penelitian German Marshall Fund menilai tanggapan Jerman terhadap krisis pengungsi lebih "pragmatis ketimbang idealistis".
Sedangkan Inggris sudah lama tampak enggan menampung lebih banyak pengungsi. Menurut Komisi Eropa, statistik negeri memang menunjukkan pertumbuhan penduduk yang stabil. Ketika pertumbuhan penduduk negara-negara Eropa lain turun, Inggris justru naik dan pada 2060 akan jadi negara terpadat di kawasan ini.
Inggris hanya bersedia menerima 4.000 pendatang per tahun, bandingkan dengan Jerman yang mematok 500 ribu pengungsi per tahun. Itu sebabnya banyak pihak mengkritik bahwa negeri itu tak berbuat banyak dalam krisis pengungsi sekarang.
Gempuran kritik akhirnya mengubah sikap Inggris. Pada Senin pekan lalu, Perdana Menteri Inggris David Cameron berjanji di depan parlemen bahwa negaranya akan menerima pengungsi dari Suriah "tanpa batas" tahun ini. Namun sumber di pemerintahan menjelaskan bahwa London tak akan menerima lebih dari 20 ribu pengungsi. Cameron juga menegaskan bahwa anak-anak pengungsi tak akan dideportasi sebelum mereka berusia 18 tahun.
Umumnya negara-negara Eropa menolak pengungsi karena kekhawatiran akan dampak politik, sosial, dan ekonominya. Tapi alasan utama setiap negara adalah adanya kuota imigran, yang ditetapkan Uni Eropa dan digariskan dalam undang-undang masing-masing negara.
Warga Islandia, misalnya, menyambut baik pengungsi, tapi negara itu membatasi hanya menerima 50 pencari suaka setiap tahun. Bryndis Bjorgvinsdottir, seorang pengarang di sana, lantas menulis surat terbuka kepada Menteri Kesejahteraan Islandia Eyglo Hardardottir agar mengizinkan rakyat Islandia membantu pengungsi melalui akun Facebook.
Petisi Bjorgvinsdottir menuai sambutan luar biasa. Lebih dari 11 ribu keluarga di negeri itu menyatakan bersedia menerima pengungsi Suriah. Hal ini memaksa pemerintah mengubah kebijakannya. Menteri Hardardottir mengatakan akan menaikkan kuota pengungsi. "Saya tak ingin menyebut angka, tapi kami akan memeriksa tempat yang tersedia untuk menyambut lebih banyak pengungsi," ucapnya.
Perkara kuota ini kini diangkat lagi oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker setelah usul pertamanya dulu ditolak banyak negara. Pada Rabu pekan lalu, dia mengumumkan rencana untuk mengatasi krisis pengungsi ini secara cepat dan menyeluruh. Dalam rancangan itu, 120 ribu pencari suaka akan disebar di antara negara anggota Uni Eropa. "Total 160 ribu pengungsi telah Eropa tampung dan saya sangat berharap kali ini semua orang akan terlibat-tak ada retorika, tindakanlah yang diperlukan," katanya.
Rencana baru itu akan merelokasi 60 persen pengungsi yang kini ada di Italia, Yunani, dan Hungaria ke Jerman, Prancis, dan Spanyol. Jumlahnya bergantung pada pendapatan negara, populasi, tingkat pengangguran, dan jumlah pencari suaka yang siap diproses. Negara yang menolak pengungsi akan mendapat sanksi finansial. Usul Juncker itu akan dibahas dalam pertemuan khusus para menteri dalam negeri Uni Eropa pada Senin pekan ini.
Kurniawan (bbc, Npr, Al-araby Al-jadeed, Independent, The Washington Post, The Nation)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo