TAK lama setelah Brigjen. U Sein Lwin terpilih sebagai ketua Partai Program Sosialis Burma (PPSB), kerusuhan marak di Kota Myede. Massa yang mengamuk di kota kecil yang terletak 350 km sebelah barat daya Rangoon itu memporakporandakan sejumlah toko, gedung milik pemerintah, dan beberapa rumah pejabat. Petugas keamanan yang mencoba menghalang-halangi gerakan itu tak luput dari amukan mereka. Korban tragedi Selasa malam pekan lalu itu, menurut siaran resmi pemerintah, satu orang meninggal, lima cedera, dan enam ditahan --- semuanya demonstran. Penangkapan tak cuma terjadi di Myede. Penguasa baru juga menahan Brigjen. Aung Gyi, 70 tahun, yang menuding Sein Lwin sebagai otak penindasan berdarah aksi mahasiswa, September lalu. Kecaman tertulis Aung Gyi terhadap Sein Lwin dan kemerosotan ekonomi Burma, yang beredar secara gelap di masyarakat, dikopi di mana-mana, dan laris bagaikan kupon judi buntut. Pada salah satu surat yang ditujukan kepada penguasa Burma, Aung Gyi, teman seperjuangan Ne Win dalam Perang Dunia II, menulis, "Negeri ini telah ambruk secara politis, ekonomis, maupun sosial. Tapi yang paling menyedihkan adalah kebobrokan moral pejabat." Penyebab kerusuhan berdarah di Myede belum diketahui. Diduga massa kecewa atas terpilihnya Sein Lwin sebagai tokoh Nomor I Burma. Apalagi tangan kanan Ne Win itu kemudian juga menduduki kursi presiden menggantikan San Yu. Pengamat politik di Rangoon melihat dengan terpilihnya Sein Lwin memegang dua jabatan kunci itu, Ne Win masih bakal memainkan peran dalam pengambilan keputusan politik pemerintah. "Kedudukan Ne Win sama dengan posisi Deng Xiaoping di Cina sekarang," ujar seorang diplomat Barat di Rangoon. Melihat permainan politik yang dilakonkan Ne Win itu, diramalkan aksi kerusuhan masih akan mengguncang Burma. Apalagi, Ne Win, yang tak mundur total sebagaimana dituntut mahasiswa, September lalu, dalam pidato pengunduran dirinya masih memperlihatkan gigi. Ia bahkan mengancam akan mematahkan setiap aksi protes dengan cara tembak di tempat tanpa perlu memberikan letusan peringatan. "Itu bukan suara orang yang mengundurkan diri, tapi suara orang yang masih berkuasa," komentar para pengamat politik di Rangoon. Mengapa Ne Win melepaskan jabatan kunci yang dipegangnya selama hampir tiga dekade? Di depan sidang darurat PPSB, dua pekan lalu, dua hari sebelum pengunduran dirinya disetujui sidang, selain bicara soal kesehatannya yang makin rapuh, Ne Win, 77 tahun, secara tersirat merasa bertanggung jawab atas aksi kekerasan yang dilakukan penguasa untuk mematahkan demonstrasi mahasiswa tahun lalu. Tapi ada yang menduga pengunduran diri Ne Win tak terlepas dari kritik tajam yang dilontarkan Aung Gyi, tokoh yang didepaknya dari pemerintahan seperempat abad lalu, atas jalan sosialisme Burma gagasan tokoh gaek tersebut. Pengunduran diri Ne Win itu cukup mengejutkan banyak orang. Tapi, diam-diam, Ne Win telak menyiapkan pengganti yang akan meneruskan gagasan sosialisme Burma yang dicanangkannya. Tokoh pengganti itu tak lain dari tangan kanannya sendiri: Sein Lwin, 64 tahun, penguasa yang paling dibenci oposisi dan mahasiswa selama ini. Adalah brigjen. purnawirawan ini yang membungkam para pembangkang, sejak Ne Win melakukan kudeta militer, 1962, maupun gerakan antipemerintah akhir-akhir ini. Perintah berdarah pertama yang dikeluarkan Sein Lwin adalah penembakan ke arah 2.000 mahasiswa, yang berdemonstrasi di Universitas Rangoon, 1962. Korban yang jatuh, waktu itu, tercatat 100 mahasiswa terbunuh. Pembantaian terulang dalam prosesi penguburan bekas Sekjen PBB U Thant pada 1974. Tak disebutkan jumlah yang tewas disambar peluru. Terakhir, ketika mahasiswa kembali bergerak sejak September 1987, Sein Lwin mengeluarkan perintah tembak di tempat lagi bagi setiap demonstran. Menurut surat Aung Gyi, selama hampir setahun aksi antipemerintah, petugas keamanan telah menewaskan sekitar 300 demonstran, memperkosa puluhan mahasiswi dan pelajar, dan mencederai sejumlah lainnya. Tapi yang dituduh bertanggung jawab atas aksi-aksi terakhir itu justru Perdana Menteri U Maung Maung Kha dan Jaksa Agung U Myint Maung -- keduanya telah dipecat awal pekan lampau. Tentang penvebab kebobrokan ekonomi Burma, Sein Lwin, pada hari pengangkatannya sebagai presiden, Rabu pekan lalu, menyebut bukan sistem yang menimbulkan krisis ekonomi tersebut melainkan para pejabatnya. "Praktek suap dan korupsi yang membuat Burma menderita," katanya. Ia tak menyebut nama pejabat-pejabat yang dicurigainya melakukan tindak korupsi. Untuk memulihkan Burma dari krisis ekonomi, Sein Lwin menyebut perlunya reformasi ekonomi di Negeri Seribu Pagoda tersebut. Burma, katanya. harus mentoleransi lebih banyak lagi perusahaan swasta dan merangsang perusahaan patungan dengan pihak luar -- dua hal terlarang sampai sekarang ini. "Partai akan memperluas sektor swasta di bidang pertanian, pertambangan, dan transportasi," kata Sekjen PPSB U Aye Ko. Perdagangan dalam dan luar negeri disebutnya akan lebih liberal. Itikad untuk memperbaiki ekonomi itu diperlihatkan Sein Lwin dengan kesediaan mempromosikan Kya Htin dan Tun Tin pada jabatan kunci baik dalam partai maupun pemerintahan. Tak disebutkan jabatan yang diberikan kepada kedua tokoh yang dikenal liberal itu. Walau pihak oposisi pesimistis dengan langkah perbaikan ekonomi penguasa baru itu, banyak juga yang berpikir sebaliknya. Alasan kelompok terakhir: Sein Lwin bisa menjamin adanya stabilitas politik yang diperlukan bagi reformasi ekonomi. Kalau Sein Lwin tak segera melakukan reformasi ekonomi, Burma akan semakin kedodoran menyediakan kebutuhan makanan 37 juta penduduknya. Kesulitan lain, utang luar negeri mereka akan semakin melilit lebih kuat. Selama 15 tahun terakhir, utang luar negeri Burma membengkak dari US$ 231 juta menjadi US$ 3,8 milyar. Salah satu upaya yang mereka lakukan untuk meringankan pembayaran pinjaman itu, pada 1987 Burma minta PBB menyatakan mereka sebagai negara miskin. Bank Dunia menempatkan pada peringkat kesembilan negara miskin di dunia. Pendapatan per kapita rakyat Burma, menurut data 1984, sebesar US$ 165 -- hampir seperempat pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Tahun 1986, pemerintah dan pengusaha Jepang pernah menyediakan sejumlah dana ditanamkan di Burma. Rakyat kelihatan tak keberatan terhadap kehadiran modal asing itu. Tapi pemerintah menolak tawaran itu. Bahkan menuding para pengusaha asing, tidak hanya orang Jepang, telah mendorong tindak korupsi dengan cara menyogok pcjaI-at pemerintah. Mereka kemudian diusir dari Burma. Tokoh yang dituding rakyat sebagai biang keladi kehancuran ekonomi Burma adalah Ne Win. Orang kuat ini pada 1963, setahun setelah melancarkan kudeta militer, menerapkan kebijaksanaan yang dinamakannya: sosialisme Burma -- yang merupakan gabungan pemikiran agama Budha, isolasi internasional, dan kontrol negara atas semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi. Setelah kebijaksanaan itu dijalankan Ne Win selama 25 tahun terbukti, sosialisme Burma tak mampu memakmurkan rakyat. Malah pasar gelap yang berkembang pesat. Penyelundupan merajalela. Komoditi, seperti kayu jati, karet, batu permata, bahkan heroin, diselundupkan rakyat dari perbatasan ke Muangthai. Kegiatan pasar gelap yang telah berlangsung bertahun-tahun itu kelihatan sulit diberantas pemerintah, karena daerah perbatasan yang dipakai sebagai tempat penyelundupan adalah wilayah yang dikuasai gerakan separatis, seperti wilayah suku Karens, Kachins, dan Shan. Tapi bukan mustahil Burma bangkit kembali. Negeri yang dijuluki sebagai gudang beras Asia di awal 1960-an ini juga kaya sumber minyak dan gas bumi. Jika Ne Win telah menggelindingkan Burma ke jurang kehancuran, akan mampukah Sein Lwin mengatrolnya? Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini