"SATU hal yang harus saya lakukan demi Likud dan masa depan, serta demi negara: Saya mengundurkan diri dari pemerintahan." Kata-kata itu diucapkan Menteri Luar Negeri Israel, David Levy, dengan berurai air mata setelah berpidato panjang lebar di depan 200 orang pendukungnya yang berkumpul di Herzliyya, Israel, Ahad pekan lalu. Pengunduran diri diplomat berusia 55 tahun kelahiran Rabat, Maroko, itu cukup mengejutkan Partai Likud, karena terjadi seminggu menjelang pertemuan kabinet dan menjelang pemilu Israel, yang akan berlangsung sekitar tiga bulan mendatang. Pengamat politik Israel menduga bahwa Levy, yang dianggap moderat ini, terpaksa mundur karena ditekan oleh faksi Yahudi Ashkenazi, yakni kelompok Yahudi yang kelahiran Eropa, yang antara lain diwakili oleh Perdana Menteri Shamir dan Menteri Perumahan Ariel Sharon. Tekanan itu muncul karena Levy mengkritik Shamir, yang telah salah menangani hubungan dengan Amerika sehingga menyulitkan politik luar negeri Israel. Selain itu, ia menyesalkan Shamir yang meletakkannya sebagai kandidat di urutan keempat dalam partai Likud untuk pemilu nanti, sesudah Perdana Menteri Yitzhak Shamir, Menteri Pertahanan Moshe Arens, dan Menteri Perumahan Ariel Sharon. Padahal, Levy merasa telah membantu Partai Likud mengakhiri kekuasaan Partai Buruh pada tahun 1977. Tanpa dukungan faksi Sephardic, kelompok Yahudi kelahiran Timur Tengah, waktu itu Partai Likud tak bakal mengalahkan Partai Buruh. Bagi Shamir, masalah menteri luar negerinya ini memang membuatnya serba salah. Menerima pengunduran Levy memang meredakan ketegangan dalam Partai Likud. Tapi, mundurnya Levy bisa juga berarti faksi Sephardic, kelompoknya Levy, akan menarik dukungannya. Ini membahayakan kejayaan Likud. Selain itu, sejauh ini belum tampak pengganti Levy yang bisa luwes di dunia internasional, terutama yang bisa menghadapi Amerika. Bukan hanya merundingkan soal kredit lunak yang tertunda, tapi juga menjamin kelangsungan bantuan dari pemerintah dan simpatisan Israel. Sementara itu, bila ia menolak permintaan Levy dan tetap mempertahankannya, bisa saja Shamir justru ditinggalkan, setidaknya, oleh Ariel Sharon. Ini pun bisa membahayakan kekuatan Likud dalam pemilu nanti. Ariel Sharon, bekas menteri pertahanan dan kini menjadi menteri perumahan tampaknya memang kurang cocok dengan kebijaksanaan Levy. Sharon ini sangat berambisi mengubah wilayah pendudukan menjadi permukiman Yahudi. Padahal, Levy, dalam Konperensi Damai di Moskow yang lalu setidaknya, menunjukan bahwa ia tampaknya bisa menerima permintaan James Baker, menteri luar negeri AS, untuk menghentikan pembangunan permukiman itu. Bagi Shamir sendiri Levy, yang pernah dipecatnya dari komisi perunding di Madrid, karena disebut "hampir menjadi seorang pembenci Israel", merupakan juru runding yang ia andalkan untuk bersilat lidah dengan tim perunding dari Palestina. Tiadanya David Levy dalam tim perunding diduga bakal memperlemah tim Israel. Yang gembira melihat ini tentu saja Partai Buruh. Pemilu Israel pada Juni nanti akan menjadi batu uji, apakah para pemimpin Likud masih dipercaya orang Israel atau tidak. Bila tidak, artinya kalah dalam pemilu, kekuasaan akan jatuh ke tangan Partai Buruh, dan dunai boleh mengharapkan hasil Konperensi Perundingan Damai Timur Tengah lebih positif. Kecuali dalam pertemuan kabinet pekan depan, Shamir berhasil mengadakan perdamaian di dalam partainya. Bila tidak, 7 April Selasa pekan depan, Levy resmi keluar dari kabinet Shamir. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini