Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lintas Internasional

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iran Akademisi Amerika Bebas

Iran membebaskan Haleh Esfandiari, akademisi Amerika Serikat keturunan Iran, Selasa pekan lalu. ”Saya sangat gembira. Saya tidak menyangka (akan dibebaskan),” kata Esfandiari. Ia mengaku diperlakukan dengan sangat baik, memperoleh kamar yang sangat besar dan berjendela sehingga bisa mendapat udara segar dan memperoleh makanan enak.

Esfandiari dibebaskan dengan jaminan sebesar US$ 320 ribu setelah ditahan atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata. Pembebasan ini terjadi di tengah-tengah ketegangan antara Amerika dan Iran. Esfandiari adalah Direktur Program Timur Tengah di Woodrow Wilson Centre, Washington. Ia dijebloskan ke penjara Evin di Teheran, Mei lalu.

Bangladesh Demonstrasi Mahasiswa Rusuh

Pemerintah kembali menerapkan jam malam di Ibu Kota Dhaka, Kamis pekan lalu, untuk mengatasi kerusuhan yang telah berlangsung selama tiga hari. Kerusuhan pecah Senin pekan lalu ketika mahasiswa menggelar demonstrasi menuntut keadaan darurat diakhiri. Penduduk kawasan kumuh, penjaga toko, penarik becak, dan pengusaha bergabung dengan mahasiswa. Kerusuhan menyebabkan satu orang tewas dan 30 orang terluka. Jam malam pertama kali diberlakukan pada Rabu. Aksi kekerasan ini menyebar ke kota lain termasuk Sylhet di utara dan kota pelabuhan Chittagong di selatan. Rakyat tak puas karena biaya hidup melonjak.

Venezuela Chavez Boleh Jadi Presiden Lagi

Kongres Venezuela menyetujui reformasi konstitusi yang memungkinkan Presiden Hugo Chavez kembali ikut pemilu pada 2013, Selasa pekan lalu. Menurut Ketua Kongres, Cilia Flores, usul perubahan konstitusi yang diajukan Chavez tentang perubahan batas masa pemerintahan dari enam tahun menjadi tujuh tahun disetujui semua anggota Kongres setelah berdebat selama enam jam. Keputusan Kongres ini masih harus disetujui rakyat Venezuela lewat referendum. Hampir semua anggota Kongres merupakan pendukung Chavez karena oposisi memboikot pemilihan anggota Kongres pada pemilu 2005. Oposisi memprotes perubahan itu, perubahan yang bakal mengizinkan Chavez berkuasa seumur hidup seperti pemimpin Kuba, Fidel Castro.

Pakistan Bhutto-Musharraf vs Nawaz

Bekas Perdana Menteri Benazir Bhutto, Selasa pekan lalu, mendesak Presiden Pervez Musharraf menyerahkan paket berbagi kekuasaan pada akhir Agustus ini. Benazir dan Musharraf telah sepakat berbagi kekuasaan dalam menghadapi pemilihan presiden yang akan berlangsung pada September atau Oktober mendatang, dan pemilihan parlemen pada akhir tahun ini atau awal 2008. ”Saya sudah mengatakan pada Jenderal Musharraf bahwa partai kami mulai risau karena pemilu sudah dekat, dan akhir bulan ini kami harus tahu di mana posisi kami,” kata Benazir. Sementara itu, bekas perdana menteri Nawaz Sharif yang dikudeta Musharraf menilai perkembangan ini sebagai ”awal dari akhir Musharraf”.

Timor Leste Aksi Rekonsiliasi

Perdana Menteri Xanana Gusmao menawarkan jabatan menteri dalam kabinetnya kepada Partai Fretilin sebagai upaya damai, Kamis pekan lalu. Menurut Wakil Perdana Menteri Jose Luis Guterres, Xanana melobi seorang pemimpin Fretilin agar bersedia menjadi menteri, tapi tawaran itu ditolak. ”Fretilin tak akan bekerja sama dan tak seorang pun Fretilin bekerja dalam pemerintah ini,” kata Arsenio Bano, Wakil Ketua Fretilin. Partai itu menggugat legalitas pemerintah yang dibentuk Xanana, karena Fretilinlah yang menang pemilu pada Juni lalu meski tak memperoleh suara mayoritas sebagai syarat untuk membentuk pemerintahan.

Dalam upaya rekonsiliasi juga, Presiden Jose Ramos Horta menemui pemimpin pemberontak, Alfredo Reinado di Distrik Ermera, Sabtu 18 Agustus lalu. Pertemuan itu dimediasi oleh Pusat Dialog Kemanusiaan yang bermarkas di Jenewa, Swiss.

Myanmar Protes Harga Bahan Bakar

Sekitar 200 orang—kebanyakan perempuan—menggelar demonstrasi memprotes kenaikan harga bahan bakar di kawasan tepi Ibu Kota Yangoon, Ahad 19 Agustus. Ini merupakan demonstrasi terbesar dalam 10 tahun terakhir di negeri yang diperintah junta militer itu. ”Kami berpawai untuk memperlihatkan kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat Burma. Kesulitan itu diperparah oleh naiknya harga bahan bakar,” ujar salah seorang pemrotes. Kenaikan harga bahan bakar dua pekan lalu menyebabkan rakyat kesulitan untuk sekadar berangkat ke tempat kerja sekalipun.

Sekitar 10 pemrotes ditangkap oleh aparat keamanan berpakaian preman, dan aksi protes dibubarkan. Demonstrasi itu melibatkan pemimpin pembangkang veteran dari kalangan yang disebut Generasi Mahasiswa 88. Generasi itu merupakan pelopor gerakan prodemokrasi 1988 yang dipadamkan lewat jalan kekerasan oleh junta militer. Dua di antara yang ditangkap, Min Ko Naing dan Ko Ko Gyi, dianggap pembangkang terpenting sesudah pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi yang hingga kini masih menjalani tahanan rumah. Media pemerintah Burma menyebutkan, para aktivis itu ditahan karena mengganggu stabilitas dan merongrong keamanan nasional.

Australia Visa Kerja Haneef Dipulihkan

Pengadilan federal Australia menganulir keputusan pemerintah yang membatalkan visa Mohamed Haneef, dokter India yang ditahan karena dituduh terkait dengan serangan bom di Inggris, Selasa pekan lalu. Haneef membantah terlibat dalam terorisme meski dua sepupunya, Sabeel dan Kafeel Ahmed, ditahan di Inggris berkaitan dengan serangan bom yang gagal. Sebelumnya, pengadilan mengabulkan pembebasan Haneef setelah dakwaan terkait dengan kegiatan terorisme tak terbukti. Tapi pemerintah Australia berkeras menolak memberlakukan kembali visa kerja Haneef.

Keputusan pengadilan itu mempermalukan pemerintah Australia. Kini terbuka bagi Haneef untuk melanjutkan karier medisnya di Australia. Hal itu mungkin tidak akan langsung terjadi, sebab Menteri Imigrasi memutuskan untuk mengajukan banding terhadap putusan tersebut dan menyatakan, dia bertindak demi kepentingan nasional. ”Haneef gugur dalam proses uji karakter,” ujar Menteri Imigrasi Australia, Kevin Andrews.

Vietnam Pencari Suaka Menerobos KBRI

Lima warga negara Korea Utara—empat perempuan dan satu pria—melompati pagar Kedutaan Besar Indonesia di Hanoi untuk meminta suaka, Selasa pekan lalu. Mereka mengaku tak ingin pergi ke Indonesia, hanya ingin pergi ke satu negara bebas. Kelima orang itu tak bisa berbahasa Inggris dan Vietnam, tapi mereka sudah menyiapkan tulisan berisi keinginan mereka. Petugas badan pengungsi PBB, UNHCR, sudah datang ke kantor KBRI. ”Kelima orang itu masih ditampung di KBRI sembari menunggu hasil negosiasi penanganan lebih lanjut,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Desra Percaya, di Jakarta.

Hubungan baik Vietnam-Korea Utara membuat Vietnam repot dengan kasus ini. Juli lalu, empat warga negara Korea Utara memasuki Kedutaan Denmark di Hanoi. Biasanya pencari suaka dari Korea Utara diterbangkan ke Korea Selatan lewat negara ketiga, yang merupakan kompromi UNHCR. Kantor berita Korea Selatan memberitakan, warga negara Korea Utara itu berharap bisa pergi ke Korea Selatan. Menurut pejabat Korea Selatan, mereka akan membantu menangani pencari suaka jika ada permintaan dari KBRI Hanoi.

RFX (AP, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus