Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Koreksi atas Tulisan Tempo

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edisi khusus Tempo hari kemerdekaan soal ”Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959” sungguh mengesankan. Namun ada sejumlah kesalahan faktual yang mengganggu.

Misalnya pada tulisan pengantar di halaman 29. Disebutkan di situ bahwa pertemuan antara Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang Mayjen T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution, dan Presiden Soekarno yang menjadi serba emosional di Istana Merdeka sudah berlangsung pada Juni atau Juli 1952. Sedangkan demonstrasi terjadi pada 17 Oktober 1952. Ini tidak korek dengan yang tertulis: ”Simatupang menceritakan bagaimana beberapa hari menjelang demonstrasi tersebut….” Mengingat daya ingatnya yang kuat, agaknya T.B. Simatupang tidak akan bercerita begitu.

Soal Soekarno memaki T.B. Simatupang dalam bahasa Belanda, ”Hij poept op mij (Dia beraki saya)”, tidak begitu yang terjadi. Tolong baca lagi dengan teliti memoar T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (Jakarta, 1991), halaman 166. Di situ Simatupang menulis bahwa dia mendengar dari Sekretaris Negara A.K. Pringgodigdo betapa Soekarno menggerutu kepada kawan politiknya saat melaporkan pertemuan emosional itu. Ia lalu mengucapkan kutipan di atas itu.

Soal pengerahan massa yang dilakukan AD untuk membubarkan parlemen, agaknya perlu diterangkan. Parlemen di awal 1950-an itu adalah hasil kompromi ketika Negara Kesatuan RI dipulihkan pada 17 Agustus 1950 dan Republik Indonesia Serikat dibubarkan. Dengan kompromi itu, para wakil dari bekas daerah pendudukan Belanda menjadi anggota DPR Sementara. Ada di antara mereka yang ikut mengkritik TNI dan Menteri Pertahanan. Jadi sebaiknya dihindarkan salah paham seakan-akan AD menumpas lembaga demokrasi. Padahal yang dituntut justru pemilu berlangsung selekasnya agar terbentuk DPR secara demokratis.

Istilah SOB di akhir pengantar juga perlu diuraikan. Tak semua pembaca paham singkatan ”Staat van Oorlog en Beleg”. Ini suatu pengertian hukum tata negara: tentang ”Keadaan Darurat Perang”.

Caption foto di halaman 33 soal peristiwa 2 November 1949 pada saat penutupan KMB di Den Haag perlu penjelasan. Misalnya, Ketua Delegasi, dari kiri, Van Maarseveen (Belanda), Sultan Hamid (Negara Federal), dan Moh. Hatta (RI), sedang meneken Resolusi Induk yang memayungi sejumlah kesepakatan bersama. Di belakang tengah tampak Merle Cochran, diplomat AS anggota Komisi PBB yang menjadi Duta Besar AS pertama di Jakarta.

Penjelasan soal Dewan Banteng di halaman 48 juga tidak akurat. Di situ tertulis: ”Dewan (Banteng) menyusun Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara yang menuntut pembubaran kabinet yang dipimpin Hatta dan Sultan HB IX dalam waktu 5 x 24 jam”. Mestinya: ”… menuntut pembubaran kabinet Djuanda dan diganti dalam 5 x 24 jam dengan kabinet baru yang dipimpin Moh. Hatta dan Sultan HB IX”.

Pada halaman 80 juga ada kesalahan. Pada awal 1950-an, Letnan Kolonel Kemal Idris bukan Komandan Korps Cadangan Umum, melainkan Komandan Resimen 7/Siliwangi yang bermarkas di Merdeka Timur, Jakarta.

Caption foto pada halaman 82, ”Kepala Staf Angkatan Darat 1957; Bung Karno melantik Jenderal Mayor (Brigadir Jenderal sekarang) A.H. Nasution”, perlu diperbaiki. Sebaiknya: ”Presiden Soekarno melantik Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai KSAD untuk kedua kalinya pada 1 November 1955 (bukan 1957) di Lapangan Banteng, Jakarta. Sekaligus menaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal” (waktu itu belum ada pangkat brigjen, tapi mayjen dulu dan sekarang sama bobotnya). Demikian sejumlah koreksi dan tambahan.

SABAM SIAGIAN Redaktur Senior The Jakarta Post

Terima kasih atas koreksi Anda. —Redaksi


Koreksi untuk Tempo

Membaca laporan Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan ada yang terasa mengganggu. Terutama artikel soal permasalahan daerah di halaman 48. Menurut saya, ada yang perlu dikoreksi.

Di situ tertulis: ”Maka terbentuklah Dewan Perjuangan (gabungan dewan-dewan daerah yang ada, seperti Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, dan Permesta) yang diketuai oleh Letkol A. Husein (Dewan Banteng) pada 10 Januari 1958.”

Dewan menyusun Piagam Perjuangan untuk menyelamatkan negara yang menuntut pembubaran kabinet yang dipimpin Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX dalam waktu 5 x 24 jam, kata Sumual, Presiden malah memecat Husein dan Simbolon.

Saya tidak tahu apakah Tempo yang salah kutip atau memang Bapak Ventje Sumual yang terlupa. Sebetulnya, yang dituntut oleh daerah melalui Dewan Perjuangan adalah agar kabinet Djuanda yang inkonstitusional (karena Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet) dibubarkan atau dicabut mandatnya. Kemudian menunjuk Hatta dan Sultan HB IX untuk menjadi formatur dan memimpin kabinet baru.

Ultimatum tersebut dicetuskan di Padang, 10 Februari 1958, dengan tenggang waktu 5 x 24 jam. Jika Presiden tidak mengindahkannya, kami bebas dari wajib taat kepada Presiden RI Soekarno.

Jadi bukan kabinet Hatta-Hamengku Buwono IX yang dituntut dewan-dewan daerah supaya dibubarkan. Presidentiil kabinet Hatta adalah pada 1948 ketika pemberontakan PKI di Madiun dan PM RIS pada 1949.

Setelah tenggang waktu 5 x 24 jam habis dan Bung Karno tidak menggubris tuntutan Dewan Daerah tersebut, berdirilah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), 15 Februari 1958. Terima kasih.

H KAMARDI RAIS DT. P. SIMULIE
Ketua Umum Pucuk Pimpinan LKAAM Sumbar Jalan Diponegoro 4B, Gd. Abdul Kamil Padang

Terima kasih atas informasi Anda. —Redaksi


Silver Bird Tidak Profesional

Pada hari Minggu, 19 Agustus malam, saya dengan pesawat Garuda dari Bali tiba di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta. Teman saya keluar dari terminal dan memesan 2 taksi Silver Bird. Satu untuk dia sendiri ke kawasan Setia Budi, satunya lagi mengantar saya ke arah Pluit. Saya sendiri ada di dalam menunggu koper bawaan kami.

Kira-kira pukul 19.30 hari itu, Silver Bird memang agak jarang. Dan kami berada di posisi terdepan. Di tempat antrean ada 3 grup penumpang di belakang kami. Satu Silver Bird datang. Teman saya mengambil taksi itu karena ada urusan penting. Selang satu menit, datang taksi lagi. Seharusnya taksi itu untuk saya, tapi mereka malah memanggil penumpang di belakang saya. Kalau enggak salah ke Bintaro. Saya memprotes ke salah satu dispatcher yang melayani. Dijawab bahwa giliran saya setelah Setia Budi. Saya jelaskan, teman yang ke Setia Budi sudah mendapatkan taksi terdahulu.

Kami akhirnya berdebat. Begitu taksi tiba, eh, diberikan kepada penumpang berikutnya. Lagi-lagi saya dirugikan. Saya sendiri tidak sempat menanyakan nama dispatcher yang tidak profesional tersebut. Saya akhirnya mengeluh kepada sopir taksi yang saya tumpangi (CS762). Saya disarankan menelepon ke 021797-1245 dan melaporkan kejadian itu. Tapi telepon yang juga tercantum di airport surcharge voucher itu tak pernah diangkat, meski berulang kali dicoba dihubungi.

Kalau Blue Bird Group yang selalu dibanggakan dengan servisnya berperilaku seperti itu, apalagi taksi merek lain? Lagi pula, ini pelayanan untuk Silver Bird, yang diakui sekelas di atas Blue Bird. Suatu pengalaman yang mengecewakan.

PRAKOSO EKO SETYAWAN Email: [email protected]


Penjelasan dari ANTV

Sehubungan dengan surat Saudara Mochammad Riyadi di rubrik Surat majalah Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan Indonesia, 13-19 Agustus 2007, halaman 10, dengan judul ”Kecewa dengan ANTV”, dapat kami sampaikan bahwa permasalahan kami dengan Saudara Mochammad Riyadi merupakan kesalahpahaman dan telah diselesaikan secara kekeluargaan pada 20 Agustus 2007.

Demikian, semoga apa yang telah kami sampaikan di atas dapat diterima dengan baik dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

ZORAYA PERUCHA Head of Corporate Communications ANTV


Kecewa kepada Mantan Presiden

Bangsa Indonesia kini tengah dalam euforia peringatan detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945. Sungguh menggembirakan bagi kita sebagai bagian dari bangsa yang besar ini. Puncak rangkaian peringatan itu adalah acara seremonial di Istana Negara, Jakarta, dengan inspektur upacara Presiden Republik Indonesia. Upacara berlangsung khidmat.

Namun kekhidmatan itu terganggu dengan tidak hadirnya para mantan presiden. Padahal mereka diundang resmi oleh protokoler kepresidenan. Ada yang memang tak bisa hadir dengan alasan kesehatan, seperti Soeharto dan KH Abdurrahman Wahid. Tapi bagaimana dengan B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri?

Ketidakhadiran Mega terasa bermuatan politik. Sudah lama hubungan antara Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak sehat. Sebenarnya kita tidak memihak kepada siapa pun, hanya mendudukkan masalah yang sebenarnya. Alangkah indahnya jika para pemimpin bangsa duduk bersama dalam satu momentum kenegaraan seperti itu.

Kita bisa belajar banyak dari kasus pemilihan kepala daerah Jakarta beberapa waktu lalu. Betapa elegannya pesta demokrasi tersebut. Pemenang dan pihak yang kalah tetap berkomitmen dalam kebersamaan, tidak mengesampingkan tujuannya, yaitu memajukan DKI.

CHRISTOPER SIMANJUNTAK Taman Cilandak, Lebak Bulus Jakarta Selatan


EPA dan Niat Baik Jepang

Sejarah masa lalu memang mencatat Jepang sebagai negara koloni Asia yang terkenal galak. Indonesia kebagian tiga setengah tahun menjadi negara jajahan Dai Nippon itu. Namun, selepas itu, teramat jarang kita mendengar adanya konflik dalam hubungan bernegara antara Indonesia dan Jepang, sebagaimana terjadi pada hubungan Indonesia-Malaysia atau Indonesia-Singapura.

Romantika Indonesia-Jepang tampaknya kian hari kian manis. Itu antara lain diwujudkan melalui penandatanganan Economic Partnership Agreement (EPA) oleh Presiden Yudhoyono dengan Perdana Menteri Shinzo Abe di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Agustus 2007. Ini merupakan kabar gembira bagi Indonesia dalam mengembangkan perekonomian nasional, mengingat beberapa tahun terakhir perekonomian domestik terasa sulit sekali berkembang.

Selain oleh banyaknya kendala internal, hal itu disebabkan oleh perubahan kebijakan ekonomi dan perdagangan negara-negara lain yang kurang kondusif bagi perekonomian kita. Yang menarik adalah ia sepi dari kritik. Tak ada suara galak dari Dewan atau kalangan lain seperti layaknya perjanjian ekstradisi atau DCA antara Indonesia dan Singapura.

Mengapa? Karena kata kunci di balik EPA adalah ”niat baik”. Keamanan di Selat Malaka akan dikawal bersama agar jalur laut perdagangan dunia yang sangat padat itu bebas dari gangguan perompak, dan bea masuk bagi produk ekspor tertentu dari kedua negara akan ditekan hingga serendah mungkin. Niat baik mengandaikan ketulusan dan kejujuran—niat baik untuk saling menguntungkan, mendorong yang ”lemah” untuk maju dan mengekang yang ”kuat” agar tidak serakah.

RICARD RAJA Jalan Kejora, Tova, Kupang [email protected]


Penurunan Bendera dan NKRI

Aksi penurunan bendera Merah-Putih di Aceh menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-62 jelas-jelas dilakukan oleh orang yang tak menginginkan situasi aman setelah penandatanganan kesepakatan damai pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, 15 Agustus 2005. Aksi yang dilakukan sekelompok orang tak bertanggung jawab itu merupakan indikasi yang mengarah pada intimidasi dan teror kepada masyarakat.

Pemerintah harus memerintahkan para bupati serta wali kota di Aceh, khususnya yang mantan anggota GAM, untuk mengajak masyarakat setempat menghormati bendera Merah-Putih. Pernyataan itu disampaikan oleh mantan KSAD Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu menanggapi kasus penurunan bendera Merah-Putih di Aceh oleh sejumlah orang tak dikenal. Menurut Ryamizard, kejadian di Aceh menunjukkan penghinaan luar biasa terhadap Negara Kesatuan RI.

Insiden penurunan bendera Merah-Putih di Aceh dilakukan oleh segelintir orang yang tak suka dengan perdamaian di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Aksi penurunan bendera itu bukan mewakili seluruh rakyat Aceh. Karena itu, pelakunya menjadi musuh bersama. Polisi juga diminta segera mengungkap dan menangkap para pelakunya karena mereka sudah menghina NKRI. Masyarakat yang mengetahui diimbau memberikan informasi kepada aparat kepolisian.

AGUNG W.T. Margonda Raya 274, Depok Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus