Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU lonceng tanda sekolah usai berbunyi, para pelajar SD Negeri Percontohan 015 dan SD Negeri 010 di Jalan Blustru 5, Mangga Besar, Jakarta, berhamburan keluar. Meski siang cukup terik, mereka melangkah ceria menuju pintu pagar sambil bercengkerama.
Tapi keceriaan ratusan murid dua sekolah dasar yang menggunakan satu gedung itu cuma berlangsung singkat. Dari arah pagar sekolah tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang siswa berteriak minta tolong: ”Ada penculikan, ada penculikan….”
Kelompok anak-anak itu kaget, lalu berhamburan ke segala penjuru. Beberapa kembali ke kelas, yang lain berusaha mendekati pos satpam, ada pula yang—karena takut dan bingung—hanya berdiri mematung.
Situasi mencekam tak berlangsung lama. Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah mobil polisi dengan sirene yang meraung-raung masuk ke pelataran sekolah. Anak yang diculik dapat diselamatkan. Dua orang penculik yang menggunakan sepeda motor terborgol di jok belakang mobil polisi.
Sebuah upaya penculikan? Bukan. Itu hanya simulasi, berlangsung empat bulan lalu, melibatkan siswa-siswi sekolah dasar se-Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Inisiatif datang dari Komisi Nasional Perlindungan Anak bekerja sama dengan Kepolisian Sektor Taman Sari. ”Program itu bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya penculikan anak di wilayah ini,” ujar Kepala Polsek Taman Sari Komisaris Imam Saputra saat ditemui Tempo pekan lalu.
Meski belum ada kasus penculikan di Taman Sari, sepanjang tahun ini saja komisi tadi mencatat secara nasional telah terjadi 43 penculikan pelajar. ”Dua puluh empat di antaranya bermotif ekonomi, meminta uang tebusan,” ujar Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.
Motif itulah yang mendorong Komnas menggandeng Polsek Taman Sari dan sekolah-sekolah di kecamatan itu untuk bersimulasi. Maklum, daerah itu memiliki beberapa sentra bisnis. Cukup banyak pedagang kaya yang berusaha dan menetap di sana. Anak-anak mereka tentu saja berpotensi menjadi sasaran culik untuk pemerasan.
Simulasi itu membantu mencegah terjadinya penculikan. Pada dasarnya, ada banyak tanda kejahatan yang mudah terlihat dan bisa diantisipasi. ”Misalnya orang tak dikenal yang mondar-mandir di sekolah,” ujarnya. ”Sekadar menegur dan menanyakan tujuan mereka akan membuat mereka berpikir dua kali untuk bertindak.”
Yang sering terjadi, kata Imam, penculik membujuk anak-anak dengan permen dan cokelat atau mengaku diutus orang tua untuk menjemput. Melalui simulasi, anak-anak mendapatkan pengarahan cara menghindari tipuan semacam itu.
Coba saja iseng masuk ke beberapa SD di Mangga Besar. Tampak jelas, pengamanan sangat ketat. Untuk masuk ke kompleks SDN 015 dan 010, misalnya, pengunjung harus menjawab serentetan pertanyaan anggota satuan pengamanan di satu-satunya pintu yang terbuka: ”Ibu siapa? Dari mana? Mau bertemu siapa? Ada keperluan Apa?” Ketika Tempo menjawab hendak mewawancarai kepala sekolah, Pak Satpam minta izin untuk melihat kartu pers.
Dengan satpam yang ”galak” di pintu masuk dan tembok kukuh menjulang di sekeliling bangunan, kompleks kedua sekolah itu sebenarnya cukup aman. Tapi, dengan jumlah kasus penculikan yang terus meningkat—terakhir Raisah Ali, 5 tahun, dan Erizka Rafitasari, 16 tahun, pada 15 Agustus lalu—aturan baru kini bermunculan. Misalnya, pintu gerbang tutup setelah pukul 07.00 dan anak-anak tidak boleh keluar dari lingkungan sekolah sebelum jemputan datang. ”Ini hanya mengantisipasi agar tidak terjadi penculikan,” ujar Wakil Kepala SDN Percontohan, Jum Hadi.
Menurut Hadi, simulasi yang pernah mereka lakukan memberikan banyak pelajaran bagi sekolah untuk meningkatkan pengamanan. ”Kami mendapatkan informasi yang baik dari polisi,” ujarnya.
Di SDN 03 Mangga Besar, hanya keluarga dekat yang boleh menjemput murid. Para guru, menurut Kepala Sekolah Eka Raguna, juga selalu mengingatkan murid agar tidak mendekati orang yang tidak mereka kenal. ”Kalau ada orang asing hendak menjemput, siswa harus menolak,” ujarnya. ”Kalau perlu, laporkan orang itu ke satpam.”
Para orang tua murid senang dengan aturan baru itu. ”Karena mereka merasa aman. Supaya anak-anak mereka tidak menjadi korban penculikan,” ujar Eka.
Soal jemput-menjemput ini, Sekolah Islam Yayasan Kasih Ibu di Kompleks Deplu, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, malah lebih ketat. Wali kelas taman kanak-kanak dan SD wajib mengantarkan anak didiknya langsung bertemu dengan penjemput.
Tak hanya itu. Orang tua harus sudah memperkenalkan para penjemput itu pada setiap awal tahun ajaran baru. ”Jika suatu saat yang menjemput lain dari yang biasanya, orang tua harus melaporkannya kepada pihak sekolah,” ujar Kepala Bidang Akademik, Jaja Jamaluddin, kepada Marlina Siahaan dari Tempo News Room.
Hal serupa berlaku di Taman Kanak-kanak Teratai Don Bosco, Jalan Duta Niaga, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Kepala Sekolah Sri Antini, mereka tak segan menahan anak didik di sekolah jika orang yang menjemput bukan yang telah diperkenalkan oleh orang tua.
Di tingkat yang lebih tinggi, para guru mulai mengatur soal angkutan pulang. SMA Negeri 3, Jakarta Selatan, contohnya. Murid sekolah yang terletak di kawasan elite Setiabudi itu, Erizka Rafitasari, pernah jadi sasaran penculikan saat pulang sekolah. Dia menggunakan taksi Kosti Jaya. Bukan ke rumah, pengemudi malah membawa kabur siswi kelas XI itu. Tapi, hebatnya, hanya dalam waktu 18 jam polisi berhasil membebaskan Erizka.
”Begitu tahu Erizka diculik, kepala sekolah langsung mengimbau murid untuk berhati-hati memilih taksi,” cerita Yudi Hermunanto, wakil kepala bidang kesiswaan.
Para murid juga diwanti-wanti agar tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan. Jangan pula membawa peralatan elektronik terlalu banyak. Memang, sebagian besar murid sekolah ini berasal dari keluarga berkelas ekonomi menengah ke atas. Banyak yang sering membawa barang mewah seperti iPod, telepon seluler versi terbaru, dan perlengkapan elektronik mahal lainnya.
Pihak sekolah lalu memutuskan untuk bekerja sama dengan taksi Blue Bird. Jika ada murid yang tak dijemput, guru akan memesankan mereka taksi ini. Atas permintaan sekolah, aparat Kepolisian Sektor Setiabudi kini ketat mengawasi warung serta tempat-tempat taksi yang ngetem di sana.
Kebijakan ini mendorong murid, terutama para siswinya, untuk lebih berhati-hati. Anlin, misalnya, kini tak mau lagi pulang menggunakan taksi. ”Lebih baik saya menunggu jemputan biarpun lama,” ujarnya.
Philipus Parera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo