Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lobi-lobi demi Senjata Saudi

Donald Trump meneken penjualan senjata ke Arab Saudi tanpa persetujuan Kongres Amerika Serikat. Peran pelobi veteran Charles Faulkner.

6 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Luar Negeri Senat Amerika Serikat mengajukan rancangan undang-undang yang akan membatasi kewenangan presiden dalam menyetujui penjualan senjata dalam keadaan darurat tanpa persetujuan Kongres. Rancangan yang diajukan pada Selasa, 25 Juni lalu, itu didukung para legislator dengan sedikit penentangan dari kalangan republikan.

Rancangan yang dijuluki “Undang-Undang Darurat Palsu Arab Saudi (SAFE)” itu muncul sebagai tanggapan terhadap keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini. Trump menggunakan ketentuan darurat dalam Undang-Undang Pengendalian Ekspor Senjata untuk meneken 22 perjanjian penjualan senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tanpa pertimbangan Kongres. Penjualan produk Raytheon, pabrik senjata Amerika, itu senilai US$ 8 miliar atau Rp 113 triliun lebih. Raytheon adalah produsen senjata terbesar ketiga di dunia, setelah Lockheed Martin dan Boeing.

“Rancangan usul Partai Demokrat dan Republik ini secara langsung menangani pelanggaran-pelanggaran tersebut dengan membatasi keadaan darurat itu hanya di negara sekutu dan mitra keamanan terdekat kami,” kata Robert “Bob” Menendez, senator dari Partai Demokrat yang mensponsori rancangan ini, kepada The Hill.

Senat diharapkan segera melakukan pemungutan suara untuk memblokir penjualan senjata ke Saudi. “Undang-undang ini diharapkan mencegah kita menghadapi hal serupa pada masa depan, entah orang Republik entah Demokrat yang duduk di Gedung Putih nanti,” tutur Bob.

Trump dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyetujui 22 perjanjian penjualan senjata ke Saudi dan negara Teluk lain pada Mei lalu. Perjanjian itu termasuk ketentuan yang memungkinkan Raytheon bersama Saudi membikin misil berpemandu canggih.

Senat khawatir senjata-senjata itu akan digunakan untuk berperang di Yaman. Saudi dan sekutunya, seperti Uni Emirat, mengintervensi Yaman pada 2015 untuk memulihkan pemerintah Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi setelah pemberontak Houthi menguasai sebagian wilayah negeri itu, termasuk Ibu Kota Sanaa. Perang antara Houthi dan pemerintah Yaman dipandang sebagai perang proksi antara Saudi dan Iran.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan perang yang sudah berlangsung selama empat tahun itu telah menewaskan sedikitnya 7.000 orang dan mencederai 11 ribu lainnya. Sekitar 65 persen korban meninggal disebabkan oleh serangan udara yang dilancarkan pasukan koalisi pimpinan Saudi. Krisis kemanusiaan sedang terjadi di sana. Sebanyak 33 juta orang kehilangan tempat tinggal dan 24,1 juta—lebih dari dua pertiga populasi—warga membutuhkan bantuan kemanusiaan. PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Sejumlah media menyebut Charles Faulkner, pelobi veteran bidang pertahanan dan luar negeri, sebagai orang di balik lolosnya penjualan senjata itu. Peran Faulkner pertama kali dilaporkan The New York Times dan media investigasi The Intercept tahun lalu.

Pada September 2018, menurut The Intercept, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menghadapi penentangan internal dari sejumlah anggota staf Departemen Luar Negeri mengenai dukungan Amerika terhadap perang di Yaman. Para penentang khawatir akan korban sipil yang berjatuhan.

Namun kekhawatiran itu sirna setelah Pompeo membahas masalah tersebut dengan Biro Urusan Legislatif Departemen Luar Negeri. Anggota Biro berpendapat bahwa pembatasan dukungan Amerika justru akan membahayakan potensi miliaran dolar penjualan senjata pada masa mendatang, termasuk penundaan penjualan senjata Raytheon ke Saudi dan Uni Emirat. Pompeo akhirnya mengesahkan izin penjualan senjata itu.

Biro itu dipimpin Faulkner, Wakil Pembantu Menteri Luar Negeri. Dia membawahkan tim yang terdiri atas 30 pejabat yang bertanggung jawab atas hubungan sehari-hari dengan Kongres dalam hal legislasi, anggaran, pengadaan, dan kebijakan luar negeri. Sebelum ditunjuk Trump menduduki jabatan itu pada Juni tahun lalu, Faulkner dibayar mahal oleh Raytheon guna melobi para legislator untuk pengadaan alat pertahanan.

Heather Nauert, juru bicara Departemen Luar Negeri, membantah peran Faulkner. “Faulkner memiliki pengalaman luas dalam bekerja dengan Gedung Capitol. Namun posisi sebelumnya tidak berpengaruh pada keputusan izin akhir,” katanya. Gedung Capitol adalah kantor senator dan anggota Kongres.

Menurut The Intercept, Faulkner juga berperan mendorong pemerintah Trump memperluas cakupan Otoritas Penggunaan Kekuatan Militer 2001, resolusi yang diteken Presiden George W. Bush sebagai tanggapan terhadap serangan teroris Al-Qaidah pada 11 September pada tahun tersebut. Resolusi itu memberikan kewenangan kepada presiden untuk menggunakan militer terhadap Al-Qaidah dan “pihak-pihak terkait”.

Pada 2017, Faulkner mendorong perluasan penggunaan resolusi itu sebagai dasar hukum campur tangan militer di Timur Tengah, termasuk Suriah, yang sedang memerangi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Hal itu tecermin dalam surat Faulkner kepada Bob Corker, politikus republikan dan Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat yang mempertanyakan dasar hukum pengiriman tentara Amerika ke Suriah. Dalam surat yang dibocorkan The Intercept, Faulkner menyatakan aksi militer Amerika di Suriah itu punya dasar hukum yang cukup dan “konsisten dengan hak yang melekat dari pertahanan diri individu dan kelompok”.

Belum jelas benar seberapa besar peran Faulkner dalam lobi penjualan senjata itu, tapi Departemen Luar Negeri telah memaksa Faulkner mundur. Awal Mei lalu, Faulkner akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Wakil Pembantu Menteri Luar Negeri.

Charles Faulkner telah lama berkecimpung dalam lobi-lobi kebijakan pertahanan dan luar negeri di pemerintah dan legislatif di lingkungan Partai Republik. Sebelum malang-melintang di Washington, Faulkner bekerja sebagai panitera Komisi Pengadaan Dewan Perwakilan Rakyat Negara Bagian Virginia. Dia juga pernah menjadi asisten James Otis McCrery III, anggota DPR dari Partai Republik. Selama 2000-2002, Faulkner bekerja untuk Roy Blunt, senator republikan, di kantor deputi partai yang bertugas memastikan para legislator mendukung kebijakan partai dalam setiap sidang di parlemen.

Ketika George W. Bush terpilih sebagai presiden, Faulkner masuk Gedung Putih. Selama 2003-2009, dia menjadi Penasihat Senior untuk Masalah Legislatif di Departemen Luar Negeri. Dia rutin bekerja sama dengan para pejabat Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Perdagangan, dan Departemen Energi.

Dia kemudian menjadi Penghubung Legislatif untuk Komandan Komando Utara Amerika dan Komando Pertahanan Udara Amerika Utara. Dia mewakili kedua komando di Komisi Pertahanan dan Pengadaan di DPR dan Senat. Setelah itu, dia membantu Departemen Pertahanan dan Komando Strategis Amerika sebagai Analis Senior untuk Kerja Sama Penerapan Sains (SAIC).

Faulkner kemudian pindah ke swasta dengan menjadi rekanan di Booz Allen Hamilton, perusahaan konsultan manajemen dan teknologi informasi Amerika Serikat, yang mendukung Badan Intelijen Geo-spasial Nasional. Dia mengadvokasi program dan sistem data di Departemen Pertahanan dan lembaga-lembaga pemerintah Amerika serta negara lain.

Keluar dari Booz Allen, Faulkner menjabat Wakil Presiden BGR Government -Affairs, perusahaan pelobi bonafide internasional. “Saya senang akan membawa pengalaman saya ke sebuah firma bereputasi yang mewakili para klien ke Kongres dan pemerintah,” ucap Faulkner ketika masuk ke BGR pada akhir 2012. Menurut data media investigatif Amerika, ProPublica, selama di BGR, Faulkner melobi untuk sejumlah lembaga, termasuk Raytheon dan Airbus Group.

Anggota Kongres dari Partai Demokrat kini sedang menyelidiki apakah mantan pelobi untuk industri senjata seperti Faulkner berperan dalam keputusan Trump menjual senjata ke Saudi tanpa persetujuan parlemen. “Akan jadi masalah jika seorang mantan pelobi untuk kontraktor pertahanan terlibat,” ujar Ted Lieu, anggota DPR yang duduk di Komisi Luar Negeri DPR.

Iwan Kurniawan (The Hill, The Intercept, ProPublica, Forbes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus