Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasokan yang seret karena satwa nokturnal ini terlarang diburu dan langka mendorong harganya kian membubung. Jika nilai tiap kilogram tenggiling (Manis javanica) US$ 4.200, nilai bisnis gelap penyelundupan hewan ini mencapai Rp 3,6 triliun per tahun. Perdagangan ilegal tenggiling menempati posisi kedua setelah burung. Para pelakunya bebas berkeliaran.
DI bawah cahaya temaram lampu ruang tengah sebuah rumah di Jalan Kopi di pusat Kota Sampit, Kota-waringin Timur, Kalimantan Tengah, Rudy Susanto menjawab dengan tenang rentetan pertanyaan seputar tenggiling- dari tiga polisi gondrong yang menginterogasinya, setengah jam selepas berbuka puasa pada Mei 2019. Para polisi menduga Rudy menyimpan 13,2 kilogram sisik hewan nokturnal dengan nama Latin Manis javanica yang dilindungi itu.
Rudy, lelaki kelahiran Sambas 57 tahun lalu, menjawab semua pertanyaan polisi dari Satuan Reserse Kriminal Kotawaringin- Timur tersebut dengan runtut. Ia menjelaskan asal-usul sisik tenggiling atau trenggiling di rumahnya. “Saya mendapatkannya dari Apuy, orang Singkawang,” kata Rudy menyebut nama kota di Kalimantan Barat. “Dia meminta saya menjualkannya karena di sana tidak laku.”
Menurut Rudy, Apuy menitipkan sisik tenggiling kepadanya karena ia punya rumah makan masakan Cina di Jalan Pelita Timur, Depot 21, yang punya banyak kemungkinan bertemu dengan pembeli. Jika berhasil menjualnya, Rudy akan mendapat bagian Rp 50 ribu per kilogram. Malam itu, Rudy tengah bersiap menunggu pembeli di rumah Tjiu Sun Min, satu kilometer dari restoran Depot 21.
Harganya sudah mereka sepakati: Rp 3 juta per kilogram. Rupanya, polisi sudah mengintai gerak-gerik Rudy sehingga mereka langsung merangsek begitu ada calon pembeli tenggiling masuk ke rumah Sun Min. Ia dan Rudy tak berkutik, sementara pembeli tersebut berhasil kabur. Kepada polisi, Sun Min mengatakan hanya mendapat titipan sisik tenggiling dari Rudy.
Manis-Pahit Tenggiling Kita/istimewa
Informasi bahwa Rudy menjadi penampung sisik tenggiling diperoleh polisi dari Sri Kasmiyati, yang ditangkap dua jam sebelumnya di Sampit. Di rumah perempuan 41 tahun yang sehari-hari berjualan pelbagai jenis satwa liar itu ditemukan sisik tenggiling setengah kilogram.
Kepada Tempo, Sri mengaku sudah tiga kali memasok tenggiling kepada Rudy, masing-masing 10 kilogram tenggiling hidup dan sisik seberat 1 kilogram. Ia menjual Rp 1,2 juta per kilogram untuk sisik dan Rp 120 ribu untuk tenggiling hidup. “Dulu bisa jual sampai 5 kuintal,” ujarnya.
Rudy kini mendekam di jeruji Kepolisian Resor Kotawaringin Timur dan terancam hukuman penjara maksimal 5 tahun serta denda Rp 100 juta seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Adapun Sri menangis ketika Tempo menemuinya. Ia meraung-raung meminta dibebaskan. “Saya punya tiga anak, satu masih sekolah,” Sri merengek.
Seorang polisi bercerita, dalam pemeriksaan, Rudy sempat menyebut nama Udong bin Kadus, tersangka kepemilikan sisik tenggiling seberat 3,2 kilogram. Ia ditangkap polisi di Melawi, Kalimantan Barat, awal Maret 2019. Kepada penyidik, lelaki 23 tahun itu mengaku hendak menjual sisik tersebut kepada Michael Kim alias Asin, pengepul besar daging dan sisik tenggiling di Pontianak.
Manis-Pahit Tenggiling Kita/ANTARA/Irsan Mulyadi
Udong sempat mengirim pesan kepada Asin tak lama setelah diciduk. Dari salinan percakapan telepon Udong yang sempat Tempo lihat dan kini disita polisi, ia mengabarkan kepada Asin ihwal penangkapannya itu. “Stop bos, kena,” tuturnya.
Kepada polisi, Udong mengaku punya perjanjian dengan Asin tiap kali selesai bertransaksi sisik tenggiling, yakni menghapus semua percakapan di telepon seluler. Udong kini ditahan di penjara Sintang, sementara Asin masih diburu. Ia tak pernah pulang ke rumahnya di Pontianak sejak penangkapan Udong.
Akiam, istrinya, mengkonfirmasi bahwa Asin menghilang sejak empat bulan lalu. Pernah sekali Asin meng-hubunginya lewat pesan pendek, mengabarkan bahwa ia berada di sebuah tempat yang tak terjangkau sinyal. Ia berjanji meng--hubunginya melalui panggilan telepon. “Saya tak tahu bisnis dia apa, sudah stres saya menunggunya,” ucap perempuan 52 tahun itu.
Tiga tahun lalu, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama polisi menangkap Linawati Siaw di rumahnya di Jalan Tanjungpura, Pontianak Selatan. Di rumah itu, petugas menemukan 200 kilogram daging tenggiling terbungkus rapi tersimpan di dalam lemari pendingin. Daging seberat itu diperkirakan berasal dari 200 hewan karena berat rata-rata tenggiling Sunda dewasa 4,9 kilogram. Sebanyak 20 persen atau 1 kilogram dari berat tubuhnya adalah sisik yang keras.
Kepada polisi, Linawati mengaku daging tenggiling 2 kuintal itu akan dikirim suaminya, Alexander alias Along, ke Jakarta. Dari Ibu Kota, Along akan menyelundupkannya ke Cina lewat jalur laut. Sejak pe-nangkapan istrinya itu, Along menjadi buron hingga sekarang. “Kami masih mengejarnya,” ujar Kepala Seksi Balai Penegakan Hukum Wilayah III Pontianak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan -David Muhammad.
Manis-Pahit Tenggiling Kita/ANTARA/Sheravim
Banyak orang seperti Along dan Asin di Pontianak. Mereka, David menjelaskan, memperoleh tenggiling dari pengepul lokal asal Melawi, Sintang, Sandai, Ketapang, dan Bengkayang. Menurut dia, jaringan Pontianak umumnya hanya menjual sisiknya. Daging tenggiling sebagian besar dipasok ke restoran-restoran lokal yang menyajikannya secara sembunyi-sembunyi.
Dari Pontianak, selain ke Jakarta, para pengepul mengirimnya ke Surabaya, serta ke Cina lewat Malaysia melalui Sarawak dan Sabah. Marison Gauciano, pegiat anti-perdagangan satwa yang pernah menelusuri jalur perdagangan tenggiling dari Kalimantan ke Malaysia, menyebutkan sisik tenggiling masuk ke Malaysia melalui pintu-pintu imigrasi resmi, seperti Entikong, sebelum Sarawak. Para penyelundup bisa lolos dari pemeriksaan karena mencampurkan sisik tenggiling, ikan, serta hasil bumi seperti lada dan kopi.
Di Sarawak, kata Marison, sudah ada pengepul besar di Tebedu yang siap menampung sisik-sisik itu. Adapun daging tenggiling beku dan tenggiling hidup diselundupkan lewat jalur-jalur tikus di Senaning- dan Lubok Antu. Para pengepul tak berani membawanya lewat imigrasi karena gampang tercium. “Ujungnya, tenggiling dikirim ke Cina,” ujar Marison.
TENGGILING begitu populer di luar negeri. Di pasar internasional, harga 1 kilogram daging hewan liar itu US$ 1.200, sementara sisiknya US$ 3.000 atau Rp 42 juta dengan kurs Rp 14 ribu. Di tingkat pemburu di Indonesia, daging tenggiling hanya dihargai Rp 150-300 ribu per kilogram, sementara sisiknya Rp 1,3-1,5 juta.
Cina menjadi negara dengan tingkat permintaan paling tinggi dibanding Vietnam ataupun Hong Kong. Sebab, di negara itu konsumsi tenggiling dilegalkan sejak 2007. Penduduk Tiongkok memakan dagingnya dan meramu sisiknya untuk bahan obat serta kosmetik, bahkan bahan campuran narkotik. Sisik tenggiling dipercaya bisa menumbuhkan syahwat dan memuluskan kulit.
Menurut catatan Traffic.org, lembaga nirlaba yang meneliti perdagangan satwa, sejak tak ada larangan memakan tenggiling,- sisik yang masuk ke Cina dalam delapan tahun mencapai 26,6 ton atau berasal dari 26.600 tenggiling. Ini jumlah sisik yang tercatat di pintu imigrasi.
Manis-Pahit Tenggiling Kita/Tempo/Erwan Hermawan
Sisik yang masuk ke Cina secara ilegal dari luar negeri lebih banyak, mencapai 34,9 ton, paling besar berasal dari Indonesia. “Indonesia menjadi sumber bahan baku terbesar,” kata Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sustyo Iriyono.
Di Indonesia, tenggiling melimpah-ruah. Habitat hewan tersebut terentang dari Sumatera, Kalimantan, hingga Jawa. Perburuan tenggiling makin masif saat peralihan musim hujan ke kemarau, ketika banyak daun meranggas yang mengundang populasi semut. Saat itulah tenggiling ke luar sarang mencarinya.
Dengan lidahnya yang bisa menjulur hingga sepertiga panjang tubuhnya—rata-rata 59 sentimeter—tenggiling Sunda bisa merogoh semut sampai jauh ke lubang terdalam. Menurut Sustyo, tenggiling adalah satwa penyeimbang ekosistem karena menjadi predator bagi hama tanaman seperti kelapa sawit.
Dari catatan Sustyo, pemburu tenggiling- bukan hanya petani yang bersirobok dengan hewan ini di kebun atau jalan dekat permukiman sekitar hutan, tapi juga pemburu dari kota yang memiliki jaringan dengan pengepul kecil dan besar. Sampai tingkat pengepul besar, jaringan mereka tertata rapi dengan modus MM: memburu dan menampung.
Operasi-operasi tim penegakan hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta polisi harus menangkap pem-buru di lapangan dulu untuk bisa menjangkau pengepul hingga penyelundup tenggiling- ke luar negeri.
Selain melalui pelabuhan tikus dan pintu-pintu imigrasi darat, tenggiling keluar dari Indonesia melalui pelabuhan ekspor seperti Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, dan Belawan di Medan. “Medan, Surabaya, dan Pontianak merupakan tempat transit tenggiling terbesar sebelum dikirim ke luar negeri,” ujar juru bicara Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo.
Manis-Pahit Tenggiling Kita/Tempo
Menurut Dedi, di Surabaya dan Medan, modus para penyelundup menyamarkan daging dan sisik tenggiling dengan daging ikan beku, cumi beku, dan tiram. Pada 23 April 2015, polisi menciduk Soemiarto Budiman yang hendak menyelundupkan 5 ton daging tenggiling beku, 95 tenggiling hidup, dan 77 kilogram sisik tenggiling ke Cina dari Belawan.
Di lokasi penangkapan di kompleks pergudangan niaga Malindo KIM I, Medan Deli, Medan, sekitar 22 menit dari Pelabuhan Belawan, polisi menemukan daging tenggiling sudah tercampur dengan ikan beku yang terbungkus rapi di dalam kotak pendingin. Dalam persidangan Soemiarto mengaku, sehari sebelum tertangkap, ia sempat mengirim 5 ton daging tenggiling ke Malaysia dan Cina melalui jalur laut dan udara. Dua hari sebelumnya, ia mengirim 4 ton.
Soemiarto tidak sendirian. Ia terhubung dengan Octoduti Saragi Rumahorbo, salah seorang direktur di Royal Brewhouse International, produsen minuman beralkohol, di Medan. Sepanjang 2013-2014, Octoduti terdeteksi mengirim uang Rp 976 juta kepada Soemiarto. Penegak hukum menduga uang tersebut terkait dengan jual-beli tenggiling.
Pada periode yang sama, Soemiarto menerima Rp 38 juta dari orang bernama Robert- Ongah alias Atiam. Hasil penelusuran penegak hukum menemukan Robert- adalah pemilik PT Tetap Jaya, perusahaan ekspor ikan beku yang berkantor di Medan.
Polisi menengarai Soemiarto, Octoduti, dan Robert adalah trio dalam bisnis ini. Kepada Tempo, Octoduti mengaku sangat mengenal dekat Robert karena memodali- dan mendirikan Royal Brewhouse, tapi menyanggah jika disebut berbisnis tenggiling- yang ilegal. “Bisnis kami hanya minuman,” katanya melalui telepon.
Soemiarto sudah bebas setelah divonis satu setengah tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 2017. Ketika didatangi ke rumahnya di Tambora, Jakarta Barat, ia tak ada. “Sedang ke luar kota,” ucap Tjhai Yi Ching, istrinya. Menurut dia, Soemiarto jarang pulang dan ia serta anak-anaknya tak bisa menghubungi karena sang suami selalu berganti nomor. Sepekan lalu, Soemiarto menelepon dari Lampung. “Setahu saya dia sudah tak kerja dengan orang Medan itu lagi.”
Pada pertengahan Juni 2017, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera bersama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menggagalkan penyelundupan 1 ton tenggiling di pergudangan 77 Titi Papan, Medan Belawan, Medan. Aparat menduga SDM sebagai dalang di balik penyelundupan itu. Hingga kini, polisi tak berhasil menangkapnya.
Dugaan polisi muncul karena SDM pernah menjadi saksi Soemiarto di pengadilan. Lagi-lagi nama Robert Ongah muncul dalam penelusuran jaringan SDM. Robert diduga mengirim uang sekitar Rp 800 juta kepadanya pada 2015. Pe-nelusuran aparat penegak hukum menemukan bahwa SDM ternyata karyawan UD Sumber Laut Utama, perusahaan ekspor ikan milik Robert, dengan alamat yang sama dengan lokasi penangkapan Soemiarto di Medan Deli.
Selain ketiganya, ada satu nama yang muncul dalam jejaring itu yang kini diuber polisi: Edy Soerja Susanto. Namanya muncul karena penegak hukum mengendus rekeningnya menerima Rp 31 miliar dalam beberapa kali transfer dari Robert. Dari rekening Edy, uang itu masuk ke para pengepul satwa liar yang belakangan tertangkap.
Manis-Pahit Tenggiling Kita/Tempo
Rumah Edy di Jalan Tilak, Medan, kini kosong. Seorang tetangganya mengatakan Edy tak lagi tinggal di situ sejak enam bulan lalu. Dari spanduk di depan rumah, Edy hendak menjual atau menyewakannya. Ia bisa dikontak lewat telepon, tapi menyangkal terlibat dalam bisnis ilegal tenggiling di Medan. “Saya tak kenal Robert Ongah,” ujarnya, lalu menutup telepon.
Adapun Robert tak kunjung terlihat di rumahnya yang tujuh lantai di Jalan Flores, Medan, selama dua pekan lalu. Para penjaga rumah mengatakan Robert sedang tak ada di Medan. Kurniawan, asisten Robert, meminta Tempo mengatur wawancara melalui Chairum Lubis. Melalui telepon dengan Chairum, Robert bersedia diwawancarai. Tapi janji itu hampa selama sepekan ditunggui. “Masih di Jakarta,” tutur Chairum tanpa menjelaskan detail.
Robert rupanya menyambangi kantor Royal Brewhouse di Sedayu Square, Jakarta Barat, sejak Selasa, 2 Juli lalu. Seorang karyawannya menolak memberikan nomor telepon atau alamat surat elektronik Robert, tapi memastikan surat permohonan wawancara sudah sampai ke tangan bosnya itu. “Saya mewakili Pak -Robert,” kata karyawan yang menolak menyebutkan namanya tersebut. “Beliau no comment dan semua pertanyaan dalam surat permohonan wawancara itu salah.”
Edy Susanto adalah simpul penting hubungan Robert Ongah dengan orang-orang yang ditengarai berada dalam bisnis ini. Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae mengatakan mereka yang berada di dalam lingkaran transaksi tenggiling terendus berhubungan dengan Togiman, terhukum mati kasus narkotik yang punya rekening Rp 6,4 triliun. “Ada kaitan antara perdagangan tenggiling dan narkoba,” ucap Dian.
Juru bicara Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, menilai modus perdagangan tenggiling sudah mirip perdagangan narkotik: berjejaring dan lintas negara. Tapi, meski sudah bisa menyimpulkan modus dan memetakan mereka yang terlibat, polisi belum menyentuh orang-orangnya. “Kami masih menyelidikinya,” ujar Dedi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo