Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mahathir dan gsp

Mahathir mohamad mengakui, ia membebaskan tahanan politik, diantaranya v. david, guna menjaga gsp (gene ralized system of preferences) malaysia agar tak dicabut oleh as. david tetap dalam pengawasan polisi.

18 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

~PERDANA Menteri Mahathir Mohamad tak putus dirundung rongrongan. Setelah kasus pemberhentian (sementara) Ketua Mahkamah Agung Tun Saleh Abbas, ada pula kasus V. David. Tersebut terakhir merupakan kasus yang diduga punya kaitan dengan perdagangan Malaysia--AS. Dan bila ini benar, kartu AS yang disebut GSP (Generalized System of Preferences - hak istimewa dalam perda~gangan) tampaknya memang ampuh untuk mempengaruhi negara lain, terutama negara sedang berkembang. Adalah David, Sekjen Persatuan Serikat Buruh Malaysia (MTUC), yang juga anggota pimpinan Partai Aksi Demokrasi (DAP), partai oposisi, yang tahun lalu menuduh pemerintahan Mahathir, "terlibat dalam pelanggaran besar hak asasi manusia." Dalam kongres Federasi Buruh dan Persatuan Organisasi Industri AS (AFL-CIO), waktu itu, David mengimbau agar GSP Malaysia dicabut saja, bila Mahathir tak melepaskan tahanan politik Malaysia. Ini mengherankan. Yang akan terkena secara langsung, bila pemerintahan Reagan benar-benar mencabut GSP Malaysia, adalah 395 perusahaan dengan 75.000 karyawannya. Dan kalau sektor pertanian dihitung ke dalamnya, itu melibatkan 900 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja yang tentunya lebih banyak. Maka, dengan menyatakan keheranan karena David adalah tokoh serikat buruh Datin Paduka Rafidah, Menteri Perdagangan dan Industri Malaysia, mengatakan bahwa memang Malaysia akan sangat terpukul apabila seruan David lewat AFL-CIO diluluskan. Tahun lalu saja volume ekspor Malaysia dengan adanya GSP mencapai M$ 878 juta (sekitar Rp 570 milyar). Itu merupakan 11% dari seluruh ekspor Malaysia yang berjumlah M$ 7,4 milyar. Tapi, kata Rafidah, "bagaimana mungkin seorang pemimpin serikat buruh melakukan langkah yang membahayakan kehidupan buruh yang seharusnya ia perjuangkan?" Tindakan David dinilainya, tak~ bedanya dengan peng~khianatan terhadap negara, bukan saja terhadap para pekerja. Itu soalnya, berdasarkan ISA (Internal Sec~urity Act, undang-undang keamanan dalam negeri), sepulang dari AS, Oktober lalu David ditahan. Seperti diketahui, penahanan berdasarkan ISA tak dilanjutkan dengan pengadilan bila pemerintah Malaysia tak memandang perlu. Tertuduh hanya akan diselidiki oleh sebuah tim peneliti, "apakah ia sudah menyadari kesalahannya dan tak akan berbuat onar lagi." Bila memang demikian, tertuduh akan dibebaskan dengan syarat. Tak jelas apa yang terjadi pada diri David. Yang pasti, awal bulan ini pihak AFL-CIO menyerahkan imbauan tertulis ke Perwakilan Perdagangan AS (USTR), agar GSP Malaysia dicabut bila negara itu tak menjamin hak buruh yang diakui internasional. Dan dua hari kemudian, 3 Juni, David dibebaskan dari tahanan politik di Taiping, Negara Bagian Perak, bersama 6 orang yang juga ditahan berdasarkan ISA. Para pengamat politik di Malaysia dengan gampang menghubungkan pembebasan itu dengan imbauan AFL-CIO. Dan agar tak mencolok, David tak dibebaskan sendirian. Untuk kasus ini, berbeda dalam kasus dengan Tun Saleh Abbas, ternyata Mahathir mengakui bahwa pembebasan David memang berkaitan dengan ancaman AS akan mencabut GSP Malaysia. Kedubes Malaysia di Washington menerima surat AFL-CIO agar David dibebaskan. Bila tidak, AS akan memboikot pasaran komoditi - termasuk bahan mentah - Malaysia di Amerika. "Kami tak bisa melawan," kata Mahathir kepada para wartawan di Malaysia. "Akibatnya tak akan cuma dirasakan oleh pemerintah, tapi sejumlah pabrik akan terpaksa tutup, para pekerjanya pun menganggur." David, yang tetap dilarang keluar dari Kuala Lumpur tanpa izin polisi, lalu menawarkan jasa kepada pemerintahnya. Ia bersedia meminta AFL-CIO menarik petisinya kalau pemerintah membebaskan semua tahanan politik. Sambil ia menjelaskan bahwa ketika di AS ia tak menyinggung-nyinggung soal GSP. Ia hanya bicara soal pelanggaran hak asasi oleh pemerintah Malaysia. Tapi semudah itukah AFL-CIO mencabut kembali petisinya? Dan segampang itukah pemerintah AS mencabut GSP? John Munjo? duta besar Amerika untuk Kuala Lumpur, tak membenarkan hal itu. "Di Amerika, siapa pun dan organisasi apa pun punya hak mengajukan petisi. Tapi Gedung Putihlah yang menentukan setiap kebijaksanaan," kata Munjo. Soalnya kini, kata Munjo, AFL-CIO bukan organisasi sembarangan. Organisasi serikat buruh itu besar dan punya pengaruh kuat di masyarakat Amerika. Maka, meski David sudah dibebaskan, pemerintah Amerika tetap akan mempelajari petisi AFL-CIO pertengahan bulan depan. Akan dipertimbangkan apakah GSP Malaysia memang perlu dicabut atau tidak. Bisa saja Amerika membatalkan GSP Malaysia dengan alasan lain. Misalnya, Malaysia dianggap sudah tak memerlukannya lagi karena ekonominya yang makin sehat. Pertimbangan itulah yang jadi dasar pemerintahan Reagan mencabut GSP Singapura. Apa pun keputusan Gedung Putih sehubungan dengan petisi AFL-CIO, tampaknya GSP pun bisa diperalat oleh lembaga di luar pemerintah Amerika, misalnya organisasi-organisasi buruh, guna mendesakkan pelaksanaan hak-hak asasi di negara lain. A. Dahana, ~ E~kram H. Attam~imi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus