JO MALACRIA dan Roseanne Detrafford, dua warga New York, suatu hari di bulan lalu menulis yes pada terminal komputer. Lalu sah-lah mereka sebagai suami-istri. Orang-orang durhakakah mereka, hingga mengesahkan pernikahan cukup dengan mesin meskipun namanya mesin pintar? Sabar, di abad manusia telah bisa menembus langit kini, harap hati-hati melihat yang terlihat dan yang ada di baliknya. Jo dan Ro demikian panggiian pengantin baru itu--benar-benar melakukan pernikahan memenuhi syarat: ada pendeta, ada saksi, serta sejumlah hadirin, bahkan, dari berbagai negara. Masalahnya memang, berkat teknologi, pendeta, saksi, dan yang lain-lain itu tak terlihat. Ini juga bukan lantaran mereka bisa menghilang, karena ilmu gaib. Duduk soalnya, Jo dan Ro adalah an~~ggota klub Executive Net~work (E.N), klub jaringan komputer. Klub ini mirip kelompok ngebrik dengan CB, yang pernah populer di Indonesia. Scmua anggota dapat berkomunikasi lewat komputer masing-masing yang dihubungkan dengan telepon. Tentu saja telepon itu terlebih dahulu dilengkapi dengan yang disebut modem, perangkat khusus agar komputer dapat berkomunikasi lewat telepon. Beberapa bulan lalu Ro, sebagai anggota baru, mengirim pesan ke komputer sentral EN, menyatakan ingin berkenalan dengan anggota lama. "Jo, salah satu yang membalas pesan saya dan kami tcrus berkomunikasi," tutur Ro. Akan tetapi, lama-lama, canda terbatas lewat mata ('kan masing-masing membaca layar terminal komputer) dirasa kurang mesra. Memang, misalkan ada kata-kata Jo yang lucu, Ro pun bisa menjawab, "Gua ketawa karena kata-kata lu." Atau, Jo misalnya, karena kata-kata Ro yang jenaka, lalu menulis, "Ha-ha hi-hi." Komputer disisihkan, mod~em pun dilepas. Mereka langsung bicara lewat telepon. Maka, tawa lawan bicara jadi masuk kuping, bukan cuma mata. Toh, ini pun belum bisa mesra, karena tetap, misalnya, tak bisa saling mencolek. Akhirnya, mereka bertemu, setelah berdialog lewat mata dan telinga. Namun, harap maklum, Jo dan Ro rupanya tipe orang yang tak bisa melupakan jasa sahabat lama. "Sementara itu, kami masih terus saling mengirim pesan lewat komputer," tutur Ro. Itulah, begitu keduanya memutuskan untuk menikah, ide ccmerlang datan~g dari para anggota klub EN yang lain: mengusulkan agar upacara pernikahan itu dilakukan lewat jaringan komputer. Jo dan Ro pun setuju. Maka, pada hari itu kedua mempelai bersanding seperti biasa, cuma di hadapan mereka bukan kadi atau pendeta, mclainkan terminal komputer. Lalu di mana pendeta dan saksi dan hadirin? Mereka tersebar di mana-mana, bahkan ada yang di Prancis dan Australia. Sementara itu, di terminal pusat di New York "dialog" antara pendeta dan pengantin terpampang di layar raksasa disaksikan para pengurus klub. Selesai upacara yes, I do itu, maka kata, eh, tulis, pendeta di layar komputernya, "Anda dipersilakan mencium mempelai wanita." Tentu, "hadirin" tak bisa menyaksikan adegan ini. Mungkin Jo dan Ro cukup mengetik di komputernya: "Cup, cup, cup ...." Adapun raison d'etre-nya, alias sebab awal semua itu, adalah karena Jo dan Ro pemalu, maka mereka sulit mendapatkan jodoh. Kami berdua sangat pemalu. Jika bukan karena komputer, kami tak akan bisa saling kenal," kata Ro. Memang, ini pernikahan tanpa pesta - kita juga tak tahu apakah ~kedua mempelai mengenakan pakaian pengantin. Cuma jangan kira ini pernikahan hemat. Sebab, ongkos telepon 'kan mesti dibayar. Soalnya, apakah itu ditanggung pihak pengantin atau hadirin" membayar sendiri-sendiri, kata Eric Mauss, seorang pengurus EN, "Saya juga tak tahu cara mereka membayar rekening teleponnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini