Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDUNG. Matahari seperti enggan menampakkan diri di cakrawala Paris, Ahad pekan lalu. Dingin tercatat di termometer: 17 derajat Celsius, anjlok dari 32 derajat pada hari sebelumnya. Tapi hari yang redup itu tak menghalangi penduduk St. Denis, salah satu kantong imigran tertua di ibu kota Prancis itu, merayakan kehangatan fête des mères (Hari Ibu). Jalanan penuh orang membawa bunga sambil menggandeng kekasih, istri, atau ibu mereka ke toko perhiasan, mematut-matut di cermin, dan setelah itu saling berangkulan, berciuman. Tak sedikit pun terasa aroma politik.
Padahal, hari itu sedang berlangsung peristiwa bersejarah yang bisa mengubah masa depan Eropa. Sebuah referendum untuk mengesahkan atau menolak Konstitusi Eropa sedang berlangsung di seantero negeri. Namun, tempat-tempat pemungutan suara umumnya tampak sepi. Di sebuah kawasan pinggiran kota, misalnya, hanya 42 persen yang menggunakan hak pilihnya.
Dan benar saja. Ketika hasil referendum diumumkan, kubu penentang konstitusi bersorak riang. Rakyat Prancis menolak. Sekitar 54,87 persen suara menyatakan "non", sementara hanya 45,13 persen suara memilih "oui". Hasil ini sesuai prediksi belasan jajak pendapat prareferendum yang meramalkan kemenangan penentang konstitusi.
Konstitusi Uni Eropa dimaksudkan untuk mengikat 25 negeri anggotanya menjadi semacam federasi "Eropa Baru". Di samping menyetujui bendera dan lagu kebangsaan, konstitusi itu juga akan menjadi dasar penyatuan ekonomi lebih padu serta memperkuat otot diplomasi Eropa seperti layaknya sebuah negerilengkap dengan presiden dan perdana menteri. Menyatukan 450 juta penduduk, Uni Eropa diharapkan menjadi rival sebanding untuk NAFTA (North American Free Trade Agreement), sebuah blok perdagangan di seberang Atlantik yang beranggotakan Amerika Serikat, Ka-nada, dan Meksiko.
Penolakan itu merupakan tamparan keras bagi Presiden Prancis Jacques Chirac, salah satu promotor penyatuan Eropa paling gigih. Ia menjadi presiden kedua setelah Charles de Gaulle yang mengalami kekalahan dalam sebuah referendum. Tragisnya, secara historis Prancis adalah pendiri Komunitas Energi Atom Eropa serta Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa (1951) yang menjadi cikal bakal terbentuknya Masyarakat Uni Eropa. Tak mengherankan bila Chirac menjadi gamang melihat hasil ini. "Akan sulit bagi kita mempertahankan kepentingan Prancis di depan Uni Eropa nantinya," ujarnya. Konstitusi Eropa hanya akan berlaku bila 25 negara anggota setuju untuk meratifikasi, baik melalui referendum terbuka seluruh rakyat maupun keputusan parlemen masing-masing.
Bak bola biliar, penolakan ratifikasi itu terus menggelinding, menyodok Perdana Menteri Jean-Pierre Raffarin menuju liang kejatuhan. Sehari setelah referendum, dia mengundurkan diri. "Keputusan ini tak ada kaitannya dengan hasil referendum," katanya.
Ucapan itu mengandung kebenaran. Referendum tampaknya memang digunakan penduduk sebagai sarana menyalurkan ketidakpuasan terhadap kebijakan Raffarin ketimbang penolakan esensial terhadap Konstitusi Eropa yang rancangannya justru diprakarsai Valéry Giscard d'Estaing, salah seorang idola dan mentor politik Raffarin.
Raffarin, politisi berusia 56 tahun dari Partai Liberal Demokrat, menjadi korban dari strateginya yang terlalu bersemangat untuk meliberalisasi ekonomi. Paket restrukturisasi sistem pensiun yang ia perkenalkan dua tahun lalu menuai aksi pemogokan nasional. Liberalisasi ekonomi yang hendak digenjot Raffarin juga membuat angka pengangguran meroket sampai menembus dua digit (10,2 persen) dua kali lipatnya di Inggris, negeri tetangga sekaligus musuh abadi mereka. Pertumbuhan ekonomi Prancis pada 2004 juga hanya 2 persen, tertinggal oleh Inggris yang mencapai 3 persen.
Sebelum jatuh, pamor Raffarin memang sudah anjlok ke titik terendah: 76 persen masyarakat tidak puas dengan kebijakannya. Ini salah satu rekor terburuk Perdana Menteri Prancis sejak Republik Kelima terbentuk pada 1958. Kursinya segera diberikan Chirac kepada Menteri Dalam Negeri Dominique de Villepin. Chirac berhitung, sosok de Villepin yang mencuat sewaktu menjabat Menteri Luar Negeri karena bisa dengan lantang bilang "non" terhadap ajakan Amerika Serikat untuk menyerang Irak, akan bisa mengurangi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah.
Namun, kerusakan telah terjadi dan berakibat luas bagi Eropa. Apalagi, referendum di Belanda yang berlangsung tiga hari kemudian juga menghasilkan penolakan yang sama. Angkanya bahkan lebih tinggi, 61 persen penduduk menolak ratifikasi. Menteri Luar Negeri Inggris Jack Straw tak kalah bingung. "Penolakan ganda itu membuat kita bertanya-tanya ke mana arah Eropa setelah ini." katanya.
Tidak semua negeri menolak konstitusi itu, sebenarnya. Pekan lalu, parlemen Latvia, satu republik pecahan Soviet yang baru setahun menjadi anggota Uni Eropa, menyetujui Konstitusi. Namun, penolakan Prancis dan Belanda sangat berarti. Dan ketakutan kini menjalar ke mana-mana.
Perdana Menteri Luxemburg Jean-Claude Juncker, yang kini menjabat Presiden Uni Eropa, bersumpah akan mundur jika referendum di negerinya menolak Konstitusi. Beberapa jajak pendapat menunjukkan peningkatan suara "tidak" di negeri itu, yang sedianya akan menyelenggarakan referendum pada 10 Juli. "Jika lima negeri menolak, proyek Eropa ini matilah sudah," kata Juncker.
Namun, kekecewaan terhadap kemungkinan matinya "Eropa Baru" terutama menonjol di sejumlah negara yang kini sedang antre menjadi anggota: Bulgaria, Rumania, Ukraina, Kroasia, dan Turki. Penolakan Konstitusi akan berpengaruh pada nasib keanggotaan mereka.
Di samping materi Konstitusi yang dikhawatirkan menyusutkan kedaulatan negara masing-masing, publik Eropa memang juga risau terhadap keanggotaan yang terlalu luas. Anggota baru dikhawatirkan akan memperluas isu imigrasi serta benturan budaya dan agama, khususnya menyangkut Turki yang mayoritas penduduknya muslim.
Di Inggris sendiri, setelah melihat hasil di Prancis dan Belanda, suara untuk menghentikan proses referendum makin nyaring terdengar. Padahal, posisi Inggris sangat genting mengingat negeri itu akan menerima giliran menjabat Presiden Uni Eropa mulai Juli mendatang.
Akankah "Eropa Baru" layu sebelum berkembang? Pertemuan puncak Uni Eropa dua pekan lagi akan membahas isu penting itu, termasuk kemungkinan menunda proses ratifikasi dan merevisi ulang dokumen konstitusi. "Kami menghadapi masalah serius," ujar Ketua Komisi Eropa Jose Manuel Barroso.
Akmal Nasery Basral (Jakarta), Nuria Widyasari (Paris)
Konstitusi Eropa dalam Kalender
18 April 1951: Prancis, Jerman, Italia, Belgia, Belanda, dan Luxemburg meneken Perjanjian Paris untuk membentuk Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa (ECSC) serta Komunitas Energi Atom Eropa (Euratom).
25 Maret 1957: Negara-negara yang sama membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa di Roma (EEC) melalui Perjanjian Roma.
8 April 1965: Di Brussels, Belgia, struktur organisasi ECSC, Euratom dan EEC dipersatukan melalui Perjanjian Merger. Istilah Uni Eropa (UE) mulai terdengar.
7 Februari 1992: Uni Eropa dibentuk melalui Perjanjian Maastricht di Belanda. Anggota bertambah menjadi 12 negara: enam negara pendiri serta Inggris, Denmark, Irlandia (bergabung 1973), Yunani (1981), Spanyol dan Portugal (1986). Austria, Finlandia dan Swedia bergabung pada 1995.
2 Oktober 1997: Perjanjian Amsterdam yang mengamendemen Perjanjian Maastricht ditekenmenekankan hak-hak dasar masyarakat Eropa.
14-15 Desember 2001: Deklarasi Leaken memutuskan membuat Konstitusi Eropa. Dibentuk sebuah lembaga Konvensi Eropa diketuai mantan Presiden Prancis (1974-1981) Valéry Giscard d'Estaing. Draf konstitusi mulai disusun.
1 Februari 2003: Perjanjian Nice yang membenahi struktur UE untuk menanggapi perluasan anggota UE mulai diberlakukan.
1 November 2006: Konstitusi Eropa diberlakukan dengan syarat sudah diratifikasi oleh seluruh anggota.
Apa yang Baru dari Konstitusi Eropa?
Merupakan gabungan dari berbagai perjanjian yang pernah ada. Tidak membuat UE menjadi negara serikat seperti Amerika dan tidak menghapus kesepakatan-kesepakatan terdahulu, kecuali beberapa ketentuan baru:
- Subyek yang bisa diputuskan tanpa perlu mendapat persetujuan dari setiap negara anggota bertambah, misalnya kebijakan imigrasi dan suaka. Cuma dibutuhkan voting yang disetujui oleh 55 persen wakil dari negara-negara anggota, yang mewakili 65 persen warga UE. Dalam hal pertahanan, kebijakan luar negeri, dan pajak, setiap negara dapat menerapkan kebijakan masing-masing.
- Presiden Dewan Eropa tidak lagi digilir, melainkan dipilih. Masa jabatannya diperpanjang dari enam bulan menjadi 2,5 tahun dan bisa dipilih ulang.
- Ada pos baru, yakni Menteri Luar Negeri Uni Eropa, dengan masa jabatan selama lima tahun.
- Anggota Komisi Eropa akan dirampingkan pada 2014 menjadi hanya dua pertiga jumlah negara anggota. Saat ini ada 25 komisioner, mewakili masing-masing negara.
- Jumlah parlemen Eropa akan menjadi 750 dari 732. Masing-masing negara diwakili enam hingga 96 orang.
- Ketentuan mengenai hak-hak dasar masyarakat Eropa menjadi bagian dari konstitusi, namun pelaksanaannya disesuaikan dengan hukum yang berlaku di setiap negara anggota.
Philipus Parera (Europe.eu.int/ Wikipedia/Times-Online/Guardian/BBC )
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo