Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPI membalut Ruang Diponegoro, Hotel Mandarin Oriental. Ruangan yang dipakai untuk mencanangkan Tahun Indonesia Bebas Bensin Bertimbel 2005 itu telah kehilangan peminat. Satu per satu pejabat, termasuk Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, pergi. Cuma Luluk Sumiarso yang tersisa di ruangan itu. Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral itu duduk menyendiri diliputi sedikit rasa waswas.
Ada satu yang ditunggunya: hasil tes kadar timbel dalam darahnya. Apakah kadarnya melebihi batas normal orang sehat? Setengah jam berlalu. Luluk baru lega setelah petugas kesehatan menyodorkan hasil laboratorium: kadar timbel dalam darahnya 7,9 mikrogram per desiliter. Artinya, kadar itu jauh di bawah ambang batas normal untuk orang dewasa, yakni 25 mikrogram per desiliter. "Masih bagus, timbelnya di bawah normal," kata Luluk. Dia pun merasa plong. Lega.
Cemaran timbel (Pbplumbum) di langit Indonesia memang mengkhawatirkan. Luluk tahu benar soal itu. Masalahnya, timbel dalam bentuk tetra ethyl lead (TEL) masih digunakan Pertamina sebagai campuran dalam meramu bensin premium. Logam ini digunakan untuk mendongkrak oktan dalam bensin. Bila oktan tinggi, otomatis daya bakar bensin juga makin cespleng.
Sisa pembakaran si timah hitam itulah yang kemudian mengotori udara kota-kota di Indonesia. Lihat saja, kadar partikel timbel di Bandung. Di salah satu sudut paling ramai di Kota Kembang, Braga, misalnya, kadar timbelnya sudah mencapai 1,5 mikrogram per meter kubik. Angka itu melampaui batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 0,5 mikrogram per meter kubik. Itu angka penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Institut Teknologi Bandung pada awal 2004. Braga yang dulu elok, tempat orang jalan-jalan santai, kini menjelma sebagai kawasan yang penuh dengan racun halus timbel.
Inilah yang membikin Ahmad Safruddin, Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, geleng-geleng kepala. Timbel, kata Ahmad, memang oke untuk meningkatkan efisiensi pembakaran bensin, tapi timbel juga membuat masyarakat sakit. "Hasil penelitian Swisscontact pada 1999: dampak gangguan kesehatan yang dialami akibat polusi udara mencapai US$ 106 juta atau Rp 850 miliar," katanya.
Keracunan timbel bisa bersifat akut dan kronis. Keracunan akut atau mendadak ini terjadi karena seseorang menghirup uap timbel secara langsung. Gejalanya antara lain mual, muntah, dan sakit perut hebat. Bila timbel ini dibiarkan menumpuk bertahun-tahun, sang korban akan mengalami berbagai keluhan: gangguan fungsi otak, anemia berat, cedera ginjal, dan mandul. Pada anak-anak, termasuk janin yang dikandung ibu, gangguan saraf yang terjadi bisa lebih gawat. Racun timbel itu diyakini menjadi salah satu pemicu lahirnya anak autis.
Bandung, juga kota-kota lain di Indonesia, memang belum seberuntung Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kota-kota yang menjadi jantung Indonesia itu sejak Juli 2001 telah menikmati bensin tanpa timbel. Mereka memang menjadi kota uji coba untuk proyek pemerintah, Program Langit Biru, bersama Cirebon, Bali, dan Batam.
Untuk Program Langit Biru, Pertamina pada 2001 mulai memproduksi Super TT, bensin bebas timbel yang dijual sedikit lebih mahal dibandingkan dengan bensin biasa. Rencananya, bensin ini perlahan-lahan bakal digunakan di seluruh negeri. Namun, proyek ini tersendat-sendat. Beberapa peneliti juga berupaya mengurangi cemaran timbel di negeri ini dengan membuat bahan bakar dari minyak nabati, seperti minyak jarak dan minyak kelapa sawit. Sayangnya, temuan mereka belum dipakai secara luas (lihat Berkendara Bersama Minyak Tanam).
Idealnya, langit Indonesia mencapai target bebas timbel pada 2005, seperti yang dicanangkan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pada akhir Mei lalu. Soalnya, sekarang ini hanya Indonesia dan Laos yang masih menggunakan bensin bertimbel di Asia Tenggara. Negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura sudah menghentikan produksi bahan bakar jenis ini pada 1990-an. "Jadi, kita ini ketinggalanbahkan Vietnam saja sudah menghapus bensin bertimbel sejak 2001," kata Ahmad.
Perjalanan Indonesia untuk menghapus bensin bertimbel sebenarnya dimulai sejak 1996 dengan adanya instruksi dari Presiden Soeharto. Pada 1999, dikaitkan dengan persyaratan utang, Dana Moneter Internasional meminta penghapusan timbel. Tak satu pun yang jalan. Sampai keluar Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1585 Tahun 1999, terhitung per 1 Januari 2003 bensin tanpa timbel harus dipasok ke seluruh Indonesia.
Kebijakan itu terhenti di tengah jalan dengan alasan belum siapnya kilang minyak. Untuk memodifikasi kedua kilang, Balongan dan Cilacap, Pertamina butuh investasi Rp US$ 250 juta (sekitar Rp 2,3 triliun) yang diperoleh dari pinjaman Jepang. Agustus 2002, pemerintah menunda bensin bebas timbel sampai 2005.
Juru bicara Pertamina, M. Harun, menyatakan, kilang Balongan akan berproduksi penuh akhir Juni 2005. Diperkirakan mulai Agustus atau September, seluruh Jawa bebas bensin bertimbel. Kapasitas produksi Balongan untuk bensin bebas timbel sekarang, baru tiga sampai empat juta kiloliter per tahun. "Hanya bisa memasok Jabodetabek dan Bali," kata Harun.
Bagaimana dengan kilang di Cilacap? "Tidak jadi, karena kurang ekonomis," kata Harun. Itu artinya, warga luar Jawa sementara harus tetap menggunakan premium bertimbel, karena kilang Cilacap diproyeksikan memasok kebutuhan bensin untuk luar Jawa. Penduduk di luar Jawa tentu juga tak akan mau dipaksa menggunakan Pertamax dan Pertamax Plus, yang notabene juga bebas timbel. Harganya yang selangit pasti membuat mereka menolak.
Hal itu jelas menghambat target Indonesia Bebas Bensin Bertimbel pada 2005. "Hambatannya ya duit. Kalau ada dananya, kami bisa saja memodifikasi kilang untuk keperluan seluruh Indonesia," tutur Harun.
Pernyataan itu memicu reaksi keras dari Komite Pembebasan Bensin Bertimbel. Ahmad mensinyalir kegagalan penerapan bensin tanpa timbel itu didalangi sekelompok pengusaha. Demi bisnis, ada orang yang sengaja mengulur-ulur waktu sehingga pemerintah masih terus menambahkan timbel ke dalam bensin. "Ada kesan penyuplai timbel masih ingin proyek ini diperpanjang terus," katanya dengan nada berang.
Harun membantah dugaan ini. "Tidak ada kepentingan lain," tukasnya. "Tergantung policy pemerintah, sekarang juga kami siaptapi siapa yang menanggung biayanya."
Melihat kekurangseriusan pemerintah, Ahmad sungguh kecewa. Dia mengancam akan menggugat bila kebijakan bensin bebas timbel tahun ini tertunda lagi. Alasan Ahmad sederhana saja: Menteri Pertambangan dan Energi pada 1999 telah mengeluarkan surat keputusan yang mewajibkan penghapusan bensin bertimbel. "Jadi, ada perbuatan melawan hukum jika gagal lagi," ujar pria yang mengaku sudah menyiapkan draf gugatan itu. "Kalau mereka main-main, ya sudah, kita selesaikan di pengadilan."
Penghapusan bensin bertimbel memang pantas diperjuangkan sampai ke pengadilan. Hasil penelitian Budi Haryanto dari Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia membuktikan penurunan yang signifikan keampuhan kebijakan ini. Pada 2001, tes darah terhadap 400 murid sekolah dasar di Jakarta menunjukkan 35 persen responden tercemar racun timbel.
Kini, tiga tahun setelah Jabodetabek bebas timbel, survei membuktikan bahwa murid-murid SD yang kena cemaran timbel melorot drastis: cuma 1,3 persen responden yang kadar timbelnya di atas batas normal, yakni 10 mikrogram per desiliter darah.
Masalahnya, bagaimana nasib anak-anak SD di kota di luar Jabodetabek, misalnya anak-anak yang tinggal di kawasan Braga, Bandung, tadi? "Di kota-kota lain, yang masih bertimbel, lebih dari 35 persen anak SD kadar timbel dalam darahnya di atas ambang batas," kata Budi dengan nada sedih.
Tjandra dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo