Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berkendara Bersama Minyak Tanam

Indonesia memiliki potensi minyak kelapa sawit berlimpah yang bisa dijadikan biodiesel. Mengapa pemerintah tak segera memutuskan?

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yuri Alfonzo, seorang karyawan pada sebuah kantor di bilangan Kuningan, Jakarta, punya resep sederhana agar mobil Taft diesel keluaran tahun 1982 miliknya tak ngadat lagi. Selama dua tahun terakhir, ia mulai menggunakan campuran biodiesel produksi Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Engineering Center-BPPT) untuk bahan bakar kendaraannya.

"Saya tertarik karena melihat pameran BPPT yang menawarkan biodiesel," katanya. Sejak saat itu, Yuri rajin menyambangi Pusat Ilmu Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong untuk membeli biodiesel. "Pemakaiannya 10 persen biodiesel dengan 90 persen solar biasa. Mesin jadi nggak rewel," ujar staf pada system administrator di perusahaan komputer tersebut.

Biodiesel merupakan minyak nabati yang diproses menggunakan reaksi trans-esterifikasi ataupun esterifikasi, sehingga setara dengan spesifikasi minyak diesel yang kalau di Indonesia dikenal dengan nama solar.

Diperkirakan, penggunaan minyak pencampur, sebagaimana yang dilakukan Yuri, masih sedikit di Indonesia. Padahal Indonesia seharusnya sudah mulai memasyarakatkan bahan bakar ramah lingkungan itu. Makmuri Nuramin, Technical Manager Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT, mengatakan dari sisi lingkungan biodiesel memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak bumi. Selain dapat diproduksi secara lestari karena berasal dari bahan baku minyak alami, "Biodiesel tidak mencemari udara, mudah terurai, dan bisa langsung pakai tanpa mengubah mesin," kata lulusan Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro itu.

Pada September hingga Desember tahun lalu, BBPT melakukan uji pemakaian biodiesel untuk jarak 20 ribu kilometer dari Jakarta menuju Bali dengan kendaraan Toyota Kijang dan Isuzu Panther. Dalam uji pemakaian atau road test kali ini, BPPT menggunakan campuran 30 persen biodiesel, dan hasilnya mengindikasikan bahan bakar campuran tersebut lebih ramah lingkungan ketimbang solar biasa.

Dengan komposisi campuran seperti itu, wusss..., semprotan karbon monoksida (CO) turun dari angka 1,936 menjadi 1,284 gram per kilo kubik. Kadar karbon dioksida juga turun dari 183,870 menjadi 176,602. Kadar racun nitrogen (NOx), yang semula 1,328, menjadi tinggal 1,250. Sedangkan senyawa hidrokarbon (HC) pun anjlok sampai angka 32 persen.

Selain lebih ramah lingkungan, biodiesel juga sekaligus menjawab tuntutan teknologi mesin dengan kualitas bahan bakar rendah sulfur (teknologi >euro 1). Yang juga tak kalah penting dari gagasan ini adalah menjaga cadangan minyak bumi yang terus tergerus serta mengurangi subsidi bahan bakar. Meski menjadi salah satu penghasil minyak, Indonesia sendiri saat ini sudah mengimpor solar 7 miliar liter per tahun atau 30 persen dari kebutuhan nasional. "Biodiesel bisa menjadi terobosan energi alternatif," kata Makmuri.

Menurut Makmuri, ada sekitar 50-an jenis tanaman di Indonesia yang menghasilkan minyak lemak dan minyak lemak nabati. Di antaranya kelapa sawit (Elasi guineensis), kelapa (Cocos nuficera), jarak pagar (Jatropa curcas), karet (Hevea brasiliensi), dan kemiri (Aleurites moluccana). Data Departemen Pertanian tahun 2003 menunjukkan luas areal tanam minyak kelapa sawit (crude palm oil atau CPO) di seluruh Indonesia mencapai 4,9 juta hektare yang menghasilkan CPO 10,9 juta ton. "Hitung-hitungan kita tahun 2025, biodiesel bisa memenuhi 30 persen kebutuhan domestik," kata Makmuri.

Penelitian perkembangan teknologi biodiesel sudah dimulai Lembaga Minyak Bumi dan Gas (Lemigas) bekerja sama dengan Pertamina pada sekitar awal tahun 1990-an. Beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi 10 Nopember (ITS), juga melakukan berbagai uji coba. "Tapi yang terpenting adalah kebijakan pemerintah yang membuka keran memperbolehkan penggunaan biodiesel," kata Makmuri.

Berlimpahnya sumber daya alam dan kemampuan peneliti kita dalam mengembangkan teknologi biodiesel telah teruji. Kini agaknya tinggal menunggu aba-aba dari pemerintah dengan membuat kebijakan pemakaian biodiesel.

Raju Febrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus