Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Malapetaka Tujuh Dekade

Peringatan Nakba kali ini bertepatan dengan pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem

15 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Malapetaka Tujuh Dekade

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YERUSALEM - Naime Al Sheik Ali baru berusia sembilan tahun ketika ayahnya mengatakan keluarga mereka harus meninggalkan Desa Beit Thul untuk menyelamatkan diri.Beberapa jam sebelumnya, pada 1 April 1948 tengah malam, kelompok paramiliter Yahudi telah berada beberapa kilometer mengepung desa itu. "Mereka menembaki kami ketika tiba, sehingga kami melarikan diri," kata Naimeh kepada Middle East Eye, mengenang peristiwa yang telah terjadi 70 tahun silam itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu, Naimeh menjadi bagian dari 700 ribu pengungsi Palestina yang terusir pasukan paramiliter Yahudi dalam perang Arab-Israel pada 1948. Israel kemudian mendeklarasikan kemerdekaannya pada 14 Mei.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak itu, dimulailah peristiwa Nakba atau malapetaka pendirian Israel yang menyebabkan warga Palestina mengungsi. Sebagian besar pengungsi terpaksa tinggal di sejumlah kamp di Yordania, Suriah, Libanon, Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur hingga kini. Badan Dunia yang mengurusi Pengungsi Palestina, UNRWA, menyebutkan kini jumlah pengungsi itu telah berkembang menjadi lima juta jiwa setelah beberapa generasi.

Rakyat Palestina memperingati tujuh dekade Nakba pada hari ini dengan duka mendalam. Meski Resolusi PBB 194 (III) pada Desember 1984 memberikan hak kembali bagi pengungsi Palestina, hal ini sulit terwujud ketika tanah Palestina telah diisi oleh orang-orang asing. Harapan untuk dapat kembali ke tanah air mereka pun semakin menipis ketika dunia internasional diam saat Israel terus membangun permukiman ilegal Yahudi.

Setelah tujuh dekade, anak-cucu keturunan pengungsi Palestina semakin menderita. Zeid Nabali, 23 tahun, adalah generasi ketiga pengungsi Palestina di kamp Jalazone, dekat Desa Bir Zeit, wilayah Tepi Barat. "Kehidupan kami di kamp jauh dari layak," ujar dia. Nabali adalah bagian dari 45 persen generasi muda yang menganggur di kamp tersebut.

Bukannya mereka malas, melainkan karena lowongan pekerjaan sangat sulit diperoleh. Jika ada, upahnya sangat minim. "Apa yang kami miliki di sini bukanlah kehidupan, tetapi juga bukan kematian."

Luka yang dirasakan rakyat Palestina semakin pedih ketika Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump justru meresmikan pemindahan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem kemarin.

Langkah ini merupakan tamparan keras bagi Palestina yang telah menetapkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negaranya di masa depan. Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan mengutuk keputusan yang diungkapkan Trump pada Desember lalu itu.

Namun AS dan Israel bergeming. Dan sama seperti wilayah pendudukan Israel lain, gedung kedutaan besar sementara Amerika Serikat di Arnona, Yerusalem Barat, yang diresmikan oleh putri Trump, Ivanka, dulu merupakan wilayah Palestina. Yang lebih ironis lagi, rencana pembangunan gedung kedutaan AS di Al-Baqa al-Fawqa, Yerusalem Barat, adalah tanah yang dimiliki oleh warga Palestina.

Tanah itu sebelumnya dimiliki oleh Maqdissian Taham al-Khalili dan saudara perempuannya, Husseini al-Fetyani. Keduanya membeli tanah itu pada 1920-an. Menurut laporan Al Jazeera, sebuah kontrak antara Israel dan AS pada 1989, menyewakan lahan tersebut selama 99 tahun dengan biaya US$ 1 per tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, Israel pun mengizinkan lahan tersebut digunakan untuk pembangunan kedutaan AS.

Padahal cucu Al-Khalili, Daoud al-Fetyan, hingga kini masih memiliki dokumen tanah tersebut. Hak mereka diabaikan pemerintah Zionis karena keluarga itu lari saat Nakba dimulai. Israel yang meloloskan Undang-Undang Perwalian Properti Kosong menggunakan celah hukum untuk menguasai lahan milik pengungsi Palestina.

Mohamed Abu Kaya, seorang warga generasi ketiga pengungsi Palestina, menjelaskan bahwa hukum ini dibuat untuk mengesahkan pencurian lahan rakyat Palestina. "Mereka dapat melakukan apa saja dengan lahan itu. Ketika rakyat kami menyelamatkan diri, saat itulah tanah kami dicuri," kata Abu Kaya. MIDDLE EAST MONITOR | THE NATION | REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus