YUSUF bin Ngah Munaf telah banyak makan asam garam. Selama 30 tahun, ia memandang terus-menerus dari balik kaca jendela mobil dan gembira menyaksikan betapa rezeki mengalir mudah di Kerajaan Malaysia. Sedikit gerimis, bahkan panas pagi hari, membuat orang tak sayang melompat ke dalam taksinya. Namun, setahun terakhir, Jusuf tak lagi memandang jendela. Ia lebih sering bersusah hati, mengapa begitu sulit menemukan penumpang di jalanan Ibu Kota maupun wilayah sekitarnya.
Jusuf hanya tahu, turis-turis kini enggan mampir ke Malaysia, penduduk kota banyak kehilangan pekerjaan, harga barang meningkat, dan orang makin enggan naik taksi. Semua itu menurunkan penghasilannya secara tajam: dari US$ 150 menjadi tak sampai sepertiganya. "Kini, 50 ringgit (Rp 110.000) pun tak kita dapat dalam sehari," ujarnya, pelan. Alhasil, pekan lalu ia membuat keputusan penting: berhenti menyokong UMNO (United Malay National Organization) dan mendaftarkan diri sebagai anggota Partai Keadilan Nasional (PKN) yang dipimpin Wan Azizah.
Yusuf hanya satu dari ratusan pengemudi taksi yang mengambil keputusan itu. Tanyakan kepada lima dari enam supir taksi di jalan-jalan di Kuala Lumpur: apa yang mereka pilih dalam Pilihan Raya 2000 nanti? Tanyakan kepada penjual makanan di pasar, penjaga pintu hotel, sopir-sopir pribadi, dan pemilik kedai makan di kawasan seputar Masjid India atau Petaling Jaya. Lima dari enam orang akan menjawab: "Parti Keadilan." Alasannya? Rata-rata mereka tak percaya lagi pada pemerintah. Terlalu banyak korupsi. Dan orang tak salah macam Datuk Anwar pun dipaksa masuk penjara, demikian rata-rata jawaban mereka ketika ditanya secara acak.
Anwar Ibrahim memang jadi daya tarik PKN. Namun, ini bukan alasan utama. "PKN terbuka bagi multietnis dan agama. Itu alasan utamanya," kata Anuar Tahir, Sekretaris Jenderal PKN. Chandra Muzaffar, intelektual terkemuka keturunan India yang menduduki jabatan Deputi Presiden dalam sebuah partai bermayoritaskan puak Melayu, adalah salah satu contoh terobosan PKN. Partai pimpinan Wan Azizah ini memang sedang jadi idola baru—terutama di kalangan akar rumput. Jamaliah, wanita yang mengurus pendaftaran partai di kawasan itu, memperlihatkan anggota 12.000 orang per 22 April lalu. Dari segi angka, bukan sesuatu yang mengesankan. Tapi, bahwa angka ini terkumpul dalam dua setengah pekan, adalah soal lain yang bisa mengganggu tidur lawan politik paling kuat sekalipun.
Namun, popularitas PKN agaknya belum menjangkau kelas menengah yang amat menentukan sebagai the ruling class Malaysia. Dalam sebuah makan malam di Restoran Italia Avanti, Hotel Sunway Lagoon, sebuah hotel bintang lima, pekan lalu, seorang pengusaha otomotif terkenal di Kuala Lumpur membisikkan: "99 persen rakyat Malaysia menganggap Anwar sudah selesai. Jadi, saya tidak mengerti, mengapa orang-orang berdemonstrasi dan mengacaukan ekonomi." Ia mengaku mewakili sebagian mayoritas diam. Tidak mudah menebak ke mana angin bertiup di Malaysia hari ini. Barisan Nasional, dengan UMNO sebagai pendukung utama, masih tetap terkuat. Kendati Chandra menyebut: "Kemungkinan perubahan dalam politik kadang-kadang sulit diramalkan." Dan Tahir menekan, koalisi-koalisi oposisi kini jauh lebih bersatu dibandingkan dengan di masa silam.
Sementara itu, Mahathir Mohamad awal pekan lalu muncul dalam keadaan segar bugar di televisi. Ia berpidato, antara lain: "Berbagai indikator memperlihatkan keadaan ekonomi Malaysia membaik." Entahlah. Yang jelas, setiap Jumat dan Sabtu, kalangan muda pembaharu masih terus menggelar demo di jalanan Ibu Kota. "Kita akan turun sampai Mahathir mundur. Kalau Indonesia bisa, kenapa tidak Malaysia?" Rahim, 30 tahun, seorang akuntan publik, menegaskan.
Kuatnya tekanan penguasa dan perlawanan kaum pembaharu telah menjadikan Kuala Lumpur seperti kawasan pertemuan arus tiga selat: licin di permukaan, pusaran dahsyat di lapis bawah. Sebuah tamsil yang menggoda kita untuk terus-menerus bertanya: mana sesungguhnya wajah politik Malaysia hari ini?
Hermien Y. Kleden (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini