SEPINTAS tidak ada yang berubah pada harian Merdeka. Hanya, Kamis pekan lalu, koran bersejarah yang terbit tiga bulan setelah kemerdekaan Indonesia itu terbit agak lain. Ada tulisan ''rakyat" yang ditulis dalam huruf kecil sambung, diletakkan miring di depan kata "Merdeka". Warna hurufnya sama, merah. Kalau tak jeli, orang pasti menganggap koran itu masih harian Merdeka yang lama. Berita di halaman satu juga ''seragam", satu tema besar (setiap hari): kroni Soeharto.
Ternyata, penerbitnya juga lain. Merdeka diterbitkan PT Merdeka Press, sedangkan Rakyat Merdeka dipegang PT Wahana Ekonomi Semesta. Di kolom pengelola dan redaksi, tidak ada lagi nama Herawati Diah, istri B.M. Diah, dan Tribuana Said, menantu B.M. Diah yang di Merdeka menjabat pemimpin redaksi. Jelas, Merdeka bukan sekadar salin baju. Ada apa?
Cerita bisa dimulai pada 1994. Kondisi harian Merdeka ketika itu boleh dikata payah. Tirasnya hanya tersisa di bawah 10 ribu setiap hari. Iklan juga melorot tajam. Keluarga Diah kemudian menawarkan koran ''perjuangan" itu ke Grup Jawa Pos. Singkat cerita, masuklah pasukan Dahlan Iskan, bos grup besar yang bermarkas di Surabaya itu, sebagai pemilik saham Merdeka. Jawa Pos menyetor modal dan mendapat hak mengelola sepenuhnya harian itu, demikian dituturkan Margiono, orang Jawa Pos yang kemudian menjabat pemimpin umum.
Masuknya Jawa Pos mengubah komposisi saham. Keluarga Diah mendapat 41 persen, 39 persen dimiliki PT Wahana Semesta Mer_deka (kita sebut saja milik Jawa Pos). Sisa 20 persen adalah saham gratis jatah karyawan. Tapi, karena saham karyawan belum lagi dibagikan, Keluarga Diah dan Jawa Pos memegang masing-masing separuh saham karyawan itu. Meluncurlah harian Merdeka dengan tiras rata-rata 40 ribu, kata sebuah sumber.
Sayang, kerja bareng ini tak pernah mulus. Setelah B.M. Diah wafat pada Juni 1996, perselisihan kian runcing. Penyebabnya, kata Margiono, ahli waris B.M. Diah, dalam hal ini Herawati Diah, meminta bagian saham 60 persen. Ketika dikonfirmasi TEMPO, Herawati membenarkan hal ini. Alasan Herawati, ''Supaya aman. Kami tidak bisa terima saham lebih kecil dibandingkan dengan pemegang saham baru." Perselisihan memuncak. Dan karyawan yang belum menerima saham 20 persen makin gelisah. Ada yang melayangkan surat ke alamat Keluarga Diah. Pertemuan antarpimpinan pada akhir April lalu juga tak memuaskan semua pihak.
Belum lagi urusan terang-benderang, tiba-tiba Rakyat Merdeka sudah beredar di jalan-jalan. Keluarga Diah pun tak mengetahui penerbitan baru ini. ''Memang ada utusan karyawan yang menemui saya untuk pamit. Tapi saya tidak menyangka kalau mereka akan menerbitkan koran," kata Herawati. Istri B.M. Diah itu sekarang ini sedang menyiapkan penerbitan kembali harian Merdeka.
Dan Herawati perlu kerja keras untuk itu. Sebab, Rakyat Merdeka praktis membawa semua karyawan yang dulu bekerja dengan baju harian Merdeka. Menurut Margiono, itulah bukti Rakyat Merdeka didukung penuh karyawan. Dari sejumlah besar karyawan itu, hanya Tribuana Said, Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, yang tidak ikut ''menyeberang" ke Rakyat Merdeka. Dengan salin baju, PT Wahana menguasai 100 persen saham dan kini tengah menunggu masuknya mitra pemodal baru. ''Kalau pihak Jawa Pos atau keluarga Diah berminat, silakan datang," kata Margiono, Pemimpin Umum Rakyat Merdeka.
Solusi model begini terasa menggan-jal. Walau Rakyat Merdeka gampang saja mencari Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), bukankah nama yang dipilih itu jelas mendompleng kemasyhuran nama Merdeka? Di sini memang ada persoalan hak cipta: apakah nama Merdeka itu milik Keluarga Diah atau itu nama generik yang bisa dipakai siapa saja? Jika PT Wahana memilih nama apa pun, bukankah masih ada pertanyaan, umpamanya, bagaimana perjanjian awal kerja sama itu? Bukankah karyawan, sarana, dan infrastruktur penerbitan harus diatur lebih rapi dengan pihak Keluarga Diah? Ibarat pasangan suami-istri yang bercerai, persoalan harta gono-gini agaknya belum diselesaikan tuntas. Lalu bagaimana nasib utang dan kewajiban Merdeka lama? Margiono menjawab, ''Tidak tahu."
Sebelumnya, kasus yang mirip terjadi ketika Jawa Pos mengambil alih majalah Prospek, dua tahun lalu?masa ketika SIUPP susah dicari. Majalah ekonomi itu memang sudah dua tahun tak beredar di pasar. Bahkan Prospek mempunyai utang cetak Rp 2 miliar kepada percetakan Sumber Bahagia milik Fauzi Lubis. Dan akhirnya SIUPP Prospek dibarter utang kepada Fauzi Lubis tadi. Di luar itu, masih ada utang Rp 4 miliar. Dalam kondisi begitulah Prospek diambil alih Jawa Pos. Kemudian, pada 1998, Jawa Pos mendirikan PT baru, mengurus SIUPP, dan terbitlah Prospektif, yang langsung menggantikan Prospek. Dan Prospek lama yang tertimbun utang Rp 6 miliar itu selanjutnya mati.
Jadilah Prospek digantikan Prospektif, Merdeka digantikan Rakyat Merdeka, dan kelak apalagi. Mencari SIUPP memang mudah dilakukan siapa saja, bahkan dengan nama yang mirip-mirip pun ternyata boleh juga. Tapi menaati perjanjian dan aturan main dalam sebuah kerja sama adalah soal yang tak kalah penting.
Mardiyah Chamim, Ahmad Fuadi, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini