Dua remaja tanggung, menggunakan jas hujan ala pasukan Nazi dari Jerman, memasuki pintu gerbang sebuah sekolah. Ketika tiba di perpustakaan sekolah, tiba-tiba mereka mengangkat senjata api dan memuntahkan peluru ke segala penjuru. Di antara tangis dan jerit kepanikan, mereka tertawa terbahak-bahak. Korban pun bergelimpangan: puluhan siswa luka-luka, 14 siswa dan seorang guru tewas diterjang timah panas. Tak lama kemudian, dapur kantin sekolah pun porak-poranda oleh ledakan bom. Polisi langsung meluncur ke lokasi kejadian, tapi mereka tak bisa membekuk sang teroris yang akhirnya bunuh diri.
Kisah ini bukan cukilan film action Hollywood, yang biasanya sarat dengan kejadian atraktif, letusan bom, serta bunyi senjata api. Itulah ''pertunjukan" yang dipertontonkan Eric Harris, 18 tahun, dan Dylan Klebold, 17 tahun. Keduanya pelajar Columbine High School, Littleton, Denver, Amerika Serikat. Tiba-tiba saja, persis pada hari kelahiran Hitler—pemimpin tentara Jerman yang pernah berjaya semasa Perang Dunia II—Harris dan Klebold bergaya bak pasukan Hitler di medan perang.
Warga Amerika, termasuk Presiden Bill Clinton, tersentak dan berduka. Memang, bagi warga Amerika, tragedi Littleton ini bukan peristiwa kekerasan dengan senjata di sekolah yang pertama. Sepanjang tahun 1996-1997, menurut catatan National Center for Education Statistic, lebih dari 10 kekerasan senjata mengoyak nyawa para pelajar yang tengah bersekolah. Tapi peristiwa berdarah di pinggiran Kota Denver ini sungguh luar biasa. Sebelas jam setelah Harris dan Klebold mengakhiri hidupnya, mereka masih meninggalkan ''warisan" bom yang menghancurkan kantin sekolah. Setelah ditelusuri, polisi menemukan sedikitnya 30 bom yang terbuat dari campuran propana dan bensin berbobot sekitar 10 kilogram, yang tersebar di beberapa sudut sekolah, seperti dekat perpustakaan dan halaman parkir. Dua bom di antaranya ditemukan di dalam dua kendaraan yang diparkir di lingkungan sekolah.
Yang lebih mengagetkan, pembantaian itu mirip dengan adegan dalam video yang sebulan lalu dibuat Harris dan Klebold. Film itu menggambarkan adegan yang memperlihatkan dua ''tentara" ala Hitler, berseragam jas hujan, memasuki gerbang sekolah, kemudian menembakkan senjata, dan menyetel bom. Akhir ceritanya sama persis: bunuh diri. Video itu juga melukiskan teman-teman Harris dan Klebold yang beradegan seolah-olah menjadi atlet yang ditembaki. ''Video itu menunjukkan apa yang terjadi kemudian," kata Chris Relly, salah seorang pelajar yang melihat pembuatan video itu.
Tampaknya pembantaian itu telah direncanakan sebelumnya. Bukan hanya itu. Melihat bom yang tersebar di sekolah itu, polisi mencurigai mereka tidak bekerja sendirian. Betul, kedua remaja yang sebenarnya cerdas dan cemerlang itu pernah berurusan dengan pengadilan karena merusak mobil. Catatan pengadilan tentang mereka kurang lebih mirip: ''mereka remaja yang cukup cemerlang untuk membuat mimpi menjadi kenyataan, asal mereka tahu bahwa untuk itu mereka harus bekerja keras." Namun polisi melihat perakitan bom dengan pipa-pipanya itu terlalu berat untuk mereka kerjakan berdua saja.
Kecurigaan polisi agaknya beralasan. Sejak setahun lalu kedua remaja yang pendiam itu memang tergabung dalam kelompok yang menamakan diri Trenchcoat Mafia (Mafia Berjas Hujan Tentara). Para anggota kelompok ini gemar mengenakan kostum dengan pernik-pernik Jerman. Menurut Jen LaPlante, teman satu kelas Inggris Harris, kepada Time, Trenchcoat Mafia bukanlah geng tapi hanya suatu kelompok. Mereka selalu mengenakan kaus dengan berbagai atribut Jerman. Mereka juga sering melontarkan beberapa kata Jerman yang tidak ia mengerti. ''Ada pernik-pernik perhiasan, tapi bukan swastika (lambang Nazi). Satu-satunya yang saya lihat dan ada hubungannya adalah tanda-tanda anarki," katanya. Di mata LaPlante, yang setiap akhir pekan bermain bowling bersama Harris dan Klebold, kedua temannya itu sebenarnya tidak pernah memusuhi orang lain. ''Saya kira mereka hanya punya kepribadian yang tidak biasa, dan di sekolah kami banyak yang kepribadiannya tidak biasa," katanya.
Namun kelompok aneh ini rupanya tidak diterima lingkungannya. Menurut Alex Marsh, yang enam bulan lalu masih bergabung dengan Trenchcoat Mafia, kepada CNN, anggota kelompok itu mengisolasi diri dan selalu menjadi bahan cemoohan di sekolah. Karena itu kelompok ini pernah mengancam akan mencelakai orang-orang yang suka mencemooh mereka.
Menurut Psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar psikologi dari Universitas Indonesia yang sering menangani para remaja bermasalah, kekerasan memang bisa muncul pada anak yang sering dilecehkan. Apalagi bila mereka sudah terpengaruh oleh aliran atau paham tertentu, bisa timbul paranoid. Penderita paranoid itu, kalau sudah akut, bisa menyerang orang lain atau bahkan dirinya sendiri. Meski ia tidak mengikuti persis peristiwa berdarah di Littleton, Sarlito menduga gejala paranoid itu sudah ada. ''Itu terjadi kalau si anak hidup dalam sebuah alam pemikiran yang seakan-akan orang Jerman dan membenci Amerika. Ini dalam psikologi disebut delusi, yang menganggap bahwa semua jalan pikirannya betul, sampai ia merakit bom sendiri," kata Sarlito.
Seorang psikolog di California, Shawn Johnston, juga pernah membuat kesimpulan yang mirip dari pengalamannya mewawancarai 5.000 anak dan remaja pelanggar hukum selama 20 tahun. Menurut Johnston, mereka terlalu ''berpusat pada diri sendiri". Mereka akan frustrasi, marah bila tak mendapat apa yang mereka inginkan. ''Mereka tidak mempedulikan orang lain," kata Johnston.
Perilaku semacam itu tak memandang orang, bisa terjadi di mana pun. Memang, di Amerika hal itu bisa menimbulkan kekerasan bersenjata karena di sana senjata lebih mudah diperoleh. Menurut Sarlito, ada satu penelitian yang membandingkan angka kriminalitas di Seattle, Amerika, dan Vancouver, Kanada. Ternyata korban senjata api lebih besar di Seattle, meski angka kriminalitasnya di tua tempat itu sama tingginya. Karena itu Sarlito mengingatkan bahwa senjata api yang sekarang ini tampaknya ''beredar untuk umum" di Indonesia bukan tak mungkin memicu kekerasan seperti yang terjadi di Amerika. ''Sampai saat ini senjata memang belum dipakai untuk membunuh orang. Tapi, dengan masuknya senjata dalam jumlah banyak, kita menjadi lebih santai dengan senjata api," Sarlito mengingatkan.
Ma'aruf Samudra, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini